Alma, Si anak baru di Sub Bagian SDM Rumah Sakit Harapan Hati mendadak terkenal di hari pertama masuk kerja. Alasannya yaitu wajahnya yang mirip dengan dr Ilman, Si tampan dari poli anak. Tidak hanya wajah, nama mereka juga mirip, Alma dan Ilman.
Gara-gara ini, banyak yang mengira bahwa keduanya adalah saudara, padahal bukan. Adik dr. Ilman yang sebenarnya juga bekerja di divisi yang sama dengan Alma. Tapi, karena suatu alasan, dia tidak mau mengakui bahwa Ilman adalah kakaknya sendiri.
...
"Saya izinkan kamu buat pamer kalau kita berdua bersaudara. Kalau bisa, puji saya tiap hari biar pekerjaan kamu makin gampang.” - Ilman -
“Hahaha... Dokter bercanda, ya?” - Alma -
“Saya serius. Sombongkan saja nama saya. Bukankah bagus kalau kamu jadi adik dari orang yang jenius dan ganteng seperti saya?”
Dih! Bisa ya, ada orang senarsis dan sesombong ini. Dokter pula. Pasiennya tidak apa-apa, tuh?
Tapi, anehnya Alma merasa pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eggpudding, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Hal Penting
Semenjak mendapatkan pesan dari Mea, aku mulai mempertanyakan perbendaharaan bahasa perempuan itu. Pasalnya, tadi pagi jelas-jelas dia bilang ingin mengatakan hal penting padaku. Terus, karena aku malas berkutat dengan dia, kutolak dan kuminta dia mengirimkannya melalui pesan saja.
Lalu, pesan itupun akhirnya datang tepat pukul 9.00. Tapi, karena lagi-lagi aku enggan, aku mengabaikan pesan itu hingga jam pulang kerja.
Sialan banget emang aku kan? Hahaha!
Lanjut ke hal penting yang Mea ingin katakan. Akupun membuka pesan tersebut dan membacanya dengan ogah-ogahan.
Pesan pertama, dia menulis, [Kamu harus hati-hati sama dr. Dinda. Bilang ke kakakmu juga soal ini.]
Lalu, di pesan berikutnya dia menyematkan sekitar 10 buah foto dengan dominan warna gelap. Di sana ada wajah dr. Dinda dan pria yang tidak aku kenal sedang berpesta di sebuah tempat yang sepertinya adalah night club.
Aku tidak pernah ke tempat seperti itu, jadi tidak tahu di mana letak tepatnya. Pokoknya latar foto itu mirip night club yang sering muncul di sinetron-sinetron. Suasananya juga meriah dengan banyak lampu berkelip-kelip. Selain itu, di meja dan tangan dr. Dinda juga ada minuman berwarna kuning yang mungkin adalah alkohol.
Sudah paham kan maksudku?
Bagian mananya dari foto-foto ini yang ‘penting’ buatku? Sama sekali tidak penting!
Aku tidak tahu apa agama dr. Dinda. Bisa saja agamanya memperbolehkannya untuk minum alkohol. Lalu, dr. Dinda juga sudah dewasa. Dia punya kehidupan pribadinya sendiri. Mau ke club kek, ke makam kek, dia sudah bisa memilih sendiri.
Lagipula, orang yang pergi ke night club kan belum tentu orang jahat dan tidak bermoral. Mereka pergi ke sana bisa saja karena tidak mau minum-minum di jalanan dan mengganggu orang lain. Bisa juga karena tidak mau membereskan sampah-sampah yang mereka hasilkan dari minum-minum. Atau bisa juga seperti Bang Salman yang pergi ke sana untuk syuting pas dapat peran bartender.
Positive thinking aja lah! Daripada nantinya malu, karena salah paham.
Well, maksud Mea paling-paling supaya aku tidak membiarkan dr. Ilman dan dr. Dinda bersama. Makanya dia mengirimiku pesan seperti ini.
Tapi, dr. Ilman sendiri waktu itu bilang kalau tidak ada apa-apa antara dia dan dr. Dinda. Jadi, tidak perlu juga aku memberitahu dr. Ilman. Selain itu, AKU BUKAN ADIKNYA!
“Fokus banget, Al.” celetuk seorang pria yang hingga saat ini terus kuhindari.
Aku mulai yakin kalau dr. Ilman itu sebetulnya ninja. Dia selalu muncul dengan tiba-tiba.
“Ya ampun, Dok! Bisa jantungan saya gara-gara dokter ngagetin saya terus.”
Bukannya menyesal, pria itu malah tersenyum sumringah.
“Saya dokter spesialis anak, bukan spesialis jantung. Jadi, maaf saya gak bisa sembuhin kamu kalau jantungan. Saya juga minta maaf, soalnya saya akan terus buat kamu berdebar-debar dengan ketampanan dan kehebatan saya.”
Sekarang aku paham kenapa ada yang bilang kalau batas antara jenius dan kebobrokan otak seseorang itu setipis tisu basah. Nih, buktinya!
“Gak usah lihatin saya gitu kali. Jadi malu saya.” ujar dr. Ilman yang kini mendapatkan tatapan jijik dariku.
Ternyata ini rasanya jadi Mama yang merasa jijik setiap kali mendengar alarm suara cowok sexy yang kubuat pakai AI. Apa habis ini sebaiknya aku sungkem minta maaf ke Mama, ya?
“Dokter mau apa, sih? Saya udah mau pulang, nih. Kalau ada urusan sama saya, GPL ya!” ketusku.
Seakan sudah bebal, dr. Ilman masih tersenyum padaku. Dia berkata, “Kamu gak ada yang pengin disampein gitu sama saya?”
Idih! Pede banget!
“Gak ada. Bye!”
Segera kutarik sepeda motorku dari parkiran dan pulang. Aku takut ketularan kalau terlalu lama bersama dr. Ilman.
...
Sialnya, hari itu memang seharusnya aku mengatakan sesuatu pada dr. Ilman. Sayangnya, karena terlanjur senewen sama dia, aku tidak ingat mau menyampaikannya.
Bukan soal foto yang Mea kirim padaku tentunya. Apa yang ingin kusampaikan lebih penting dari itu.
Pagi itu di rapat Subbag SDM, Pak Arif menyampaikan kalau RS Harapan Hati akan mengadakan in-house training untuk Bantuan Hidup Dasar dan penggunaan APAR. Lalu, beliau memintaku untuk membujuk dr. Ilman supaya mau jadi salah satu pelatihnya.
Katanya, “Kalian kan saudara, jadi saya serahkan ini sama kamu, ya. Bilang juga kalau bakal ada insentifnya. Bisa kan?”
Setelah itu, aku tentu menyangkal habis-habisan soal hubungan ‘persaudaraan’ kami. Tapi, lagi-lagi baik Pak Arif dan Mbak Lia tidak ada yang percaya. Paling si Hani yang terus cekikikan tidak jelas.
Lalu sekarang, aku sudah berada di depan Pak Arif yang menyambutku dengan penuh senyuman.
“Maaf, Pak. Saya belum bilang ke dr. Ilman.” ucapku.
“Kalau gitu, cepetan bilang ke beliau, ya. Masih ada waktu satu jam sebelum saya sampaikan proposalnya ke Pak Dir. Kamu tahu kan, Pak Dir kita sukanya yang pasti-pasti. Gak mungkin saya asal cantumin nama, padahal belum ada ACC dari dr. Ilman.”
Pak Arif mengatakannya dengan nada super lembut, tapi aku bisa merasakan jutaan pressure yang meluncur dari setiap ucapannya.
“O... oke, Pak. Saya otewe ke poli anak dulu.”
“Gak usah, dr. Ilman lagi di ruang Kabid sekarang.”
Sesuai instruksi Pak Arif, aku pun meluncur menuju ruang Kabid Pelayanan yang jaraknya cuma dua ruangan dari TU. Sambil membawa surat perjanjian yang sudah disiapkan sejak kemarin, aku mencari dokter spesialis anak itu.
Waktu akan mengetuk pintu Kabid, aku menyadari kalau pintunya tidak tertutup rapat. Dengan sekali dorong saja dengan jariku, pintu itupun terbuka lebar.
‘DUGH!’
Suara pintu yang menabrak dinding itu mengagetkan dua orang yang ada di dalam ruangan berukuran 3x4 meter persegi itu. Akupun sama kagetnya, tapi beda alasan.
Hal yang membuatku kaget adalah posisi dua orang yang tidak lain adalah dr. Ilman dan dr. Dinda itu. Mereka sedang berada di satu kursi yang sama dengan posisi dr. Dinda duduk di sana dan dr. Ilman seperti sedang mengukungnya.
Bukankah ini spicy? Inikah office romance yang digaungkan di novel-novel itu?
Aku sampai mengedip berkali-kali waktu mereka tak juga beranjak dari posisi itu. Mereka berdua terus terpaku melihatku selama beberapa detik.
“Maaf. Saya kayaknya ganggu, ya? Maaf, ya.” ucapku sambil menutup pintu.
Setelah itu, terdengar suara ‘glotak! Gedebugh! Brak! Brak!’ dari dalam. Agaknya mereka memang terbiasa agresif, padahal masih pagi begini. Aku yang bertemu mata dengan beberapa karyawan di bidang pelayanan lain pun seketika meringis kaku. Pasti mereka juga memikirkan hal yang sama denganku.
Namun, pemikiranku itu rupanya salah. Karena, tak lama kemudian, keduanya keluar dari ruangan secara bersamaan.
‘Grep!’
Dokter Ilman menggenggam tangan kananku, sementara dr. Dinda pun ikut menggenggam tangan kiriku. Keduanya menatapku dengan penuh kekhawatiran yang akupun tidak tahu apa alasannya.
“Kami gak ada apa-apa.”
“Jangan salah paham dulu ya, Al!”