Dok, Kok Kita Mirip?
“Kinasih, maafkan Kakanda. Maaf...”
“Maaf...”
Kinasih siapa sih?
Lagipula zaman sekarang siapa yang memanggil pakai istilah ‘kakanda’? Memangnya sedang bermain drama kolosal?
Tapi, orang ini terdengar begitu menyesal. Entah apa salahnya padaku sampai meminta maaf berkali-kali.
“Maafkan Kakanda...”
Duh, sayang sekali kalau suara sexy-nya dipakai untuk menangis. Apa aku harus membelai rambutnya supaya dia berhenti menangis?
Lho, lho? Mau kupegang, kok tambah jauh?
“Kinasih. Sebaiknya kau tidak banyak bergerak. Nanti lukamu bertambah parah.” pria itu berbisik sambil menggenggam tanganku yang tak bisa meraihnya.
Pada saat itu, aku juga baru menyadari sakit di sekujur badanku. Yang paling kurasakan adalah sakit di perutku. Tetapi, tiba-tiba cairan merah mengucur melewati mataku.
Ah, ternyata kepalaku juga terluka.
“Kinasih, bersabarlah! Jati sedang mencarikan obat untukmu. Kakanda pasti akan mengobatimu.”
Sebelum orang yang namanya Jati itu datang, sepertinya aku akan mati. Hahaha...
“Kinasih, mengapa kau tersenyum?”
Karena, aku sudah tidak kuat.
Kalau ini semua mimpi, kumohon... cepatlah berakhir.
...
“Selamat pagi, Alma sayang. Bangun, dong. Udah pagi, nih. Katanya mau kerja.”
Nah, ini nih. Harusnya suaranya yang manis seperti ini. Kalau sedih seperti tadi kan aku jadi tidak enak hati.
“Alma, ayo bangun.”
Mendengar suaranya yang semakin manis di telinga, aku pun tersungging. Pemilik suara ini jelas orang yang sangat tampan luar biasa. Beruntung sekali aku bisa dibangunkan setiap hari olehnya.
“Ayo bangun dong, cintaku.”
‘PLAK!!’
“Adaww!”
Bukannya belaian sayang dari si pemilik suara, aku malah mendapatkan pukulan maut.
“Njijiki banget alarm-mu, Alma! Cepetan matiin, atau Mama yang rusakin hapemu!?”
Ancaman mamaku semakin membuka mataku. Segera kumatikan alarm ponsel itu supaya tidak berbunyi lagi.
Begitulah. Suara manis tadi tidak nyata, melainkan hanya suara alarm yang kubuat sendiri dengan aplikasi AI. Namanya juga jomblo. Apapun dilakukan supaya hidup tidak terlalu mengenaskan.
“Percuma aja pasang alarm. Cepetan bangun, mandi, terus berangkat!” perintah Mama lagi.
“Iya. Ini juga mau mandi.”
Sebelum Mama semakin mengamuk, aku ambil handukku di gantungan baju dan berlari ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi pun aku masih mendengar suara Mama yang mengomel tanpa henti. Gara-gara itu, aku jadi tidak bisa menikmati mandi pagi. Terpaksa, akupun memepercepat waktu mandiku.
Saat aku selesai, Mama sudah tidak lagi di kamarku walaupun aku masih mendengar omelannya.
Sekitar setengah jam kemudian, aku selesai berganti baju dan berdandan. Lalu, akupun bergegas menuju meja makan untuk sarapan.
Untungnya, Mamaku tidak ada di sana. Jadi, aku tidak mendengar omelannya lagi. Paling-paling Mama sedang di halaman depan. Jam segini memang sudah saatnya tukang belanja datang.
“Gawat, udah jam segini.”
Segera kuselesaikan makanku, lalu berangkat. Kuberikan salam pada Mamaku sebelum sepeda motor kunyalakan.
Sebetulnya masih ada waktu sebelum jam masuk kerja. Tapi, berhubung ini adalah hari pertamaku, aku berniat untuk datang lebih awal.
Tempat kerja baruku tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya butuh sekitar 20 menit untuk sampai ke sana. Dan sampailah aku di sana dengan selamat sentosa.
Rumah Sakit Harapan Hati. Sebuah rumah sakit tipe B yang terkenal dengan pelayanannya yang top notch.
Meskipun tidak sebesar rumah sakit milik pemerintah, rumah sakit ini sudah 10 tahun lebih menjadi salah satu pilihan utama para warga Kota B. Tidak hanya tenaga medisnya yang mumpuni, pelayanan lainnya pun tidak kaleng-kaleng. Karena itu, aku sangat bangga bisa diterima di rumah sakit ini. Padahal sebenarnya aku bukan lulusan dari jurusan yang ada hubungannya dengan bidang kesehatan sama sekali.
“Selamat pagi, Bu. Mohon maaf, sekarang belum jam besuk. Jadi, Ibu belum boleh masuk ke dalam.” ujar seorang satpam sambil tersenyum ramah.
“Bukan, Pak. Saya pegawai baru.”
Kuperlihatkan kartu pegawaiku kepada satpam itu. Barulah dia manggut-manggut paham.
“Maafkan saya, Bu. Saya kira Ibu pengunjung. Kalau begitu silakan masuk.” katanya kemudian.
“Baik, Pak. Terima kasih.”
Seharusnya aku mengalungkan ID card-ku dari awal. Dengan begitu, satpam tadi tidak mencegatku terlebih dahulu.
Tujuanku selanjutnya adalah lift khusus pegawai yang berada tidak jauh dari lobi dan IGD. Aku masuk ke dalam lift bersamaan dengan tiga orang pegawai lainnya.
“Eh, itu bukan, sih?” bisik salah satu dari mereka.
“Kayaknya iya. Mirip banget.” bisik yang lainnya.
Berhubung aku berdiri tidak jauh dari mereka, aku bisa mendengar bisikan-bisikan itu dengan jelas. Mereka nampak seru saat membicarakan orang yang entah siapa itu.
Aku kepo, sih. Tapi, kan tidak sopan juga langsung bertanya soal pembicaraan mereka. Lagi pula aku belum mengenal mereka.
Dua orang itu lalu turun di lantai tiga. Sementara itu, aku masih harus naik dua lantai lagi.
Sesampainya di lantai tempatku bekerja, aku langsung menuju ruangan yang sebelumnya sudah diberitahukan oleh atasanku. Untungnya aku sudah cukup hafal lokasinya, karena ini lantai yang sama dengan yang digunakan saat wawancara.
“Wah, beneran mirip banget, cuy. Tapi, versi cantiknya.”
“Yang ini tukang narsis juga gak ya?”
“Elah, narsis juga lo masih naksir sama tuh dokter gesrek.”
“Hehehe iya, sih. Kan humoris orangnya. Ganteng pula. Ini adeknya juga cantik.”
“Gak gue pungkiri. Kayaknya satu keluarga gak ada cacatnya.”
“Pokoknya gue bakalan baik-baikin adeknya, biar bisa pedekate ke kakaknya.”
“Dih! Modus benerr!”
Dua orang perempuan yang tengah berbisik-bisik itu beberapa kali melirik ke arahku. Maksudnya apa, aku juga tidak begitu paham.
Tapi, sebelum ini aku pernah mengalami kejadian yang sama seperti deja vu. Firasatku jadi tidak enak.
“Mbak Alma.” sapa seorang pria berusia 40 tahunan sambil berjalan ke arahku.
“Selamat pagi, Pak Arif.” aku balas menyapa.
Pria bernama Arif ini adalah orang yang mewawancaraiku beberapa hari lalu. Beliau adalah kepala sub bagian SDM yang juga merupakan atasanku langsung di rumah sakit ini.
“Apa Mbak Alma sudah ambil presensi?” tanyanya.
Kedua alisku seketika terangkat. Aku hampir saja lupa melakukan hal yang seharusnya kulakukan sejak masuk lobi.
“Maaf, Pak. Saya lupa. Kalau begitu, saya turun ke lobi dulu.”
Pak Arif lalu tertawa.
“Tidak perlu, Mbak. Di belakang Mbak juga ada mesinnya. Mbak tinggal tempel barcode di ID card ke mesinnya.”
Malunya... untung saja belum banyak orang di sini.
“Kalau begitu, saya presensi dulu, Pak.”
Setelah itu, aku mengikuti Pak Arif menuju ruang tata usaha. Beliau juga menjelaskan beberapa ruangan lain di lantai yang sama saat kami melewatinya.
Kemudian, saat melewati ruang komite medis, beliau tiba-tiba mengatakan satu hal yang membuatku bingung.
“Kakak-nya Mbak Alma biasanya ke sini cuma pas meeting dengan dokter yang lain.” katanya sambil menunjuk ke ruangan dengan pintu yang tertutup rapat itu.
Buat apa kakakku rapat di sini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Ira
keren
2024-04-02
0
👑Queen of tears👑
haha edan/Joyful//Joyful/
2024-03-17
0
〈⎳ Say My Name Claudia 1288
Rumah Sakit Harapan Hati ... ku, supaya cintaku bersambut dengan cintanya, Eaaaa 🤣
2024-03-16
1