HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yg gamodal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
"Tapi, Ma?"
"Tapi apa? Mama cuma pengen ketemu doang, Nay ... masa nggak bisa."
Bencana tak selamanya harus gempa bumi, tak juga mesti tsunami. Bagi Kanaya, hal semacam ini lebih mengerikan dari segala bencana.
Ya, lagi dan lagi Widya menyinggung masalah calon menantu idamannya. Niat hati ingin membuat mamanya senang justru kini menjadi beban.
Bagaimana mungkin Kanaya bisa menghadirkan pria itu lagi. Sementara sejak hari itu Ibra benar-benar tak menghubunginya sama sekali. Jangankan untuk kembali menghubungi, mengingatnya saja Kanaya malu sendiri.
"Ib-ibra sibuk, banyak kerjaan di kantor."
Alasan paling basi yang selalu diberikan jika Widya meminta sesuatu. Sibuk, tidak bisa diganggu atau banyak pekerjaan lain.
"Besok minggu, kamu jangan banyak alasan ya," tutur mamanya sangat lembut namun terdengar menusuk, jemarinya menelusuri pelipis sang putri sembari menatap penuh tuntutan.
"T-tapi, Ma ...."
"Mama hanya ingin kamu memiliki suami seperti Ibra, nampaknya hanya dia yang bisa kembali membuat batin Mama pulih, Kanaya ... buatlah Mamamu ini senang, selama ini uang yang kau habiskan tak pernah Mama minta bukan?"
Deg.
Hatinya sesakit itu, Kanaya tahu jelas kemana arah pembicaraan sang mama. Sejak dahulu pembahasan tentang uang dan uang yang telah ia habiskan sejak kecil masih menjadi topik paling utama.
Kanaya hanya diam, permintaan mamanya kenapa terasa semakin berat. Lebih berat dari sebelum dia mengenal dan mengalami kejadian gila itu bersama Ibra.
Jika sebelumnya Kanaya hanya memikirkan bagaimana cara bisa menemukan sosok yang akan ia jadikan kekasih, kini semua tak semudah itu lagi.
Bukan hanya perihal rasa malu yang menyeruak dalam batinnya, akan tetapi bayaran untuk kembali menggunakan jasa Ibra juga harus ia perhitungnkan.
Tidak, Kanaya tidak sekaya itu untuk membayar pria semacam Ibra berkali-kali. Jika hanya sekali mungkin dia baik-baik saja, tapi tidak berlaku jika hal itu sudah berulang.
BRAK
Banting pintu, jika biasanya seorang anak yang kerap melakukan hal tercela itu pada seorang ibu, lain halnya dengan Kanaya. Wanita itu bukan anak kecil lagi, namun mendengar suara pintu yang dibanting sebegitu kuatnya, batinnya kembali terluka.
Ya Tuhan, kenapa pagi ini kembali terasa menyesakkan. Kanaya berjalan keluar dengan pakaian santainya.
Kebetulan memang hari ini dia tidak bekerja, tubuhnya benar-benar tak nyaman sama sekali. Entah karena terlalu memikirkan ucapan Lorenza dan dugaan Siska, atau memang ada masalah dalam tubuhnya.
Lari pagi, meski bukan sepagi itu tapi Kanaya tetap mengatakan hal ini sebagai lari pagi. Celana ketat dan baju yang pendek sebagaimana pakaian yang biasa dikenakan para wanita untuk olahraga pada umumnya.
Melewati ruang makan yang ternyata Gibran dan Khaira baru selesai sarapan. Tubuh seksinya jelas saja dapat dilihat nyata oleh Gibran, pria itu bahkan tak menyadari jika di sebelahnya ada sang istri.
"Ehem!! Harus banget ya lewat sini?"
Khaira bertanya tanpa menatap Kanaya, dia jijik melihat mantan kekasih suaminya ini. Bukan karena alasan itu saja, akan tetapi perasaan iri dalam batin Khaira yang tak terima dengan kelebihan yang membuat Kanaya lebih menonjol darinya.
"Ngomong sama aku?" tanya Kanaya menunjuk dirinya sendiri, karena perlu dipastikan siapa yang Kbaira maksud, pikirnya.
"Menurut kamu? Memang di sini masih ada wanita tidak beradab selain kamu? Cih, sengaja menggoda Gibran kah?"
Kanaya mengepalkan tangannya kuat-kuat. Apa yang diucapkan Khaira adalah fitnah paling tak terpuji. Wanita itu menghela napas perlahan, dia harus sebisa mungkin tak terlihat santai meski batinnya terkoyak dengan ucapan Khaira.
"Khaira ... kamu menyedihkan," ucap Kanaya sarkas sembari menatap rendah Khaira, wanita itu sontak berdiri dan hendak menghampiri Kanaya di sana.
"Sayang, stop!! Jangan gegabah, ingat di rumah ini bukan hanya kita," bisik Gibran sembari menahan pergelangan tangan istrinya.
"Tapi kamu lihat sendiri, Mas ... dia sengaja begitu buat goda kamu!!" sentak Khaira menghempas tangan Gibran.
"Goda apa, Khaira? Pikiran kamu terlalu jauh, Sayang ... Mas juga nggak akan tertarik sama dia," jelas Gibran berusaha membuat istrinya tenang, padahal jujur saja Gibran berdesir melihat Kanaya yang semakin hari semakin cantik di matanya.
Munafik sekali, ucapan Gibran dapat Kanaya dengar dengan jelas. Terserah, meski sesungguhnya Kanaya merasa terhibur dengan pemandangan pagi ini, rasanya semakin mual jika terus berada di sini.
-
.
.
.
"Aku hubungi nggak ya?"
Sudah lima belas menit, dan Kanaya masih sama. Mondar mandir persis setrikaan di sana. Dia belum pulang karena tak berniat untuk pulang, sejak tadi memilih taman sebagai tempatnya berdiam diri.
"Tapi kalau pakai dia lagi ... arrrggh 10 juta dalam sekejap rugi sekali." Resah sekali rasanya, Kanaya bingung luar biasa, menatap kolom chat yang sejak tadi belum terkirim juga.
Dia melamun, bingung harus apa karena memang batinnya tengah terguncang banyak hal. Jika dia kembali bertemu Ibra, maka artinya dia harus benar-benar menyiapkan mentalnya.
Ingin rasanya dia berteriak kuat-kuat, mempertemukan Ibra bersama mamanya ternyata jadi bencana besar. Menyesal sekali dia melakukan hal konyol itu tiga minggu lalu.
"Mba awas mba!!"
"Aaaarrrgggghh apa-apaan sih, Mas? Kenapa harus lewat sini!!" sentak Kanaya tak mampu mengendalikan diri kala seorang pria membawa sampah di hadapannya, dia yang salah cari tempat duduk atau bagaimana, pikir Kanaya.
"Mba nya juga ngapain duduk dimari, noh tempat duduk ada." Sial, pria ini sama ketusnya ternyata, Kanaya tak bisa menyanggah dan terpaksa mengalah meski hatinya dongkol nauzubillah.
"Ya Tuhan, kenapa semua orang kumat dihari yang sama." Kanaya bermonolog, menatap heran pria dengan rompi oranye itu.
Ting
Ponselnya berdering, Kanaya dengan perasaan masih kesal lantaran pria tadi menatap layar ponselnya.
+62**** : Dimana?
"Haaaaaah?!!! Mati-mati!!! Apa yang aku lakukan?!" teriak Kanaya frustasi, mungkin orang-orang di sekitarnya akan mengira Kanaya kurang waras, wanita itu bahkan meloncat-loncat sembari menjambak rambutnya sendiri.
Pesan yang tadi ia ketik nyatanya terkirim, dan bodohnya di sana Kanaya justru mengutarakan niatnya untuk bertemu secepatnya.
"Aaaaaaarrrrrggggghh!!! Sialaaan!! Semua ini gara-gara kamu" jerit Kanaya memukul angin, menatap penuh dendam pria berompi oranye yang berada di depan sana, pria itu tampak tak berdosa dan melihat Kanaya dengan tatapan anehnnya.
Kanaya ketar-ketir, jantungnya berdebar tak karuan bersamaan dengan kepalanya terasa semakin sakit. Minumnya sudah habis dan aarrgghh rasanya ingin sekali kotak sampah didepannya dia banting.
Mau bagaimana jika sudah begini, Kanaya tak berani untuk menjawab pesan dari Ibra sekarang. Pria itu masih online namun tak kembali mengirimkan pesan tambahan, apa mungkin sebenarnya dia menunggu jawaban Kanaya?
"Lagian kenapa juga harus langsung dibaca, dia benar-benar tidak ada pekerjan siang hari sepertinya."