"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak di Antara Batu Part.5 (Lanjutan)
Rangga berdiri di tempatnya, masih memandang lorong yang tampak semakin gelap di depan mereka. Napasnya berat, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Meski makhluk penjaga itu telah menghilang, rasa tegang yang menggantung di udara belum sepenuhnya sirna. Seperti ada sesuatu yang menunggu di ujung lorong, lebih besar dan lebih menantang daripada apa yang baru saja mereka hadapi.
Ki Jayeng berjalan mendekat, tongkatnya mengetuk-ngetuk lantai batu yang keras. Ia menatap Rangga dengan sorot mata tajam, tetapi bibirnya melengkungkan senyuman tipis. “Rangga, eta tadi lain sekadar ujian fisik. Penjaga sapertos kitu lain makhluk biasa. Nu tadi ngukur henteu ngan saukur kakuatan, tapi ogé ketenangan haté anjeun.”
Rangga menunduk, menatap tongkat kayunya yang kini penuh dengan goresan dan bercak debu. “Aku hampir kalah tadi,” katanya lirih. “Kalau aku tidak melihat gerakannya tepat waktu, mungkin aku tidak akan selamat.”
Ki Jayeng menepuk bahunya dengan lembut. “Tapi anjeun sadar di tengah pertempuran. Ieu anu penting. Anjeun geus ngamangpaatkeun naon anu anjeun pelajari.” Ia menghela napas sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Tapi ujian ieu ngan awal. Nu salajengna bakal leuwih hese.”
Larasati, yang berdiri beberapa langkah di belakang, mendekat perlahan. Wajahnya masih pucat, dan tubuhnya sedikit gemetar, tetapi ia berusaha menyembunyikan ketakutannya. “Rangga,” panggilnya pelan. “Apa kau yakin kita harus terus maju? Gunung ini... sepertinya tidak akan berhenti mencoba menghentikan kita.”
Rangga menoleh, menatap Larasati dengan tatapan penuh keyakinan. “Kita tidak punya pilihan,” jawabnya. “Kalau kita berhenti sekarang, mereka akan mencapai prasasti lebih dulu. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi.”
“Tapi...” Larasati terdiam sejenak, lalu menundukkan pandangannya. “Apa gunung ini hanya menguji kita? Atau ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih besar yang kita tidak mengerti?”
Ki Jayeng mengangkat tongkatnya, menunjuk ke lorong gelap di depan mereka. “Gunung Kendan ieu tempat anu henteu saukur fisik, Larasati. Ieu oge tempat anu nguji jiwa. Nu tadi ngan salah sahiji rintangan. Tapi urang kudu terus maju.”
Larasati mengangguk pelan, meski keraguan masih terlihat di wajahnya. Ia tahu bahwa Rangga dan Ki Jayeng tidak akan berhenti, dan ia tidak ingin menjadi beban bagi mereka. Dengan napas yang dalam, ia berkata, “Kalau begitu, aku ikut. Apa pun yang terjadi.”
Rangga tersenyum kecil, mengangguk pada Larasati. “Kita akan melewati ini bersama,” katanya, mencoba meyakinkannya.
Tanpa membuang waktu lagi, mereka bertiga melangkah kembali ke lorong gelap. Dinding batu di sekitar mereka terasa semakin sempit, dan udara di sana semakin dingin, seolah-olah lorong itu sendiri menolak kehadiran mereka. Setiap langkah terasa berat, dan suara gema langkah kaki mereka terdengar seperti bisikan yang menghantui.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah persimpangan lagi. Kali ini, lorong bercabang menjadi tiga jalan, masing-masing terlihat sama gelap dan sama menakutkannya. Di dinding setiap jalur terdapat simbol yang bercahaya samar, pola lingkaran yang dikelilingi garis-garis seperti gelombang angin.
“Apa maksudnya ini?” tanya Rangga sambil memeriksa simbol di salah satu jalur. Pola itu terlihat rumit, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian matanya—seperti bisikan halus yang memanggilnya untuk mendekat.
“Simbol ieu... ieu petunjuk,” kata Ki Jayeng, matanya memperhatikan dengan saksama. “Tapi teu gampang. Henteu sadayana jalan anu aya bakal ngarah kana tujuan anu bener.”
“Kita harus memilih jalan yang benar?” tanya Larasati, suaranya cemas. “Bagaimana kita tahu mana yang benar?”
Rangga memejamkan matanya, mencoba merasakan sesuatu dari aliran angin yang mengalir melalui lorong. “Angin,” gumamnya pelan. “Gunung ini selalu berbicara melalui angin. Mungkin... mungkin kita harus mendengarkan.”
Ia berdiri di tengah persimpangan, membiarkan tubuhnya rileks. Napasnya perlahan menjadi lebih tenang, dan ia mencoba mendengar lebih dalam, bukan dengan telinganya, tetapi dengan perasaannya. Ada sesuatu yang aneh—aliran angin di salah satu lorong terasa berbeda, lebih lembut tetapi lebih kuat, seolah-olah ia dipanggil untuk mengikutinya.
“Yang ini,” kata Rangga akhirnya, menunjuk ke lorong paling kanan. “Aku merasa ada sesuatu di sana.”
“Anjeun yakin?” tanya Ki Jayeng, suaranya serius. “Mun salah milih, urang bisa ngadeuheus kana bahaya anu leuwih gede.”
Rangga mengangguk, meskipun ragu masih mengintip di sudut hatinya. “Aku yakin,” katanya. “Kalau ini jebakan, kita akan hadapi bersama.”
Mereka melangkah masuk ke lorong itu, kali ini dengan langkah lebih berhati-hati. Dinding lorong semakin sempit, dan lantainya terasa licin oleh lumut yang basah. Di beberapa tempat, cahaya redup dari simbol-simbol kuno menjadi satu-satunya penerangan, membuat bayangan mereka tampak bergerak sendiri.
Saat mereka semakin jauh ke dalam lorong, suara gemerisik kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Larasati mencengkeram lengan Rangga, matanya menatap sekeliling dengan cemas. “Kita tidak sendiri,” bisiknya.
Rangga mengangkat tongkatnya, bersiap menghadapi apa pun yang datang. “Tetap di belakangku,” katanya tegas.
Dari kegelapan di depan mereka, sesuatu mulai muncul—bayangan besar yang bergerak dengan kecepatan mengerikan. Sebelum mereka sempat bereaksi, bayangan itu melompat ke arah mereka, menghantam dinding dengan kekuatan besar. Suara batu retak terdengar, dan debu memenuhi udara.
“Siaga!” teriak Ki Jayeng, memutar tongkatnya untuk mempersiapkan serangan.
Makhluk itu akhirnya keluar dari bayangan. Tubuhnya besar dan berwarna gelap, dengan kulit keras seperti batu dan mata kuning yang bersinar di kegelapan. Ia menggeram rendah, dan suara itu mengguncang seluruh lorong, membuatnya terasa seperti gempa kecil.
“Kita menghadapi makhluk lain,” kata Larasati dengan napas terengah. “Apa kita bisa mengalahkannya?”
“Kita tidak punya pilihan,” balas Rangga, melangkah maju. “Kita harus melawan.”
Makhluk itu menyerang dengan cakar tajamnya, tetapi Rangga berhasil menghindar di detik terakhir. Ia membalas dengan ayunan tongkatnya, tetapi pukulannya hanya meninggalkan bekas kecil di kulit keras makhluk itu.
“Rangga, kulitna teu gampang diruksak!” seru Ki Jayeng. “Aya cara lain.”
Rangga melompat mundur, mencoba mencari celah di pertahanan makhluk itu. Ia memutar tongkatnya, merasakan aliran angin di sekitar mereka. Ada sesuatu yang aneh—aliran angin sepertinya terkumpul di sekitar makhluk itu, menciptakan tekanan yang tak terlihat.
“Angin,” gumamnya. “Makhluk ini... menggunakannya juga.”
Dengan pemahaman baru, Rangga mengubah strateginya. Ia tidak lagi mencoba menyerang langsung, tetapi memanfaatkan aliran angin untuk mengalihkan perhatian makhluk itu. Setiap gerakannya menjadi lebih halus, lebih selaras dengan arus udara di sekitar mereka.
Pertarungan berlanjut, dan Rangga mulai memahami pola gerakan makhluk itu. Dengan sekali hentakan tongkat yang presisi, ia berhasil memukul bagian belakang leher makhluk itu, titik lemah yang sebelumnya ia temukan. Makhluk itu menggeram keras sebelum jatuh ke lantai, tubuhnya mulai memudar menjadi butiran angin.
Saat semuanya kembali tenang, Rangga berdiri dengan napas memburu. “Satu ujian lagi,” gumamnya. “Dan kita belum selesai.”
Ki Jayeng mengangguk pelan, sementara Larasati memandang Rangga dengan campuran kekhawatiran dan kekaguman. Mereka melanjutkan langkah, meninggalkan tubuh makhluk itu yang kini telah lenyap seperti kabut yang tertiup angin.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya