Haura, seorang gadis pengantar bunga yang harus kehilangan kesuciannya dalam sebuah pesta dansa bertopeng. Saat terbangun Haura tak menemukan siapapun selain dirinya sendiri, pria itu hanya meninggalkan sebuah kancing bertahtakan berlian, dengan aksen huruf A di dalam kancing itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MGTB And CEO BAB 9 - Pencarian Azzam
Hari ini, Azzam bertekad untuk mencari tahu tentang kancing baju bertahtakan berlian milik sang ibu. Hanya kepada Labih dan Nanjanlah ia bisa meminta pertolongan.
Tak ingin membuang-buang waktu.
Setelah sang ibu pergi untuk menyetrika baju disalah satu rumah warga, Azzam pun berpamitan pada Aminah untuk pergi ke rumah Labih. Saat itu Azzam tak mengajak Azzura, sang adik terus merengek mengatakan ingin ikut. Akhirnya Azzam berbohong, ia berkata jika kali ini ia dan Bang Labih akan mengerjakan tugas di lapangan. Kasihan Azzura jika harus ikut.
Dengan terpaksa, akhirnya Azzura mengangguk, terlebih saat ingat kakinya masih sedikit sakit.
"Zam, sebelum ibumu pulang dzuhur nanti, kamu sudah harus ada di rumah," ucap Aminah, entah kenapa tiap kali Azzam pergi sendiri seperti ini ia terus merasa cemas. Aminah merasa jika akan ada sesuatu hal yang dilakukan oleh sang cucu.
"Iya Nek, Insya Allah," jawab Azzam, lengkap dengan senyumnya yang khas. Senyum tipis dan matanya yang tajam. Dari tatapannya itu Azzam sudah nampak begitu dewasa, melebihi usianya.
"Ya sudah, hati-hati," balas Aminah.
"Cepat pulang," rengek Azzura, ia memeluk kaki Aminah erat, menahan kesal ditinggal oleh sang kakak.
"Iya iya," jawab Azzam, patuh pada sang adik.
Mengambil seribu langkah, Azzam segera bergegas ke rumah Labih. Hari ini hari minggu, Labih tidak sedang bersekolah.
Kedatangan Azzam itupun langsung disambut oleh Labih.
Duduk di kursi taman berdua, Azzam menceritakan tentang penemuannya. Azzam juga meminta pada Labih, untuk mengantarnya ke kecamatan. Menjangkau internet agar ia bisa mencari informasi detail tentang kancing itu.
Barang mahal seperti berlian, apalagi sudah diubah menjadi barang pribadi seperti kancing pasti akan lebih mudah untuk ditemukan.
Layaknya aset keluarga turun temurun.
Labih yang merasa iba pun menyanggupi. Ia meminjam mobil dinas sang ayah untuk dibawanya ke kecamatan, membantu Azzam untuk membeli obat sang nenek.
Itulah alasan mereka. Ammar, ayah Labih pun mengizinkan.
Mereka tak hanya pergi berdua, sekalian jalan mereka menjemput Nanjan. Menyusuri jalanan Desa yang masih berupa tanah, andaikan hari ini hujan pasti mereka akan lebih kesulitan. Untunglah, sedari kemarin cuaca terus cerah.
Cukup lama, 2 jam lamanya mereka diperjalanan. Hingga akhirnya mereka sampai di Krayan. Sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Kecamatan yang terletak di bagian barat Kabupaten Nunukan dan berbatasan dengan Serawak, Malaysia.
Tak kesusahan, mereka langsung menuju warung internet yang biasa dikunjungi oleh Labih dan Nanjan.
Tanpa komando, Azzam bisa mengoperasikan komputer itu secara langsung. Sesaat Labih dan Nanjan terperangah, namun saat mengingat anak ini bernama Azzam, mereka mulai percaya.
Karena Azzam adalah si anak genius.
Mencari di mesin pencarian, Azzam terus menggulir kursor itu ke bawah mencari gambar yang mirip seperti milik sang ibu. Matanya berbinar, ketika ia melihat satu gampar yang nampak begitu persis.
"Ini Bang, ini kancing milik ibuku," ucap Azzam, memberi tahu pada Labih dan Nanjan yang juga ikut duduk di sebalahnya.
Azzam sangat yakin, jika inilah kancing yang ia cari. Kancing bertahtakan berlian dengan aksen huruf A didalamnya.
Tanpa babibu, Azzam langsung mengKlik gambar itu. Hingga mengarahkannya pada sebuah Web, Kaluarga Malik.
Dengan teliti, dibacanya satu per satu informasi itu. Keluarga Malik adalah keluarga terkaya di Indonesia. Pemilik PT. Malik Kingdom, perusahaan rokok paling besar di indonesia. Tak hanya itu, keluarga Malik juga memiliki 75% kepemilikan saham salah satu bank swasta terbesar di Indonesia, Bank ACB.
Saat ini, seluruh kekuasaan atas kekayaan itu dipegang oleh generasi keempat keluarga Malik, yaitu Adam Malik.
Tersentak, saat Azzam menyebut nama itu. Ada geleyar aneh yang masuk ke relung hatinya. Menjalar tanpa bisa dicegah.
Seseorang dengan inisial nama A.
"Wah, benarkan ibumu memiliki hubungan dengan orang sehebat ini Zam?" tanya Nanjan tak percaya, rasanya terlalu mustahil untuk menjangkau orang seperti itu. Perbedaan kasta diantara keduanya yang begitu ketara.
Ketiga pasang mata itu terus menatap layar monitor, dengan pemikiran yang berbeda-beda.
Kembali membaca detail informasi tentang Adam Malik. Pengusaha yang mencapai kesuksesan di usia muda, 39 tahun. Semenjak bisnis keluarganya diambil alih olehnya, bisnis itu makin berkembang pesat. Adam juga sudah menikah dengan seorang anak pengusaha, Monica.
Setelah membaca semua detail informasi itu, sama halnya seperti Nanjan, Azzam pun sempat meragukan. Benarkah ibunya memiliki hubungan dengan seseorang seperti Adam Malik, seorang yang bisa dikatakan sebagai sang penguasa.
Namun sejurus kemudian ia kembali yakin, jika seseorang bernama Adam Malik itu pasti memiliki hubungan dengan ibunya, tapi entah hubungan yang seperti apa.
Sama halnya seperti takdir yang sudah digariskan oleh sang pencipta, hal yang nampaknya mustahilpun bisa terjadi dengan begitu mudahnya.
"Maaf Zam, sebaiknya kamu tanyakan langsung pada ibumu tentang kancing itu. Bisa saja, ibumu tak sengaja menemukannya di jalan," terang Nanjan lagi, ia pun sebenarnya iba pada nasib Azzam. Namun ia lebih tak tega lagi, jika Azzam hanya berharap pada harapan palsu.
Azzam terdiam, hingga dirasa tangan Labih mengelus punggungnya memberikan ketenangan.
"Coba kita cari wajah Adam Malik itu, jika wajahnya mirip sepertimu, bisa saja semuanya jadi mungkin," jelas Labih, menengahi.
Azzam menurut, namun cukup lama mereka mencari, satu foto pun tak mereka temukan. Seolah Adam Malik ini adalah sosok yang misterius.
Menelan ludah, akhirnya Azzam hanya bisa pasrah.
Karena terlalu asiknya menatap layar komputer, mereka bertiga tak menyadari jika hari sudah mulai sore.
Keluar dari dalam warung internet itu, matahari sudah mulai turun secara perlahan.
"Astagfirullah, kita sampai lupa waktu Zam," ucap Labih cemas. Bisa-bisa, mereka sampai di rumah saat malam hari.
Menyadari itu, Azzam pun merasakan kecemasan yang sama. Ia cemas, pasti sang ibu sudah menunggunya dengan gusar.
"Bismilah saja, ayo kita pulang," ajak Nanjan.