Kehadiran sosok wanita cantik yang memasuki sebuah rumah mewah, tiba-tiba berubah menjadi teror yang sangat mengerikan bagi penghuninya dan beberapa pria yang tiba-tiba saja mati mengenaskan.
Sosok wanita cantik itu datang dengan membawa dendam kesumat pada pria tampan yang menghuni rumah mewah tersebut.
Siapakah sosok tersebut, ikuti kisah selanjutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darto-3
"Hah!" Mahardika tersentak kaget saat melihat tak ada apapun disana. Semua terlihat biasa saja, dan pria itu mengusap wajahnya dengan cepat dan kembali mengguyur tubuhnya dengan air, lalu bergegas pergi.
Setelah merapikan dirinya, ia menuju ranjang tidur dan berbaring disamping Sutini yang tampak tertidur dengan lelap.
"Apakah aku tadi hanya berhalusinasi?" ia mendekap guling yang berada disampingnya, san meletakkannya diatas tubuhnya yang terbaring telentang.
Tak... Tak.. Tak...
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang menggunakan sepatu high heels menuju kamarnya dan langkah itu berhenti tepat didepan pintu.
"Siapa?" tanyanya dengan rasa penasaran. Ia beranjak bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju pintu, lalu membukanya dengan perlahan.
Saat ia berdiri diambang pintu, ia melihat suasana sangat hening, dan tidak ada siapapun yang ia temui.
Sesaat ia merasakan hembusan angin yang berdesir dengan aroma mawar khas yang begitu sangat ia kenal melintasinya masuk kedalam kamar.
Seketika Mahardika merasakan bulu kuduknya meremang, dan ia mengusap tengkuknya.
"Seperti ada yang melintas, tapi apaan, ya?" ia kembali menutup pintu dan menuju ranjangnya.
Saat bersamaan, sesosok bayangan merasuk kedalam tubuh Sutini yang sedang berbaring pulas.
Dalam hitungan detik, kedua matanya terbeliak dan menatap tajam pada langit-langit kamar, lalu beranjak duduk.
Mahardika yang baru saja akan berbaring kini tersentak dan beringsut dari tempatnya dengan wajah takut saat melihat perubahan sang istri.
"Hah, k-kamu kenapa?" ucap Mahardika dengan rasa gugup yang menguasai hatinya.
Keringat dingin disertai deguban jantungnya yang memburu membuat ia sangat cemas.
"Tin, Tini, kamu kenapa?" tanya Mahardika dengan wajah takut.
Sutini menatap dengan tajam dan senyum seringai menghiasi bibirnya.
"Kau kejam, Mas!" ucap wanita itu dengan suara yang lain dan membuat Mahardika merasa dejavu. Ia seolah mengenal suara itu, tetapi siapa?
Pria itu beringsut dari ranjangnya dan berjalan mundur saat melihat pergerakan Sutini yang tak biasa.
Wanita itu melayang dan menuju kearahnya disertai kedua tangannya yang siap mencekik pria dihadapannya.
Wuuuush...
Sutini mendarat dilantai dan menyambar leher sang pria dengan sebuah cekikan yang cukup kuat hingga membuat Mahardika kesulitan bernafas.
Ditengah rasa putus asa yang dihadapinya, pria itu meraih sebuah vas bunga berbahan guci kecil yang ada diatas meja nakas dan dengan susah payah mendapatkannya, lalu menghantam kepala sang wanita hingga mengeluarkan cairan pekat berwarna merah.
Wanita itu melepaskan cekikannya, lalu menatap sinis dengan dalam wajah lain, disertai sorot mata tajam penuh dendam.
Mahardika tersentak kaget saat melihat wajah wanita tersebut, lalu menjatuhkan vas bunga ke lantai hingga berserakan, dan merasa itu tidak mungkin.
"Pergi, pergi, pergi!" usirnya dengan rasa gugup yang begitu kuat.
Sosok itu kembali menyeringai, lalu meninggalkan tubuh Sutini yang penuh dengan cairan pekat berbau anyir akibat pukulan keras dibagian kepalanya. Lalu melesat kembali ke jasad wanita yang berbaring dikamar lain.
Sedangkan tubuh Sutini luruh kelantai dengan luka yang cukup parah.
Mahardika bergegas menghampiri wanita tersebut, lalu memeriksanya, dan masih ada detak jantungnya. Ia mungkin menghantamnya terlalu keras, sehingga membuat robekan yang cukup parah dibagian kepalanya.
Pria itu memindahkan tubuh Sutini dengan cara diseret, sebab terlalu berat, dan menaikkannya ke atas ranjang, lalu membersihkan sisa noda darah yang berceceran dilantai, serta pecahan keramik.
*****
Pagi terlihat masih berkabut. Jalanan diperkebunan terlihat sangat becek, dan pastinya sulit dilalaui kendaraan motor. Hari ini para pekerja akan memanen kelapa sawit dengan rasa tak bersemangat, sebab kondisi cuaca yang masih tak menentu.
Dengan membawa peralatan memanen, para pekerja terpaksa mengendarai sepeda motor dengan sangat hati-hati karena rawan tergelincir.
Saat tiba diafdeling empat, mereka dikejutkan oleh sebuah sepeda motor yang tergeletak dijalanan dengan noda darah yang cukup banyak, akan tetapi tidak ada penumpangnya.
Empat orang pekerja yang saat ini sedang mencari pemilik sepeda motor yang diketahui adalah milik Darto karena pria itu sering menggunakannya saat mengawasi mereka ketika bekerja dengan sikap pongah dan arogan.
Debaran dihati mereka memburu karena genangan darah bercampur air hujan yang cukup banyak.
Pandangan mereka menyapu setiap.arah untuk mencari keberadaan dimana sang pengawas perkebunan.
"Hah, itu disana!" tunjuk salah satu pekerja yang melihat tubuh Darto tersangkut dibatang kelapa sawit dibagian bekas pelepah yang sudah lama dipruning.
"Itu beneran mandor Darto, ayo kita periksa, tapi jangan disentuh!" titah salah satu diantara mereka.
"Iya, awas, jangan sembarangan sentuh, nanti sidik jari kalian tertinggal dan menjadi masalah!" yang satu mengingatkan juga.
Mereka bergegas turun dan meletakkan perlatan memanen ditepian jalan yang bertanah keras, lalu mendekati tubuh pria malang itu.
"Bemeran mayat mandor Darto," pekik salah satunya setelah memastikan wajah pria yang sudah tewas tersebut.
"Alhamdulillah," sahut yang lainnya.
"Innalillahi bukan Alhamdulillah," yang lain mengingatkan.
"Ya Alhamdulillah, sebab selama hidup songong banget," pria itu menyela.
"Hus, gak boleh begitu, gimanapun dia sudah menjadi mayat. Kita hubungi pak Mahardika untuk memberitahukan perihal ini," salah satunya berinisiatif untuk menghubungi sang juragan atas apa yang mereka lihat.
"Lho, kok burungnya hilang?" pria satunya mengerutkan kening saat melihat kondisi Darto yang terus mengeluarkan cairan pekat dari bagian selangkanya.
"Hah!" ketiga rekan lainnya sontak terkejut dan saling pandang. Bahkan yang sedang menelpon saat ini gugup karena menyaksikan kondisi Darto yang sangat mengenaskan.
"Emang si pembunuh ini motifnya apa, ya? Kalau merampok kenapa cuma perkututnya saja yang hilang? Biasanya kan barang berharga gitu yang diambil," pria penelepon bingung dengan pertanyaaannya sendiri.
"Perkututnya juga barang berharga. Apa kamu gak mikir kalau pria tanpa perkutut itu tidak punya harga diri!" yang satu menyela.
"Kamu sudah nelponnya belum?" tanya rekan lainnya.
Pria itu memeriksa ponselnya dan tidak tersambung. ia baru menyadari jika lupa membeli kuota.
"paket kuotaku habis,"
"Huh, dasar." celetuk rekannya yang mengucapkan alhamdulillah saat pertama tadi. "Biar aku yang kerumah juragan, kalian tunggu saja disini." pria itu beranjak dari tempatnya.
"Ingat, jangan disentuh mayat itu, nanti menyesal, ingat," pria itu kembali mengingatkan rekannya.
"iya, iya," jawab salah satunya dengan sewot. Lagipula siapa yang mau jadi tersangka dengan meninggalkan sidik jari disana.
Pria itu menghampiri sepeda motornya dan bergegas menuju kediaman Mahardika yang mana jaraknya cukup sangat jauh.
Sesaat ia mencoba mengalihkan tujuannya. Bukankah lebih baik ia kekantor polisi saja yang jaraknya cukup dekat, karena berada diujung persimpangan, sedangkan le rumah juragan itu lebih sangat jauh.
Pemuda itu memutar motornya untuk menuju kantor polisi yang berada dibagian selatan dari perkebunan mereka, dan melaju dengan kecepatan yang cukup lamban karena kondisi jalanan yang cukup becek.