Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Lost Colonel
Aneh sekali nasibku ini. Setelah lama tersangkut di batu-batu besar sungai tak berdaya, sekarang aku sudah berada di kamar seorang gadis muda. Gadis itu sebenarnya manis, tapi cara bicaranya sok berkuasa sekali, seolah dia bos di dunia ini.
Aku juga dulu pernah sepongah itu. Di umur 21 tahun aku sudah didapuk menjadi Taisho untuk pasukan Dai Nippon di area Batavia, aku merasa diriku hebat dan bisa mengatur semuanya. Hingga Tuhan menunjukkan kuasa-Nya, Ia mengirimkan seorang wanita yang melunturkan kesombonganku. Pola pikirnya mendominasiku dan mempengaruhi perspektifku tentang dunia ini. Dia membawa pola pandang dan warna baru dalam kacamata hidupku. Aku masih ingat pertama kali aku bertemu dengannya.
“Kenapa kamu tidak membungkuk kepada saya?” Aku merasa tidak terima saat wanita Batavia itu melenggang begitu saja begitu melihatku. Tidak membungkuk, menunduk segan pun tidak.
“Memang kamu siapa?” Pertanyaan wanita pribumi itu membuatku tertawa.
“Jadi kamu tidak mengenalku. Aku Tomoya Hayashi, Taisho di area ini.”
Wanita itu menatapku bingung, “Lalu? Aku tidak ingat mendaftar sebagai anggota militer. Kapan aku menjadi bawahanmu?” Responnya tidak sesuai perkiraanku, “Maksudku apa jasamu sampai aku harus membungkuk kepadamu? Apa kamu yang mengajariku berjalan? Bicara? Membaca? Bukan kan?” Wanita itu mengoceh panjang membuatku tercekat.
Aku geram, tidak terima dengan ketegasan wanita ini. Di mataku wanita harus penurut dan lemah-lembut, tidak pantas bersuara setegas itu, “Saya bisa saja mengakhiri hidup kamu disini.” Aku menunjukkan pedang yang kubawa karena kesal.
“Hanya karena sebuah pembicaraan singkat?” Wanita lokal itu tersenyum geli, “Seberapa rendah kepercayaan dirimu, hingga omongan jujur wanita bisa membuatmu kehilangan kata-kata, sampai harus memakai kekerasan?” Ia menjawab dengan lancar, “Apa aku tampak seperti ancaman bagimu? Dengan rok panjangku ini?” Nadanya meledek.
Aku merasa tertohok, omongannya ada benarnya dan itu membuatku malu, “Aku hanya memberitahu posisimu, kamu bukan apa-apa dibanding aku. Lupakan, wanita bukan lawanku.” Aku menjelaskan dengan kesombonganku. Wanita itu tersenyum geli, seperti telah memprediksi reaksiku.
“Taisho Hayashi-san, sudah selesai bicaranya? Saya pamit meneruskan perjalanan.” Wanita itu pamit, seperti tidak ingin lagi berurusan denganku.
“Hei, mau kemana kamu?” Aku masih tidak terima ditinggal begitu saja.
Wanita itu memutar bola matanya, “Bekerja.”
“Bekerja dimana?” Sejujurnya aku penasaran kepada wanita tegas itu.
“Administratiekantoor van een suikerbedrijf." Jawab wanita itu cepat, membuatku sempat mengernyitkan alis. Beruntung aku mengerti bahasa Belanda, wanita itu pasti tidak menyangkanya.
Kantor administrasi pabrik gula Belanda. Wanita itu berjalan kaki menuju tempat kerjanya. Kebetulan memang ada satu pabrik gula terdekat dari tempat itu, berarti disanalah aku bisa menemuinya lagi.
Maka di hari berikutnya, berbekal penasaran dan keluangan waktu, aku menuju pabrik gula dengan gugup. Saat itu aku sendiri tidak mengerti alasan aku gugup, padahal kukira aku orang yang berani dan percaya diri.
Di depan pagar komplek perusahaan aku menyandarkan tubuhku menunggu sosok wanita yang kuingat. Sialnya aku belum mengetahui namanya.
Saat akhirnya wanita itu muncul, aku bingung bagaimana menyapanya. Siapa aku, temannya pun bukan.
“Taisho Hayashi-san?” Tanpa kusangka dia masih mengingat namaku, "Naze koko ni iru no desuka (mengapa anda disini)?” Tanyanya dalam bahasa Jepang yang sempat membuatku tertegun. Wanita ini lebih pintar daripada yang kuduga.
“Nandemonai desu (tidak ada apa-apa). Aku berpatroli di sekitar sini dan kebetulan sekali kita bertemu,” balasku mengarang, “Aku belum tahu siapa namamu. Ini tidak adil, kan?”
Wanita itu tersenyum, “Saya tidak mengerti untuk apa anda menanyakan nama,” responnya membuatku sempat pesimis. Wanita secerdas dia pasti memiliki harga diri yang tinggi, “Kemuning,” ucapnya kemudian.
“Kemuning? Itu namamu?” aku tidak percaya pada pendengaranku. Apa ia mengizinkanku berteman dengannya? ‘Tunggu, aku tidak boleh terlalu terlihat tertarik dengannya.’ Gengsiku memperingatkan pikiranku. Mendadak muncul ide dalam kepalaku, “Aku punya tawaran kerja yang bagus.”
“Tapi saya sudah punya pekerjaan,” Kemuning menunjuk tempat kerjanya.
“Tenang, ini pekerjaan sampingan yang bisa disesuaikan dengan kesibukan kamu,” aku membujuknya, “Aku akan membayarmu per hari untuk ini, bagaimana?” tawaranku membuat Kemuning menatapku dengan curiga. “Ini bukan pekerjaan aneh, aku hanya membutuhkan kamu sebagai pengajar bahasa pribumi dan bahasa Belanda untukku.” Aku menjelaskan, ‘Kamu cerdik tetapi nekat Hayashi! Untuk apa kamu mengarang pekerjaan ini? Ini membuang-buang waktu.’ Dalam hati aku heran dengan spontanitasku.
“Bukankah kamu sudah menguasainya?” Kemuning saat itu heran.
“Aku...masih sulit menulis dan mengeja hurufnya,” aku beralasan. Kemuning terlihat berpikir keras, “Kamu boleh mempertimbangkannya terlebih dulu. Tidak perlu datang setiap hari, kapanpun kamu bisa, datanglah ke markas Dai Nippon terdekat, sebut namaku. Setiap kamu datang kesana akan kubayar lunas. Aku tahu ilmu itu berharga.” Aku berpesan sebelum menarik diri pamit.
Setelah hari itu aku harap-harap cemas. Di markas aku sangat berharap kehadirannya, sekaligus cemas ia tidak akan menemuiku lagi karena tahu kepura-puraanku. Di suatu waktu anggotaku memanggil karena ada yang mencariku, aku setengah berlari menghampiri pos penjagaan di depan dan benarlah harapanku terkabulkan, Kemuning datang. Ia berjalan dengan elegan ke arahku.
“Jadi kamu setuju menjadi guruku?” Aku memastikan tujuannya.
Kemuning mengangguk, “Ibuku seorang guru, aku sudah lama menantikan kesempatan membagi ilmu seperti ini. Aku senang mengajari orang yang mau belajar.” Ia menjelaskan latar belakangnya dengan rinci.
Aku memperkenalkan Kemuning kepada pasukanku, agar mereka kenal dan mengabariku setiap ia datang. Aku juga mengajaknya melipir ke dekat sungai tidak jauh dari markas. Di sana pemandangannya indah menghijau, masih banyak pohon rindang dan batu-batu besar yang bisa kami duduki. Kami bisa melihat sungai jernih dari sana.
Aku mengajaknya duduk di batu besar yang landai di bawah pohon yang rindang.
“Sebelumnya aku ingin membicarakan perihal upah mengajar,” Kemuning membuka pembicaraan.
“Oh ya, jadi berapa yang kamu minta?” Aku tersenyum maklum.
“Bolehkah upahnya bukan berupa uang? Bukankah anda mahir berpedang, bisakah anda mengajariku sebagai gantinya?” Permintaan Kemuning membuatku tersenyum lebar. Pertama, aku suka orang yang punya tekad untuk belajar. Kedua aku lebih senang lagi karena ia tertarik pada bidang yang kuminati dan kukuasai.
“Mochiron desu (tentu saja), tapi aku keras sewaktu mengajari orang. Apa kamu siap?” Aku memperingatkan.
“Harus siap!” Kemuning tersenyum mantap.
“Jadi kapan kita mulai belajar dan bagaimana membagi waktunya?” Tanyaku memastikan.
Kemuning membongkar tas yang dibawanya, ia mengeluarkan sebuah buku dan pen. Ia menuliskan jadwal mingguan yang harinya dibagi berselang seling untuk kegiatan mengajariku dan belajar berpedang. Semua dimulai selepas ia pulang kerja, pukul tiga sore.
“Kalau begini bagaimana? Apakah kamu berkenan?” Kemuning menanyaiku. Aku mengangguk setuju.
“Baiklah, untuk sekarang mungkin perkenalan dulu. Selamat bertemu di hari Senin esok,” ujarku senang.
“Itu pedangmu?” Tanya Kemuning sambil menunjuk senjata yang kusematkan di sabukku.
“Tentu saja,” dengan bangga aku memamerkannya, “Kenapa kamu tertarik mempelajari ini?” aku senang melihat perempuan ini tertarik pada bidang yang aku gemari.
“Bukankah kamu tahu hidupku sebagai pribumi di masa ini banyak diintai bahaya? Apalagi aku wanita. Aku tidak bisa mengandalkan orang lain untuk melindungi diriku sendiri,” Kemuning menjelaskan alasannya, “Lagipula ini bakal mengesankan.”
“Shibarashi (luar biasa)!” Aku memujinya waktu itu.
“Jadi apa aku akan berlatih dengan pedang seperti itu?” Kemuning tampak sumringah.
“Tidak, ini terlalu berbahaya. Untuk permulaan aku akan membuatkanmu pedang kayu.” Aku mematahkan kegembiraannya, “Gomen ne. (maaf ya).” Tambahku berempati, khawatir ia kecewa.
Untunglah wanita itu tetap terlihat bersemangat, "Baiklah, terima kasih Taisho." Ucap Kemuning dengan tulus waktu itu.
Semenjak itu Kemuning sangat bersemangat menemuiku, baik untuk mengajariku maupun untuk latihan berpedang. Ia tampak serius ketika mengajariku selama satu jam, penjelasannya mudah kutangkap. Sewaktu berlatih denganku pun ia terlihat fokus, seperti orang yang punya tekad kuat. Biasanya setelah satu jam dan pelajaran usai baru ia mempersilakanku berbincang dengan santai, bahkan berjalan-jalan.
Aku sangat menikmati kebersamaan dengannya setiap hari. Anehnya saat mengajarinya aku tidak bisa terlalu garang, padahal biasanya aku tidak pernah mentolerir kesalahan apapun. Ada sisi hatiku yang berbunga-bunga saat melihatnya. Ada sensasi aneh yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.
Hingga suatu hari Kemuning tidak kunjung muncul, tahu-tahu seorang bocah laki-laki yang datang menemuiku. Ia berkata, “Saya kesini mau menyampaikan, ibu saya, Kemuning sedang dilanda sakit, jadi berhalangan datang hari ini.”
Aku sempat terkejut dengan panggilannya terhadap Kemuning, tapi aku lebih memilih peduli pada kondisi Kemuning sekarang, “Bisakah kamu tunjukkan rumahmu? Biar kuantarkan pulang,” kemudian kuikuti langkah bocah laki-laki itu dengan khawatir.
Ketika sampai ke rumah Kemuning yang sederhana, aku melihat perempuan itu berbaring lemah disana, namun yang menarik perhatianku adalah pemuda pirang Belanda di sebelahnya.
“Aku sudah memanggil dokter keluargaku kesini, kamu tenang saja.” Pemuda Belanda itu memberitahukan kepada Kemuning sambil mengelus dahinya.
“Ini sekadar masuk angin, apa perlu sampai begitu?” Kemuning terlihat sungkan.
Aku mendorong pemuda itu menjauh dan mendudukkannya ke sebuah kursi dengan paksa, lalu aku memeriksa suhu tubuh Kemuning dengan tanganku, cukup tinggi. “Kepalamu sakit?” Tanyaku menebak, Kemuning mengangguk.
Aku berinisiatif mencari kain bersih, mengisi baskom dengan air bersih, lalu merendam kain itu. Dengan kain basah itu aku mengusap dahi, leher dan tangannya agar sejuk. Setelahnya aku beranjak ke dapur untuk membuatkan bubur sayur sederhana.
Aku memang terlihat bengis, tapi aku terbiasa merawat pasukanku ketika sakit. Aku memperlakukan anggotaku seperti adikku sendiri, mereka kuhormati sekaligus kusayangi. Aku membawa dua porsi bubur yang kubuat dengan cekatan, merasa menang dari pemuda Belanda yang hanya bisa duduk dan mengajak Kemuning berbincang. Tapi tampaknya Kemuning terhibur dengan aksinya, ia seperti melupakan rasa lemahnya. Kuhidangkan semangkuk untuk bocah laki-laki yang membersamaiku tadi, satu lagi kubawa ke Ibunya, Kemuning.
“Ini sudah kubuatkan bubur, kamu duduk dulu, biar kusuapi.” Aku duduk di pinggir ranjang tuanya yang sederhana.
“Aku bisa makan sendiri,” Kemuning kelihatan sungkan, tapi tetap menurut untuk duduk.
“Ini di kasur, supaya tidak tumpah.” Aku menekankan alasannya. Akhirnya Kemuning menurut dan bersedia kusuapi. Sementara itu pemuda Belanda tadi kubiarkan mengajaknya bicara untuk menghiburnya.
Tidak lama kemudian datang seorang pria Belanda paruh baya yang dipanggil dokter oleh pemuda pirang itu. Dokter itu memeriksa keadaan Kemuning dengan peralatannya, lalu berbalik menghadapi kami.
“Dia sudah makan?” Pria berjas putih itu menanyakan.
“Sudah kusuapi tadi.” Aku menjawab tegas.
Dokter itu melirik baskom berisi air di sebelah ranjang sisa mengusap tubuh Kemuning barusan. “Anda merawatnya dengan baik.” Pujinya kepada pemuda pirang itu.
Aku menahan kesal, ‘Aku yang merawatnya, bodoh! Bukan dia.’ Gerutuku dalam hati.
Dokter itu membongkar tasnya dan memilih obat-obatan untuk diberikan, “Lambungnya bermasalah karena sering terlambat makan. Beri obat ini setelah makan, tiga kali sehari, masing-masing satu kaplet, beri jarak 8 jam.”
Pesannya pada pemuda itu sebelum ia undur diri.
Pemuda Belanda itu akhirnya beraksi, ia mengambilkan air minum dan membantu Kemuning meminum obatnya. Sementara aku membantu membereskan bekas makan Kemuning dan anaknya untuk dibawa ke dekat sumur di belakang rumah mereka. Aku sadar matahari mulai tenggelam, aku mengingatkan pemuda pirang itu untuk segera pulang.
“Kenapa?” Herannya saat aku suruh pulang.
“Sudah mau malam, di budaya timur kami tidak sopan laki-laki di rumah perempuan malam-malam. Kemuning bisa dituduh warga yang tidak-tidak.” Aku terpaksa menjelaskan panjang ke pemuda kaukasia itu.
Pemuda itu memutar bola mata, tapi akhirnya menurut untuk berdiri dan pamit. Aku ikut undur diri, meninggalkan Kemuning dan anaknya, setelah kupastikan mereka kenyang dan mempunyai makanan matang untuk dimakan.
Peristiwa tadi sungguh diluar nalar. Bisakah kalian membayangkan dua orang yang layaknya air dan api disatukan dalam satu ruangan hanya demi seorang wanita? Aku, tentara dai nippon dan pria nederlander memiliki sentimen buruk satu sama lain, senantiasa bermusuhan. Namun di kala itu, aku terpaksa mentolerir keberadaan pria pirang itu hanya demi menjaga perasaan Kemuning. Betapa banyak toleransi yang telah aku lakukan hanya demi dia.
...oOo ...
Untunglah Kemuning wanita yang tangguh, ia tidak lama terbaring sakit. Setelah sembuh ia kembali menemuiku untuk berlatih pedang, meski aku menyuruhnya untuk mengistirahatkan dirinya dulu, ia tetap bersikeras. Aku mengambilkan pedang kayu yang kubuatkan untuk Kemuning latihan di ruanganku sementara menyuruhnya menunggu sebentar di tempat kami biasa belajar. Saat aku kembali aku melihat Kemuning memberi hormat kepada segerombolan semut di tanah.
“Kau ini ya! Kepadaku menolak memberi hormat, tapi kenapa memberi hormat pada barisan semut?” Tegurku sambil cemberut, bergurau.
Kemuning tertawa kecil, “Mereka pasukan panutan. Lihat semangat gotong-royong mereka, mereka bersalaman setiap kali berpapasan.”
“Benarkah?” Aku tidak menyadarinya," maka aku memperhatikan dengan saksama semut-semut itu, “Benar juga, mereka sopan sekali.”
“Sebenarnya mereka begitu dalam rangka bertukar berita. Mereka saling mengabarkan mengenai tempat yang barusan mereka datangi, jadi mereka tahu dimana adanya makanan. Kerjasama yang bagus, kan?” Kemuning memberiku ilmu baru.
Aku terkesima dengan penjelasannya mengenai semut. “Aku baru tahu semut punya kecerdikan taktik.” Aku ikut memberi hormat kepada barisan semut. Kemuning tertawa melihatku ikut-ikutan. “Hei, aku juga boleh menjadikan binatang panutan kan?” Protesku karena merasa ditertawakan.
“Sangat boleh! Justru saya tersentuh pada kerendahan hati Taisho.” Pujian Kemuning itu membuatku tertegun.
Aku tidak pernah dikaitkan dengan kerendahan hati. Justru sebaliknya, aku merasa diriku tinggi hati. Menjadi Taisho di usia muda dan disebut jenius karena mahir berbahasa pribumi dan Belanda membuatku pongah. Pasukanku pun tertawa melihatku menyembunyikan kemampuanku sendiri hanya demi diajari perempuan pribumi itu. Mereka sudah sangat mengenalku dan tahu kemampuan diriku yang sebenarnya. Aku sendiri heran kenapa aku berbuat sampai sejauh ini hanya demi dekat dengan Kemuning. Pertemuan dengannya seperti candu. Ingin rasanya selamanya bersamanya? Apa aku sudah terpikat kepadanya?
“Kemuning, boleh saya tahu cerita kehidupanmu?” Aku bertanya dengan jujur. Kemuning terkejut dengan pertanyaanku, “Aku tidak pernah mengetahui tentangmu ataupun anakmu, tentang siapa suamimu, atau siapa pemuda Belanda kemarin lalu itu.” Akuku terus terang sambil menatap mata indahnya, “Kita...kawan kan?”
semangat /Good/