Bunga itu telah layu sejak lama, menyisakan kelopak hitam yang berjatuhan, seperti itulah hidup Hanna Alaya Zahira saat ini, layu dan gelap.Hanna adalah seorang sekretaris yang merangkap menjadi pemuas nafsu bosnya, mengantungi pundi-pundi uang dalam rekeningnya, namun bukan tanpa tujuan dia melakukan itu. Sebuah rahasia besar di simpan bertahun-tahun. Pembalasan dendam.. Edgar Emilio Bastian bos yang dia anggap sebagai jembatan mencapai tujuannya menjadikannya simpanan dibalik name tag sekretarisnya, membuat jalannya semakin mulus. Namun, di detik-detik terakhir pembalasan dendam itu dia justru terjerat semakin dalam pada pria itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Simpanan Ayahmu
Hanna menurunkan kaki jenjangnya di klub Mami Popy. Menutup pintu mobilnya lalu menyerahkan kunci di tangannya ke tangan penjaga klub, untuk di parkiran di basement.
"Keren Lo, Han. Datang- datang udah bawa mobil mewah aja," ucapnya dengan senyum cerah melihat mobil mewah berwarna merah yang di bawa Hanna.
"Ini namanya memanfaatkan yang ada." Hanna terkekeh, lalu berjalan memasuki klub dengan sebuah paper bag di tangannya.
Hanna melewati suasana bising dengan musik berdentum keras, juga lautan manusia yang berjoget. Mengacuhkan sekitarnya dan masuk semakin dalam hingga dia menyusuri lorong gelap dan bertemu dengan sebuah pintu yang di jaga seorang pria bertubuh besar.
"Gue mau ketemu Mami Popy," ucapnya dengan menggoyang paper bag di tangannya.
Penjaga tersebut membuka pintu hingga di bisa melihat ruangan terang di dalamnya.
"Naikan ini ke atas!" suara wanita cempreng itu terdengar, di depannya berbaris beberapa wanita bergaun pendek dan dia memintanya untuk menaikan lagi rok yang bahkan sudah tinggi.
"Biarkan mereka melihat bagian ini." Hanna terkekeh saat Popy menggerakan tongkat di tangannya ke arah payudara seorang gadis di depannya, yang Hanna kira dia mungkin baru masuk dan belum mengerti cara kerja mereka sebagai ani- ani.
"Kalian ini bekerja sebagai pemuas nafsu pria hidung belang, jadi harus mau membuka semuanya!" Popy menoleh dan menghentikan ucapannya saat melihat Hanna duduk di kursi di depan mejanya "Sudah semuanya keluar!"
Popy mengibaskan tangannya lalu berjalan ke arah Hanna.
"Tiara bilang lo ke Jepang?" Hanna mengangguk, lalu menyerahkan paper bag di tangannya.
"Bagi- bagi, ya."
Popy terkekeh "Gila sih ini, bisa- bisanya mereka kebagian oleh-oleh, dari Jepang pula." Popy melihat isi di dalamnya lalu tersenyum miring. "Lo beneran deketin Edgar si pengusaha itu?"
Hanna mengedikkan bahu acuh.
"Hati- hati, gue denger istrinya lebih buas dari singa. Jangan sampai lo ketahuan."
Hanna terkekeh "Kalau gue takut, gue gak akan ngelakuin ini."
Popy tertawa "Terserah, tapi kalau ada apa-apa jangan bawa- bawa gue."
Hanna mencebik "Meskipun gue mati, gue akan mati sendiri." Seolah tak memiliki rasa takut, Hanna bahkan menatap ke depan tanpa berkedip.
****
Hanna memasuki gedung kantornya dan bergegas naik ke lantai dimana dia bekerja selama hampir satu bulan ini. Hanna mengangguk saat beberapa orang menyapanya. Dia sedang dalam jam kerja, dan Hanna tak pernah kehilangan ke-profesionalannya saat bekerja. Jika di luar dia menjadi simpanan Direktur utama mereka, saat di kantor dia tetaplah seorang sekretaris.
Saat memasuki ruangan, Hanna langsung menyusun berkas di meja Edgar, yang mana yang harus pria itu dahulukan dan yang bisa di tunda.
Memeriksa jadwal apa saja yang akan Edgar lakukan hari ini dan memastikan semuanya sudah di konfirmasi jika ada janji temu dengan klien penting.
Beberapa menit kemudian Edgar memasuki ruangan, dan dengan sigap Hanna menyambut kedatangan pria itu dengan membungkuk hormat.
"Pagi, Hanna?"
"Pagi, Pak." Hanna tersenyum tipis.
Edgar berdiri disana beberapa saat lalu berjalan ke arah kursinya.
"Mulai besok jangan gunakan lipstik itu, aku tidak suka!"
Hanna mengerutkan keningnya "Maaf, Pak. Setiap hari saya memang menggunakan warna ini?" apanya yang salah?
"Itu terlalu menggoda Hanna, jangan sampai aku menerkammu disini."
Hanna terkekeh, lalu mengangguk "Baik, Pak."
Dani mengetuk pintu dan berjalan menghampiri Edgar, sementara Hanna kembali ke mejanya.
"Permisi, Pak. Nyonya baru saja menghubungi saya, jika dia ada jadwal pemotretan hingga malam, jadi beliau meminta anda menjemput Nona Naomi."
Edgar mendengar tanpa menoleh pada Dani "Suruh pengasuhnya saja."
"Maaf, Pak. Tapi, pengasuhnya baru saja mengundurkan diri, sebab Nona Naomi memotong rambutnya hingga habis." Edgar mengerutkan keningnya lalu menoleh pada Dani. "Bukan hanya itu, Nona juga memasukan 100 kecoa ke dalam lemari pakaiannya."
Edgar berdecak kesal. "Hanna apa jadwalku pukul satu siang ini?"
Hanna mendongak dan membuka notebooknya "Anda ada rapat bersama Pak Hendro dari PT. Sejahtera, Pak."
"Kau dengar? Kau saja yang pergi!" titahnya pada Dani.
Dani mengeluh, lalu melihat pada Hanna yang mengeryitkan dahi.
Dani menggerakkan mulutnya meminta tolong agar Hanna menggantikannya, namun gadis itu justru tersenyum acuh dengan menopang dagunya di atas meja.
Tak mendengar jawaban Dani, Edgar kembali mendongak, dan berdehem saat Dani justru menatap Hanna, dengan Hanna yang juga menatapnya dengan menopang gadunya.
"Kau tidak dengar?" ucapnya dengan tajam.
Dani gelagapan, lalu mengangguk, namun tak lama kemudian dia menggeleng "Begini Pak, apa tidak sebaiknya Hanna yang menjemput Nona?" Hanna menaikan alisnya dan menatap Edgar.
"Akan lebih baik, kalau Nona menghadapi perempuan juga. Itu tidak akan canggung."
"Hanna akan menemaniku rapat."
Dani melipat bibirnya "Tapi, Pak. Pak Hendro adalah pria tua mesum... maksudku dia akan mengganggu jalannya rapat jika melihat perempuan cantik di depannya." Edgar menatap tajam pada Dani, namun dia nampak berpikir.
"Saya tidak masalah dengan itu, Pak," ucap Hanna.
"Hanna kau tidak tahu kalau Pak Hendro itu..."
"Anda lupa dengan pekerjaanku sebelumnya, Pak?" Dani meringis.
"Jangan di ungkit terus dong." Lalu dia melihat pada Edgar, "Gimana Pak?" Bukan tanpa alasan Dani menatap Edgar lagi saat ini, dia tahu jika Edgar menaruh perhatian khusus pada Hanna bahkan sejak mereka bertemu di klub pertama kali.
Dani adalah asisten yang setia, saking setianya dia akan menyimpan rahasia Edgar hingga mati. Bahkan tentang Edgar yang kini memiliki hubungan gelap dengan Hanna sekretaris barunya, dia tahu, meski Edgar tak mengatakan hal tersebut.
"Baiklah, kamu yang pergi," tunjuknya pada Hanna.
Dani menghela nafasnya lega "Sebagai gantinya kamu pulang lebih dulu, biar semua pekerjaan di kerjakan Dani." Wajah Dani menoleh cepat ke arah Edgar.
"Kamu keberatan?" Dani dengan cepat menggeleng, lebih baik dia bekerja lembur, dibanding menghadapi nona muda putri semata wayang Edgar, Naomi.
Hanna tersenyum, itu artinya dia memiliki waktu luang setelah mengantarkan Naomi ke rumah Edgar, belum lagi masih ada waktu sampai jam pulang anak itu, dia bisa pergi nongkrong di kafe dengan santai.
Hanna mengemas barang- barangnya, lalu pergi meninggalkan ruangan Edgar, setelah dia berkedip sekali pada Edgar.
Baru saja menutup pintu, Hanna di kejutkan dengan Dani yang masih berdiri disana.
"Dengar Hanna, kamu harus hati- hati!" Hanna mengerutkan keningnya.
"Hati- hati?" Dani mengangguk.
"Nona Naomi itu, bukan anak gadis biasa." Dani menepuk pundak Hanna lalu pergi.
"Apa maksudnya itu?" Hanna menggeleng pelan, namun dia berjalan acuh ke arah lift untuk melakukan tugasnya.
Hingga saat tiba di gerbang sekolah dan melihat gadis bernama Naomi itu, barulah Hanna mengerti apa yang di maksud Dani. Gadis ini, bukan seperti gadis kecil pada umumnya.
Penampilannya yang sedikit urakan dengan seragam sekolah yang keluar dari rok dengan dandanan menor menutupi wajah polosnya. Bibirnya mengunyah permen karet lalu meludah ke samping membuang ampas permen karetnya, sebelum bicara padanya.
Ini penampilan anak sekolah dasar?
"Kamu kacung baru, Mamaku?" tatapannya meremehkan, menatap Hanna dari atas hingga ke bawah.
"Kacung?" Hanna menaikan alisnya.
"Kacung, kamu gak tahu? Babu, pembantu?"
Hanna menggaruk dahinya menyingkirkan poni yang menghalangi pandangannya, lalu berjongkok menyetarakan tingginya dengan Naomi. "Kamu akan terkejut kalau tahu siapa aku."
Bukan Hanna namanya jika kalah dengah mulut pedas gadis kecil berusia 10 tahun. "Aku simpanan ayahmu." Bibir Hanna menyeringai, bahkan dia tak peduli Naomi membelalakan matanya.