Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Awal yang Baru
Pagi ini Kirana bangun lebih awal dari biasanya. Langit masih hitam dan hanya terlihat cahaya redup dari bulan sabit yang menyelinap dari balik jendela kamarnya. Udara yang dingin membuat dia sedikit menggigil ketika keluar dari selimut namun semangat tidak pernah padam.
Hari ini adalah hari pertama dia masuk SMA dan Karina tidak ingin terlambat. Ia bergegas ke dapur, tangannya dengan cekatan memotong sosis dan sedikit sayuran. Hari ini dia ingin membuat sarapan ala kadarnya, yaitu hanya nasi goreng sederhana dengan sosis dan telur mata sapi sebagai toppingnya. Menu yang praktis dan cepat namun bisa mengisi tenaganya seharian. Ini dilakukannya karena dia tidak ingin terlambat sampai di sekolah, apalagi hari ini masa orientasi siswa akan dimulai dan akan berlangsung selama seminggu.
Sementara Bibi Tari dan Rara masih terlelap sehingga Kirana bisa menyelesaikan pekerjaan rumahnya dengan tenang dan tanpa omelan.
“Aku tidak boleh terlambat hari ini…,” bisik Kirana sambil menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Matanya berbinar, campuran antara gugup dan antusiasme. Sambil mengerjakan pekerjaan rumahnya, dia membayangkan bagaimana hari pertamanya nanti dan bertemu dengan teman-teman baru. Dia juga membayangkan bagaimana mengikuti masa orientasi siswa yang akan berlangsung selama seminggu ini.
Setelah mencuci piring dan membereskan dapur, Kirana segera membersihkan diri dan menyiapkan peralatan yang mesti dibawa hari ini di sekolah. Kirana mengenakan kostum olahraga sekolah dan melilitkan rambut sebahunya dengan pita warna-warni. Penampilannya memang terlihat sedikit aneh tapi aura kecantikan alaminya tetap memancar. Dia sendiri sampai tersenyum melihat dirinya yang aneh pada saat bercermin. Sebelum keluar kamar, Kirana memeriksa kembali tasnya memastikan semua perlengkapan orientasi tidak ada yang tertinggal.
Saat Kirana akan berangkat, Paman Budi yang baru bangun muncul dari dalam kamarnya. Matanya masih mengantuk namun dia tersenyum melihat keponakannya sudah bersiap-siap ke sekolah.
“Kamu berangkat ke sekolah Nak…? Paman rasa hari ini masih terlalu pagi…,” tanya Paman Budi sambil mengusap matanya dan memperhatikan penampilan Kirana dengan tatapan penuh kasih meski sedikit bingung dengan gaya rambutnya yang unik.
Kirana tersenyum lebar dengan wajah menunjukkan semangat. “Iya paman… hari ini hari pertama orientasi siswa… Kirana berangkat pagi-pagi agar tidak terlambat Paman…,” jawab Kirana sambil mendekati Paman Budi. Kirana memberikan salim dan ini kebiasaan yang selalu ia lakukan sebelum berangkat kemanapun.
Paman Budi tersenyum dan mengelus bahu Kirana. “Iya Nak… Kamu sudah sarapan… ?” tanyanya dengan suara yang penuh perhatian.
“Sudah Paman… Kirana bikin nasi goreng tadi. Sarapan paman dan yang lainnya sudah Kirana siapkan di meja makan. Kirana ijin berangkat Paman…,” jawab Kirana masih dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. Kirana merasa hangat dengan perhatian pamannya meski dia tahu pamannya bukan tipe yang banyak bicara.
Paman Budi mengangguk pelan. “Iya Nak… hati-hati di jalan ya Nak…! Jangan ngebut ya Nak…!”
Kirana mengangguk mantap. “Iya paman… Kirana janji akan selalu hati-hati.”
Lalu Kirana mengambil helm dan kunci motor tua berwarna merah yang ia beli dari tabungan beasiswa. Motor itu memang tua, namun mesinnya masih kuat dan layak pakai. Kirana tersenyum bangga setiap kali dia memandang motornya. Kirana merasa bangga. Ini adalah bukti kerja keras dan pengorbanannya selama ini, hidup hemat dan tidak menggunakan tabungan beasiswanya untuk hal yang tidak penting.
Sebelum menyalakan mesin motornya, Kirana menoleh sekali lagi ke arah pamannya yang masih berdiri di depan teras. “Paman… doakan Kirana biar lancar hari ini…,” ujarnya dengan suara lembut.
Paman Budi tersenyum dan matanya memandang dengan bangga. “Tentu Nak… Semoga masa orientasimu menyenangkan dan paman yakin kamu pasti bisa.”
Kirana mengangguk lalu menyalakan mesin motornya. Suaranya menderu pelan mengisi keheningan pagi yang masih diselimuti kabut tipis. Ternyata Ririn sudah menunggu di depan rumahnya dan langsung melompat ke jok belakang dengan semangat lalu memeluk pinggang Kirana erat-erat.
“Awas… awas…! Jangan ngebut Kir… kamu baru bisa naik motor…. dan ini motor jadul… Takutnya rontok tengah jalan…!” teriak Ririn sambil memeluk pinggang Kirana lebih kencang. Wajahnya menunjukkan ekspresi setengah khawatir dan setengah bercanda.
“Bisa diam nggak sih kamu Rin…! Tenang… aku sudah hapal setiap lobang di jalan ini… dan motor ini kuat…!” seru Kirana sambil tertawa kecil melihat kelakuan sahabatnya di belakang.
Mereka melaju pelan di jalan desa yang masih sepi. Udara pagi yang dingin menyapu wajah mereka membuat Ririn menggigil serta menggeser posisi duduknya lebih dekat ke Kirana. Sinar matahari mulai menyembul dari balik bukit, yang membuat jalan tidak lagi terlihat terlalu gelap. Ririn bersenandung kecil di belakang, sedangkan Kirana fokus memperhatikan jalan di depannya.
“Kir… kamu tidak gugup? Ini hari pertama kita masuk SMA lho…!” seru Ririn agak keras sambil menepuk bahu Kirana.
“Sedikit sih…” jawab Kirana dengan jujur namun matanya masih dengan fokusnya di jalan. “Tapi aku senang… sudah bisa sampai di titik ini… rasanya seperti mimpi…!” lanjut Kirana. Hatinya senang dan bersyukur mengingat perjuangannya untuk mendapatkan beasiswa. Jika saja beasiswa itu tidak diperolehnya, mungkin Bibi Tari tidak akan memperbolehkannya sekolah.
Ririn mengangguk antusias, walaupun tidak dilihat oleh Kirana. “Iya…. Aku juga senang. Tapi… kamu yakin kita bisa melewati masa orientasi ini ini? Katanya OSIS-nya galak-galak…!” ujar Ririn dengan suara bernada cemas tapi tetap penuh semangat.
Kirana menghela napas. “Kita sudah dapat bekal dari Kakek Sapto khan? Kalau ada yang mengganggu… kita beri pelajaran saja… he… he… he…,” ujar Kirana sambil tertawa kecil mencoba meredakan ketegangan.
Ririn ikut tertawa meski masih terasa gugup. “Iya sih… tapi jangan sampai kita menjadi bulan-bulanan mereka ya…!” protesnya sambil memeluk Kirana lagi. “Aku tidak mau jadi bahan tertawaan di hari pertama!”
Kirana mengangguk dan matanya berbinar penuh tekad. “Tenang saja Rin… Aku janji akan jaga kamu. Lagipula kita khan selalu bersama. Apapun yang terjadi… kita hadapi bersama-sama.”
Ririn bernapas lega meski masih ada sedikit kecemasan di hatinya. “Iya Kir… kamu selalu bisa membuat aku tenang. Makasih ya…!” ucap Ririn dengan tulus.
Perbincangan mereka pun berlanjut yang diisi dengan sedikit perdebatan dan canda tawa. Suara tawa mereka mengisi udara pagi yang sejuk seolah menjadi pengingat bahwa apapun yang akan mereka hadapi, mereka tidak sendirian.
Bagaimana kisah selanjutnya...? Ikuti bab selanjutnya...