Novel Ketiga
Berdasarkan survei, sedia tisu sebelum membaca😌
--------
Mencintai, lalu melepaskan. Terkadang cinta itu menyakiti, namun membawa kebahagiaan lain di satu sisi. Takdir membawa Diandra Selena melalui semuanya. Merelakan, kemudian meninggalkan.
Namun, senyum menyakitkan selalu berusaha disembunyikan ketika gadis kecil yang menjadi kekuatannya bertahan bertanya," Mama ... apa papa mencintaiku?"
"Tentu saja, tapi papa sudah bahagia."
Diandra terpaksa membawa kedua anaknya demi kebahagiaan lainnya, memisahkan mereka dari sosok papa yang bahkan tidak mengetahui keberadaan mereka.
Ketika keegoisan dan ego ikut andil di dalamnya, melibatkan kedua makhluk kecil tak berdosa. Mampukah takdir memilih kembali dan menyatukan apa yang telah terpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emilio
Nico masih dilanda keingintahuan setelah pertemuan yang tidak disengaja semalam. Ia ragu apakah wanita itu memang Dian atau hanya mirip saja. Penampilan keduanya sangat berbeda. Semalam wanita itu mengenakan topi hingga Nico tak dapat melihat dengan jelas.
Namun, ada perasaan tidak asing. Secara fisik mereka memang sama, tapi mungkin ada perbedaan yang tak ia lihat. Sudah tujuh tahun berlalu, wajar jika Dian memiliki banyak perbedaan yang sulit dikenali.
"Nyonya pergi menemui gadis kecil itu lagi disekolah." Roby memberi laporan.
"Biarkan saja. Sepertinya dia gadis baik."
"Dari hasil penyelidikan saya, gadis itu sudah sering memasukkan anak-anak tidak mampu ke sekolah dengan bantuan orang tuanya."
"Benarkah?" Nico tersenyum tipis. Masih kecil saja sudah begitu mulia.
"Dari info yang saya dapat dari guru disana, nona Lily tak memiliki ayah. Dia hanya tinggal dengan ibunya."
"Maksudmu hanya tersisa ibunya?" Nico tidak bisa tidak terkejut. Wanita yang menjadi ibu Lily mungkinlah wanita pekerja keras baik hati hingga begitu ringan tangan.
"Benar, Tuan."
"Cari tau siapa dia. Aku akan membantu meringankan beban mulia mereka."
"Akan saya usahakan."
Aku harap anak kita seperti dia. Membantu tanpa mengenal.
"Bagaimana dengannya?" Suara Nico berubah sendu. Roby langsung mengerti yang tuannya maksud.
"Saya menemukan beberapa hal lagi."
"Katakan!" Nico tidak sabar.
"Riwayat terakhir yang berhasil saya dapat, nona melahirkan secara normal di rumah sakit xx. Bayinya kembar laki-laki dan perempuan."
Nico tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia berterima kasih pada Dian karena masih bersedia melahirkan mereka. Putri dan pangeran papa, bagaimana keadaannya sekarang?
"Kau tahu siapa yang menemaninya disana?"
"Tidak ada, Tuan." Roby sebenarnya tak tega mengatakannya. Nico pasti kembali terpukul.
"Siapapun?"
Roby mengangguk. "Nona hanya sendiri." Benar saja. Nico langsung ambruk di kursinya. Linangan air matanya kembali keluar seiring rasa bersalah yang besar timbul.
Bagaimana mungkin gadis muda itu berjuang sendiri dengan tubuh kecilnya.
"Tuan!"
"Lakukan apa saja, Rob. Temukan mereka. Aku tak bisa seperti ini terus." Nico mencengkeram leher kemeja Roby, lalu pergi begitu saja.
Nico mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi tanpa tujuan. Pikirannya hanya dipenuhi Dian, Dian dan Dian. Dulu ia tak pernah menyadari wajah sendu penuh harapan itu hingga tak tahu betapa menderitanya Dian.
Nico akhirnya berhenti di sekitar taman yang jauh dari kantornya. Tempat itu sangat sepi, sama seperti keadaan dirinya selama bertahun-tahun ini. Tempat ini benar-benar akan kosong jika seorang anak laki-laki yang duduk di salah bangku tidak ada disana.
Apa yang dilakukan anak kecil sendirian disini? Nico pun mendekat dan duduk disebelahnya. Anak itu tak bergeming, hanya menoleh sekilas, lalu kembali ke posisi awal.
Keheningan terjadi. Nico tak mengerti kenapa ia disini, sedangkan anak itu terlihat mulai gelisah.
"Kau baik-baik saja?" Aneh sekali ia peduli dengan orang lain, bahkan tak sungkan menyentuh kepalanya. Anak itu semakin salah tingkah. Ia menundukkan kepalanya, tak ingin Nico melihatnya.
"Aku baik-baik saja, terima kasih."
Nico mengerjit. Anak ini terlihat gugup. Topi yang dikenakan anak itu mengganggu penglihatannya. Mungkin sekarang ia akan membenci benda bernama topi!
"Maaf. Mungkin Om membuatmu takut." Nico merasa bersalah. Memang hanya mereka berdua disini. Anak itu hanya mengangguk.
"Apa yang kau lakukan disini sendiri?"
"Menunggu tante. Mobilnya disana."
"Begitu."
"Nama Om Nico, dan kau?" Jujur saja ia merasa nyaman. Ini kedua kali ia rasakan ketika di dekat Lily juga.
Anak itu terdiam sejenak. "Emilio," jawab Emi akhirnya.
Ia membenci suasana ini. Lily mungkin akan cemburu jika tahu Emi bisa berbicara begitu dekat dengan Nico. Tapi bukan itu masalahnya. Selama ini Emi selalu berusaha mentamengi dirinya dari sosok ayah. Ia seorang laki-laki tak ingin menjadi lemah dan bergantung pada sang ibu.
Tak seperti Lily yang begitu mengagumi ayahnya. Ia tak ingin terlihat seperti itu. Emi takut ia akan menjadi seperti Lily. Mengharapkan ayah yang mungkin takkan bisa bersama.
"Emilio. Nama yang bagus," ucapnya tulus. Emi tersenyum tipis. Mungkin tak ada salahnya mengenal sedikit.
Tak lama hembusan angin kencang menerpa sekitar. Langit memang sudah mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Kemana tante Vira nya, ia sudah menunggu lama disini.
"Kau tidak pulang. Cuaca sedang buruk."
"Aku masih menunggu tante."
"Bagaimana jika ku antar saja?"
"Terima kasih, Om. Tante tidak akan lama."
Nico menghela nafas pelan. "Baiklah. Aku akan pulang dulu."
Baru akan membuka pintu mobil, topi yang dikenakan Emi terlepas akibat angin kencang hingga terbawa terbang di dekat Nico. Pria itu mengurungkan niatnya untuk masuk.
"Emi, topi mu–" Tangannya menggantung di udara.
Nico tertegun. Wajah itu ... seperti duplikat dirinya. Ia seperti melihat dirinya sendiri yang masih kecil. Jantungnya mulai berdetak cepat, ada perasaan aneh ketika mata mereka bersitatap.
"Terima kasih, Om. Tante sudah datang, Emi pergi dulu." Mengambil topi ditangan Nico, kemudian pergi kearah Vira yang menatap mereka dengan pandangan tak terbaca.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...