Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Apologize
Ayah dan Ibu Akasia mengetuk pintu kamar putrinya. Putri mereka memang sering mengunci diri di kamarnya, seolah kamarnya lah semestanya.
Akasia membukakan pintu dan terkejut dengan kedatangan mereka berdua.
“Akasia, kami mau bicara. Boleh kami masuk?” Pinta Ibunya.
“Masuk aja, ini kan properti kalian.” Jawab Akasia sinis.
Kedua orangtuanya saling pandang sebelum akhirnya masuk. Kamar Akasia sebenarnya sederhana, tidak terlalu mewah, hanya terkesan manis dan lumayan luas. Akasia duduk di bangku belajarnya, mengacuhkan mereka berdua. Kedua orangtuanya duduk di sofa di sebelah meja belajarnya.
“Ayah kesini berniat minta maaf ke kamu, Ayah tahu, Ayah sudah banyak salah.” Ibu memulai bicara mewakili Ayah.
“Buat apa Ibu mewakili ayah bicara? Ayah punya mulut, bukan anak-anak juga. Masa minta maaf diwakili, apa nggak malu?” Akasia membalas, masih sinis.
“Maaf Akasia, Ayah minta maaf.” Ayahnya akhirnya bersuara.
“Untuk apa?” Akasia akhirnya menatap ayahnya tajam, menghentakkan jantung pria paruh baya itu, “Setiap maaf harus ada alasannya. Kalau cuma minta maaf tanpa menjelaskan kesalahannya, berarti belum tahu salahnya dimana. Kalau cuma formalitas untuk menutup masalah secara instan, pintu keluar di sebelah sana.” Akasia menunjuk pintu kamarnya.
“Untuk semua kesalahan Ayah.” Ayahnya malu menjabarkannya.
“Terlalu umum, bisa lebih spesifik? Kesalahan yang mana aja ya?” Akasia menguji pria paruh baya itu, akankah Ayahnya tahu perilaku mana saja yang menggoreskan luka di hati anaknya.
“Untuk mengabaikan perasaan kamu selama ini,” Ayah mengucapkan.
“Satu,” Akasia menghitung.
“Untuk menjadi egois, mementingkan diri sendiri,” Ayahnya menahan malu.
“Dua,” Akasia memainkan jarinya.
“Untuk kebohongan Ayah selama ini,” Ayahnya semakin malu.
“Tiga,” Akasia menambah jari yang dikembangkannya.
“Untuk...bermain api hingga mempunyai anak lain,” Ayah berusaha semakin jujur.
“Empat,” Akasia menghitung lagi.
“Untuk terus merasa selalu benar,” Ayahnya mulai menyadari ia keterlaluan.
“Lima,” Akasia membuka telapak tangannya, “tuh banyak kan.”
“Untuk tanpa malu membebani kalian terus dan minta dimaafkan,” Ayahnya seperti ingin menangis. Ibunya mengusap lengan Ayahnya untuk menguatkan.
“Enam,” Akasia menambahkan.
“Sudah cukup kan Akasia? Ayah kamu sudah menuruti kemauan kamu, sekarang tolong dimaafkan ya.” Ibunya tidak tega melihat Ayahnya menyalahkan dirinya sendiri.
“Begini, Bu, maaf itu ada cara kerjanya. Maaf itu kewajiban orang yang bersalah, urusan dimaafkan itu urusan pihak yang disakiti. Saat meminta maaf nggak bisa secara otomatis kesalahannya langsung dimaafkan. Ada proses, lama tidaknya itu tergantung korban yang disakiti. Siapapun nggak bisa menuntut untuk cepat-cepat dimaafkan, itu murni hak korban untuk memaafkan atau tidak.” Akasia menjelaskan panjang lebar, “Bagi saya daripada maaf lebih penting resolusi. Setelah kesalahan yang pernah diperbuat ini, apa ada pembelajaran dan usaha untuk memperbaiki keadaan?” Akasia menambahkan.
Ayah Akasia merasa tertampar dengan pemahaman putrinya itu dalam penyelesaian masalah. Ia merasa kerdil dan kalah dewasa, padahal ia dari kalangan terpelajar. Orang-orang mengelompokkannya dalam kelas atas, tapi ia bahkan tidak kompeten dalam penyelesaian masalah keluarganya sendiri.
“Ada Akasia. Ayah sudah berencana memperbaiki keadaan keluarga kita. Ayah mau kita lebih banyak meluangkan waktu bersama sebagai keluarga. Nanti kita jalan-jalan bareng, makan-makan di luar, liburan bareng, apapun yang bisa menebus kesalahan Ayah dan membuat kalian bahagia.”
“Jangan lupa deeptalk,” Akasia mengingatkan, “Waktu berkualitas bukan cuma hal-hal yang menyenangkan seperti itu. Ayah harus meluangkan waktu untuk membicarakan hal-hal mengenai isi hati terdalam atau pikiran terjujur, meskipun berat. Ayah nggak boleh pakai topeng lagi, buka semua rahasia dan isi hati. Jadi manusia yang jujur, bertanggung jawab, terbuka dengan kritik dan menerima saran.” Pesannya sok tua.
Ayah mengangguk sambil merenung. “Kamu benar. Kamu lebih mengerti daripada Ayah sekarang. Jujur Ayah malu sekaligus bangga.”
“Aku mau melihat realisasinya dulu, baru bisa memberi maaf.” Akasia mengutarakan syaratnya.
“Berarti sekarang sudah damai ya kalian? Bagaimana kalau besok kita dinner di luar sama-sama? Kita ajak Hanif juga, kayaknya dia belum pernah diajak makan-makan di restoran.” Ibunya mencoba menceriakan suasana.
“Ide bagus. Kita juga sudah lama nggak dinner bareng sekeluarga.” Ayahnya menyetujui.
“Oke, kalian atur aja di restoran mana dan dress code-nya apa, aku ikut aja.” Akasia mengangguk santai, padahal dalam hatinya senang luar biasa.
Akasia merasa ingin menceritakan peristiwa tadi kepada seseorang yang akhir-akhir ini peduli padanya. Ia menggenggam ponselnya demi mengetik.
Akasia dengan bersemangat mencari nama tersebut di google.
“Chatting sama siapa sih? Asyik banget?” Suara dari samping mengagetkannya, ternyata Adrian sudah berubah menjadi manusia dan mengintip ponselnya.
“Aku kasih tahu Endry kejadian tadi,” Akasia menjelaskan singkat.
“Oh jadi sekarang teman curhatnya nggak cuma aku?” Bibir pemuda Belanda itu mengerucut.
“Lah tadi kan kamu bisa lihat sendiri!” Akasia menepak pemuda di sampingnya, mengingatkannya, “Nih, aku lagi cari tahu latar belakang keluarga Endry. Kayaknya Papanya orang hebat deh, sampe bisa di-googling segala.” Ia menunjukkan hasil pencarian google ke Adrian, “Ternyata benar dong, Bapaknya pemilik perusahaan besar!” Akasia menginformasikan dengan heboh.
Adrian menatap gadis itu dengan tatapan aneh, “Kamu bukannya anak orang hebat juga?” Heran melihat kekaguman gadis itu.
“Soalnya hidup Endry jomplang banget dibandingkan gaya hidup ayahnya. Selama ini kan hidup dia mandiri dan sederhana banget.” Akasia memberitahu alasan keterkejutannya, “Apa benar Endry nggak diurus ya? Jadi kasihan…”
“Jangan kasihan!” Adrian melarang gadis itu dengan galak, “Dia pria, lebih kuat dari kamu. Dia bisa berusaha bertahan hidup sendiri, nggak perlu pertolongan kamu.” Ia mengingatkan.
“Iya juga sih,” Akasia mengangguk mengingat kemampuannya sendiri.
‘Karena kasihan bisa jadi celah menuju perasaan selanjutnya. Kenapa juga aku sibuk melarang? Aku kan sudah tahu endingnya.’ Batin Adrian heran dengan sikapnya sendiri.
Suara menggema disambut gembira oleh para murid di sekolah itu, bel istirahat seakan nyanyian surga di telinga siswa-siswi yang sudah kelaparan. Akasia melangkah dengan mantap menuju kantin hingga sosok bersepatu Nike Jordan berwarna biru-pink berdiri di depannya. Pandangan Akasia mengobservasi dari bawah ke atas. Kaus kaki pink, seragam SMA perempuan, dan rambut panjang bergelombang, ternyata Selena yang mencegatnya.
“Akasia, gue mau minta maaf.” Pinta Selena.
“Silakan, gue nggak larang.” Akasia menjawab asal.
“Maksudnya ayo ke tempat yang lebih privasi buat ngomong.” Selena menarik tangan Akasia untuk menuju ke bangku taman di belakang sekolah yang cukup sepi. Mereka duduk berdua bersebelahan, pemandangan yang janggal dilihat mata.
“Gue minta maaf ya,” Selena mulai bicara.
“Buat apa?” Akasia menanyakan alasannya, “Beri alasan spesifik, apa yang harus dimaafkan.” Ia menguji seperti biasa.
“Gue sebarin kondisi keluarga lu ke teman sekelas.” Selena mengakui kesalahannya, “Gue nggak tahu ceritanya bisa sampai nyebar ke seluruh sekolah.” Tambahnya membela diri.
Akasia memutar bola matanya. Mana mungkin Selena tidak tahu akibat terburuk dari perbuatannya itu. Tapi Akasia mencoba percaya niat baiknya, mungkin Selena sudah kadung tidak tahan diabaikan oleh Endry dan ingin mengusaikan hukumannya.
Ia sebenarnya tahu dari gelagatnya bahwa gadis itu menyukai Endry. Selena selama ini memonopoli pemuda itu bukan tanpa sebab. Di belakang Endry gadis itu mengintimidasi siapapun perempuan yang dekat dengan pemuda tersebut. Seperti juga intimidasi yang Akasia selama ini terima. Untungnya Akasia sudah paham cara menghadapinya.
“Jadi lu tahu kan kesalahan lu apa? Sudah menyesal?” Akasia memeriksa lagi, mengecek respon lawan bicaranya.
“Menyesal banget. Lu ternyata orang baik, lu bahkan nggak balas jelekin gue.” Selena mengatakan hal yang membuat Akasia mengerutkan kening.
‘Kedengarannya sedikit menjilat ya, tapi coba kita lanjutkan dulu.’ Akasia memberi kesempatan, “Kalau sudah tahu salahnya, sekarang resolusinya apa nih? Percuma minta maaf kalau nggak ada perubahan kedepannya.”
“Gue janji nggak akan ngomong jelek tentang lu lagi...atau tentang orang lain. Pokoknya mulut gue nih nggak boleh usil lagi nyebarin aib orang! Ingetin gue ya, Say.” Selena mencoba meyakinkan Akasia, “Eh iya, gue tahu lu lapar.” Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, “Tadi gue sempat beliin batagor nih. Gue tahu lu suka banget kan batagor Mang Amin. Karena gue udah menyita waktu jajan lu, jadi gue wakili jajan.” Ia menyodorkan seplastik batagor.
Akasia sebenarnya sedikit curiga dengan gelagat Selena. Ia harus berhati-hati menerima makanan berhubung ia memiliki alergi terhadap kepiting. Tapi ini bisa juga menjadi ujian yang efektif terhadap Selena. Meski taruhannya berat, jika makanan ini tidak membahayakannya berarti Selena tulus, dan berlaku sebaliknya, “Terima kasih ya.” Akasia menerima dengan ragu-ragu.
“Langsung makan aja, gue tahu lu lapar.” Selena mempersilakan.
“Tapi disini nggak ada minum.” Akasia semakin curiga dengan tingkah gadis yang terkesan sedikit memaksa itu.
“Nih, gue juga udah beliin minuman. Gue baik kan? Mulai sekarang kita bestie ya.” Selena merangkul Akasia, membuatnya canggung. Selena menekan layar ponselnya, lalu merekam kebersamaan mereka yang terlihat akrab, “Dimakan dong batagornya, dari gue tuh! Itu tanda permintaan maaf. Kalau dimakan berarti maaf gue diterima.” Selena memancing Akasia.
“Iya, tadi kan gue doa dulu, takutnya gue diracun!” Canda Akasia, sedikit menyindir. Akasia menunjukkan bahwa dirinya memakan batagor itu tanpa segan agar Selena puas. Mulai sekarang Akasia akan mengecek kondisi tubuhnya dan bersiap dengan hal terburuk.
semangat /Good/