Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepastian
"Itu bukan milik Sasha, Yah, Bu. Percaya sama Sasha!" raut wajahnya begitu memelas.
"Ayah, jika Ayah dan Ibu ingin tahu kebenarannya, kenapa enggak suruh aja Sasha buat ngebuktiin sama kita sekarang," ucap Anya menantang.
Sasha menatap kakaknya dengan emosi yang sudah meluap. Dengan penuh amarah, Sasha mendorong Anya dengan kuat hingga terjatuh dan kepalanya terkena sisi meja yang terletak di tengah-tengah sofa, Sasha marah dan sudah tidak tahan karena Anya terus saja ikut campur dalam segala urusan pribadinya.
"Argh!" Anya meringis, ia menyentuh kepalanya yang telah mengeluarkan sedikit darah.
"Sasha! Apa yang kamu lakukan?" bentak pak Faisal.
"Sasha, kamu mau ngebunuh kakak kamu?" bu Aila mendekati Anya dan membantunya untuk bangun.
"Dia yang lebih dulu cari ribut sama aku, Bu. Ini salah dia sendiri, bukan salah Sasha!" teriak Sasha.
Karena sudah terlalu geram dengan tingkah anaknya, pak Faisal pun menarik tangan Sasha menuju kamar mandi yang tidak jauh dari dapur.
Beliau memberikan test pack itu pada Sasha, menyuruhnya untuk membuktikan bahwa itu semua bohong. Jadi, mereka juga tidak akan menaruh rasa curiga lagi padanya.
"Jadi ayah juga enggak percaya lagi sama Sasha?"
Sasha mengulur waktu, ia tidak ingin kedua orangtuanya tahu akan kebenarannya.
Sasha mencari cara supaya dia tidak perlu menggunakan test pack itu untuk membuktikan bahwa dirinya hamil atau tidak.
"Jangan banyak tanya! Cepat lakukan seperti apa yang ayah katakan!" tegas pak Faisal, beliau mendorong Sasha hingga tubuhnya sepenuhnya masuk ke dalam kamar mandi. Lalu, beliau pun mengunci pintunya dari luar. "Cepat lakukan, Sha! Pintu ini tidak akan ayah buka sebelum kamu membuktikannya!"
Mereka terus menunggu dengan perasaan tak karuan, Sasha sudah berada di dalam sana hampir satu jam lebih.
Sasha seolah takut untuk keluar dari sana, apa memang semuanya benar kalau dia mengandung?
"Anya, kepala kamu diobati dulu sana!" suruh ibunya.
"Enggak apa-apa, Bu. Aku mau nunggu Sasha dulu," ucap Anya menolak.
"Kenapa anak itu lama sekali?" gumam pak Faisal, beliau dengan hati tidak tenang terus mondar mandir di depan kamar mandi.
Jika menunggu dan tidak dipaksa keluar, Sasha sudah pasti tidak akan keluar. Jadi, pak Faisal segera membuka pintu kamar mandi itu.
Tampak Sasha yang sedang menangis sesenggukan di dekat bak mandi.
Di tangannya menggenggam test pack, ia menangis dengan menelungkupkan kepalanya di atas kedua lututnya.
"Sasha," gumam Anya begitu mengambil test pack dan melihat hasilnya yang positif.
Rasanya ini seperti mimpi, tidak hanya Sasha, tapi seluruh keluarganya akan ikut menanggung malu.
"Hiks!" terdengar suara tangis Sasha yang semakin keras.
Pak Faisal melotot marah mendapati kenyataan pahit itu. Bu Aila memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sesak, bagaimana mungkin itu bisa terjadi, mereka masih tidak bisa percaya.
"Sasha, dasar kamu anak kurang ajar! Kamu benar-benar tidak tahu diri! Kamu sudah buat malu ayah sama ibu, ini sama saja seperti melempar kotoran ke wajah kami!" sentak pak Faisal.
"Ibu tidak menyangka kamu berani melangkah sejauh ini, Sha." Bu Aila menangis dan sangat menyesal telah meremehkan omongan Anya selama ini.
Anya yang sudah lelah mentalnya, beranjak pergi dari sana dengan langkah tertatih.
Ia sudah tidak sanggup lagi mendengar kemarahan orangtuanya, dia biarkan ayah dan ibunya mencaci maki Sasha sampai mereka puas. Terdengar tangis Sasha dan ungkapan kekecewaan ibunya, Anya menutup telinganya dengan bantal. Ia bersembunyi di balik selimut tebalnya.
"Di mana lelaki itu!? Katakan sama ayah! Biar ayah cari dia dan suruh dia untuk bertanggung jawab!"
Suara ayahnya tetap saja tak bisa datar, suaranya begitu keras karena amarah yang sudah mencapai ubun-ubun.
"Sasha tidak tahu, Yah." Sasha menggelengkan kepalanya. Dia masih terisak, berkali-kali menghapus air matanya, tapi tetap saja air mata itu bergulir jatuh.
"Katakan di mana dia!?" bentak pak Faisal.
Sasha tetap saja tidak mau mengatakannya, dia takut ayahnya akan membuat keributan dan semua orang akan tahu tentang kehamilannya.
Anya membuka kembali selimutnya saat ponselnya yang sudah lama tidak berbunyi tiba-tiba malam itu kembali berbunyi nyaring.
Yang dia harapkan adalah kabar dari Rizki, dan Yach .... Benar saja, orang yang barusan mengirimkannya pesan adalah Rizki.
Rizki bilang minggu ini ia dan keluarganya akan datang untuk melamar.
Kabar yang membuatnya begitu senang, namun kesenangan itu lenyap begitu dia teringat akan apa yang sedang terjadi pada keluarganya.
Keributan di luar terus terdengar sampai ke kamarnya, dia sudah berkali-kali mengingatkan adiknya, namun Sasha tidak pernah mau mendengarkannya. Sedangkan orangtuanya, mereka juga bukan mengingatkan dan mendidik Sasha dengan benar, malah membenarkan setiap kesalahan yang dilakukan Sasha.
Membenarkan setiap kesalahan kecil yang Sasha lakukan, hingga akhirnya Sasha tidak takut mengambil risiko untuk melakukan kesalahan fatal, karena mungkin dia berpikir pasti ada orangtuanya yang akan setia membela setiap saat.
Dia yang melakukan kesalahan, dan mereka yang akan membereskannya.
"Aku sudah muak dengan kalian semua!" pekik Anya, entah kenapa dia kehilangan kontrolnya malam itu.
Anya membanting setiap barang yang ada dalam kamarnya, mengacak-acak tempat tidurnya hingga kamarnya nyaris terlihat seperti kapal pecah.
Saat Anya ribut seorang diri di kamarnya, suara keributan di luar mulai hilang perlahan-lahan, senyap hingga tidak terdengar suara apa pun lagi.
"Kenapa ini harus terjadi lagi, hiks!" dia menangis di sudut kamarnya.
"Kenapa, Sha? Tidak cuma masa depan kamu, tapi masa depan aku juga akan hancur karena ulah kamu." Anya menangis tersedu-sedu.
Dia kembali teringat akan kakak lelakinya yang pernah menghamili anak orang, dan sekarang kejadian seperti itu terulang lagi, sekarang Sasha yang hamil.
Ini seperti sebuah hukuman, Anya menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba menahan tangisnya yang semakin keras.
Tubuhnya bergetar hebat, ketakutan itu kembali menggelayut di hatinya. Beban itu semakin menindih tubuhnya, bahagia dan menderita.
Malam ini dia mendapatkan kabar bahagia dan kabar duka dalam waktu bersamaan. Bagaimana meresponnya, dia begitu frustasi.
Pak Faisal dan bu Aila harus menerima kenyataan ini dengan lapang dada, mereka sendiri yang telah memanjakan Sasha, hingga dia tumbuh menjadi pribadi yang bertindak sesuka hati.
****
Anya memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya yang tampak sepi.
Suasana begitu sunyi, samar-samar terdengar suara tangisan bayi.
"Bayi siapa itu?" Anya bergumam pelan, kakinya juga mulai berjalan menuju ke depan gerbang. Di sana, ia menemukan bayi mungil yang tertidur dalam keranjang bayi. Ia terlihat begitu kecil dan mungil, Anya membelai wajah halus bayi itu, dia tersenyum senang melihat bulu mata si bayi yang bergerak-gerak.
Mata bayi itu perlahan terbuka, satu kata keluar dari mulut mungilnya. "Ma-ma."
"Tidakkk!!!"
Anya berteriak dalam mimpinya, spontan ia terbangun. Keringat membasahi wajah dan keningnya, panas dingin yang dia rasakan saat ini.
"Astaghfirullah!" berkali-kali Anya beristighfar dengan mengusap dadanya yang terasa sesak.
"Kenapa mimpi ini sangat mengerikan? Anak bayi itu memanggil aku mama." Anya menyingkirkan selimut tebalnya, ia menurunkan kakinya hingga menyentuh lantai.
Anya duduk di tepi ranjang dengan kepala menunduk ke bawah. "Sasha yang hamil, tapi kenapa aku yang memimpikan bayi itu? Aku seperti diteror, aku capek," keluh Anya.
"Mama? Anak itu manggil aku mama? Apa maksud mimpi tadi?"
Berbagai macam pertanyaan terus bermain dan berputar di otaknya.
"Semoga masalah ini enggak bakal mengganggu proses lamaran aku," batin Anya.
Melihat jam yang sudah menunjukkan waktu subuh tiba, Anya memutuskan untuk masuk ke kamar mandi.
Ia berjalan pelan menuju tempat di mana handuknya diletakkan, lalu masuk ke kamar mandi. Selesai mandi, ia segera berwudhu untuk menunaikan ibadah sholat subuhnya.
*****