NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:979
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦢꦸꦮꦥꦸꦭꦸꦪꦏ꧀

Pagi itu, langit kelabu menggantung rendah di atas desa kecil di sisi timur. Herlic, dengan wajah angkuh dan sorot mata dingin, memimpin pasukannya menuju alun-alun desa. Pagi itu bukan hari biasa; ini adalah hari yang ditakuti penduduk. Mereka tahu Herlic datang untuk menuntut pajak—dan kali ini, ia melakukannya sendiri, memastikan semua orang tunduk pada perintahnya.

Suara derap kuda dan perintah lantang menggema di udara. Para penduduk desa berkumpul dengan gemetar, masing-masing membawa hasil panen terbaik mereka. Tapi sebagian besar dari mereka tahu, apa pun yang mereka bawa tidak akan pernah cukup bagi penguasa yang tamak itu.

Di antara kerumunan itu, seorang pria paruh baya bernama Surya berdiri dengan gugup. Tangan kasarnya menggenggam keranjang kecil berisi padi—hasil jerih payahnya selama musim yang berat. Ketika namanya dipanggil, Surya maju dengan langkah ragu, lalu berlutut di depan Herlic.

"Tuan Herlic," katanya dengan suara pelan, "ini hasil panen saya. Maafkan saya jika tidak cukup, tahun ini tanah kami kurang subur—"

Herlic langsung memotong, wajahnya berubah dingin. "Kurang subur? Kau pikir itu alasanku untuk membebaskanmu dari kewajibanmu? Jangan menghinaku dengan membawa hasil sekecil ini."

Surya menunduk, memohon. "Ampuni saya, Tuan. Ini benar-benar semua yang saya punya. Berilah saya waktu lebih untuk melunasinya."

Herlic mendengus, lalu berbalik ke arah pasukannya. "Orang seperti ini harus diberi pelajaran. Jika kita membiarkan alasan mereka, yang lain akan menirunya."

Ia memberi isyarat kepada salah satu prajuritnya. Tanpa sepatah kata, prajurit itu mengangkat senapannya dan menembak Surya di depan kerumunan. Tubuh Surya terjatuh ke tanah, darahnya membasahi padi yang ia bawa. Penduduk hanya bisa memandang dengan ketakutan, beberapa wanita menangis dalam diam.

Herlic menatap kerumunan dengan ekspresi arogan. "Dengar baik-baik! Aku tidak peduli dengan keluhan kalian. Yang tidak memenuhi kewajibannya, akan menerima hukuman yang sama."

Penduduk desa membungkuk dalam ketakutan. Namun di antara mereka, ada yang mulai menyimpan amarah. Di hati mereka, kebencian terhadap Herlic semakin bertumbuh.

Beberapa hari kemudian, Herlic memutuskan untuk turun langsung ke desa-desa terpencil, memastikan semua pajak dikumpulkan. Ia menaiki kudanya dengan percaya diri, ditemani pasukan yang siap menembak siapa saja yang berani menentangnya.

Di ujung desa, ia tiba di ladang kecil milik Mela. Di tengah ladang itu berdiri sebuah gubuk reyot tempat tinggal Nyi Ciliwa, seorang wanita tua yang sudah terlalu renta untuk bekerja keras. Nyi Ciliwa hidup sendirian, bergantung pada belas kasih para tetangga untuk bertahan hidup.

Ketika rombongan Herlic tiba, Nyi Ciliwa keluar dari gubuknya dengan tertatih-tatih. Tangannya yang lemah membawa seikat kecil jagung—satu-satunya hasil yang ia miliki. Tubuhnya kurus, wajahnya penuh keriput, tapi ia tetap berdiri di depan Herlic dengan berani.

Herlic turun dari kudanya dan melangkah mendekat. Ia menatap jagung itu dengan ekspresi jijik. "Apa ini? Kau pikir ini cukup untuk membayar pajakmu?"

Nyi Ciliwa menunduk, suaranya gemetar saat berbicara. "Ampuni saya, Tuan. Saya sudah tua, tidak kuat bekerja di ladang. Ini semua yang saya punya. Saya mohon, terimalah ini."

Herlic menyeringai sinis. "Ini bahkan tidak pantas disebut pembayaran. Orang sepertimu hanya menjadi beban bagi tanah ini."

"Tuan, tolong beri saya waktu," pinta Nyi Ciliwa, berlutut di depan Herlic. "Saya tidak punya apa-apa lagi. Mohon ampuni saya."

Namun, Herlic hanya memandangnya dengan tatapan dingin. Ia memberi isyarat kepada salah satu prajuritnya. "Habisi dia."

Prajurit itu tampak ragu. Ia menatap Nyi Ciliwa yang masih bersujud, tangannya gemetar. "Tuan, dia hanya seorang wanita tua. Tidak ada gunanya—"

Herlic memotong dengan suara tajam. "Aku tidak peduli siapa dia. Jika kau tidak melaksanakan perintahku, kau akan menjadi korban berikutnya!"

Dengan berat hati, prajurit itu mengangkat senapannya. Nyi Ciliwa menangis, memohon dengan suara serak. "Tuan, saya mohon... Jangan ambil nyawa saya... Saya akan mencoba lebih keras..."

Namun, Herlic tidak bergeming. Tembakan itu dilepaskan, dan tubuh Nyi Ciliwa jatuh ke tanah. Darahnya membasahi tanah yang kering. Herlic berbalik tanpa melihat ke belakang. "Bakar gubuknya," perintahnya.

Pasukan Herlic segera menyalakan api. Gubuk kecil itu terbakar habis dalam hitungan menit, meninggalkan abu dan kepedihan. Penduduk yang menyaksikan dari kejauhan menangis dalam diam.

Tangisan di Ladang Sunyi

Matahari hampir tenggelam ketika Mela berjalan menyusuri jalan setapak menuju ladangnya. Udara senja terasa dingin, namun langkah Mela tetap mantap. Tangannya menggenggam keranjang anyaman yang biasa ia gunakan untuk membawa hasil panen. Ia berniat memanen beberapa bahan yang akan ia gunakan untuk membuat jamu, seperti daun serai, kunyit, dan jahe yang tumbuh subur di ladangnya.

Namun, begitu ia tiba di ladangnya, pemandangan yang mengerikan membuat langkahnya terhenti. Di tengah ladang itu, tubuh Nyi Ciliwa tergeletak kaku di atas tanah yang berlumuran darah. Di sampingnya, jagung-jagung yang ia bawa berserakan, sebagian telah diinjak-injak.

Mela terdiam sesaat, tubuhnya gemetar. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun, begitu kenyataan mulai meresap, ia menjatuhkan keranjangnya dan berlari ke arah tubuh wanita tua itu. "Nek Ciliwa!" serunya dengan suara parau.

Ia berlutut di samping tubuh Nyi Ciliwa, memeluknya dengan erat. Tubuh Nyi Ciliwa terasa dingin, darah di sekitarnya mulai mengering. Wajah tua yang biasanya penuh senyum kini pucat dan kaku. Luka tembakan di dada.

Setelah tangisannya mereda, Mela berdiri dengan langkah gontai. Pandangannya kosong, namun di dadanya ada dorongan kuat untuk melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan Nyi Ciliwa tergeletak begitu saja di ladang itu. Dengan air mata yang masih mengalir, Mela berlari keluar dari ladang menuju jalan utama desa.

"Pak! Bu! Tolong bantu aku!" teriaknya dengan suara serak, memanggil siapa pun yang bisa mendengar. "Nek Ciliwa... Nek Ciliwa sudah dibunuh!"

Beberapa warga yang sedang bekerja di ladang terdekat berhenti, memandang Mela dengan tatapan khawatir. Seorang pria tua bernama Pak Raji, yang dikenal bijaksana di desa itu, segera mendekat. Di belakangnya, beberapa wanita dan pemuda ikut berjalan dengan cemas.

"Mela, apa yang terjadi?" tanya Pak Raji dengan nada serius.

Mela, yang masih terisak, berusaha mengatur napasnya. "Nek Ciliwa... dia... dia ditembak! Dia ada di ladangku, tubuhnya tergeletak di sana... Tolong, Pak, bantu aku membawanya pulang."

Tanpa banyak bicara lagi, Pak Raji memberi isyarat kepada warga lainnya. "Ayo, kita ke sana sekarang. Bawa kain dan bambu untuk mengusung jenazah."

Sekelompok warga bergegas mengikuti Mela menuju ladangnya. Saat mereka tiba, pemandangan itu membuat semua orang terdiam. Tubuh Nyi Ciliwa yang terbaring kaku, darah yang sudah mengering, dan ladang yang menjadi saksi bisu tragedi itu membuat beberapa wanita menangis.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!