Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02
Hari itu, suasana rumah keluarga Jian terasa lebih tegang dari biasanya. Ibu Jian An, yang biasanya tenang dan terkontrol, kini tampak cemas dan penuh perhatian. Segala persiapan untuk pertemuan kedua orang tua Jian An dengan keluarga Kadipaten S sudah dilakukan dengan sempurna. Rumah keluarga mereka dibersihkan dan dihias dengan elegan, mencerminkan status sosial yang tinggi. Setiap sudut rumah dipenuhi dengan wangi bunga melati yang harum, dan makanan lezat telah disiapkan untuk menyambut tamu-tamu penting.
Sementara itu, Jian An sendiri merasa cemas. Ia duduk di ruang tamu, berpakaian rapi dalam gaun hianfu yang elegan, karyanya sendiri yang paling baru. Meskipun ia merasa bangga dengan karya desainnya, hari ini ia tahu bahwa hal itu tidak penting. Yang lebih penting bagi keluarganya adalah ia harus tampil sempurna dalam pertemuan ini, menyongsong masa depan yang telah dipersiapkan untuknya, yang tidak pernah melibatkan desain pakaian atau dunia seni yang begitu dicintainya.
Ibunya, dengan wajah serius, memastikan bahwa Jian An siap untuk pertemuan itu. "Ingat, Jian An," katanya dengan lembut namun tegas, "ini adalah kesempatan yang sangat penting. Perjodohan ini adalah jalan terbaik untuk keluarga kita. Berperilakulah dengan baik dan pastikan mereka tahu bahwa kamu adalah pilihan yang tepat."
Jian An hanya mengangguk, namun hatinya terasa berat. Di luar jendela, ia bisa mendengar suara kendaraan yang mendekat. Kedua keluarga yang telah lama berhubungan melalui perdagangan dan persahabatan ini, kini bertemu untuk tujuan yang lebih besar, yaitu mengatur pernikahan antara Jian An dan Banyu Janitra, anak bangsawan dari Kadipaten S.
Ketika pintu depan dibuka, masuklah keluarga besar Kadipaten S, dipimpin oleh ayah Banyu Janitra, yang mengenakan pakaian kebesaran khas bangsawan Jawa. Mereka membawa hadiah-hadiah mewah sebagai tanda hormat dan keseriusan mereka dalam perjodohan ini. Banyu Janitra, meskipun masih muda, tampak sangat tampan dan penuh wibawa, mengenakan pakaian adat Jawa yang menunjukkan status sosialnya yang tinggi. Namun, Jian An hanya bisa meliriknya sekilas, tidak merasa ada ikatan emosional atau ketertarikan apa pun. Ia merasa asing dan canggung di tengah keluarga besar yang begitu terhormat ini.
Pertemuan dimulai dengan percakapan yang formal, diiringi dengan hidangan mewah yang disajikan oleh pelayan. Ibu Jian An berbicara dengan penuh rasa hormat kepada keluarga Kadipaten S, menjelaskan latar belakang keluarganya dan prestasi mereka dalam bisnis. Namun, di balik percakapan tersebut, Jian An bisa merasakan ketegangan yang ada. Ia tahu bahwa seluruh perhatian kini tertuju padanya—sebagai calon pasangan hidup Banyu Janitra.
Sementara itu, Banyu Janitra, meskipun tampak tenang dan sopan, sesekali melirik Jian An dengan tatapan yang tidak bisa dipahami oleh Jian An. Ia merasa cemas dan tidak nyaman, tak tahu bagaimana melanjutkan percakapan dengan pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Jian An merasa seolah-olah ia menjadi objek yang dinilai, bukan individu yang bebas memilih jalan hidupnya.
Setiap kali ibu dan ayahnya berbicara tentang masa depan mereka yang penuh harapan, Jian An merasa hatinya semakin terhimpit. Dunia desain yang penuh dengan keindahan dan kreativitas terasa semakin jauh, dan ia merasa terperangkap dalam pusaran perjodohan yang tidak ia inginkan. Namun, ia juga tahu bahwa menolak perjodohan ini berarti menentang harapan dan kehormatan keluarganya, yang telah memberikan begitu banyak untuknya.
Di tengah pertemuan yang berlangsung, ada sebuah momen yang terhenti sejenak. Jian An dan Banyu Janitra saling berpandangan, namun perasaan di antara mereka terasa kosong. Tidak ada rasa cinta atau ketertarikan yang tumbuh, hanya keheningan yang menyelimuti. Jian An tahu, meskipun ia berusaha untuk melihat ke depan, hatinya tidak berada di sini. Ia bertanya-tanya apakah ada cara lain untuk menemukan kebahagiaan, selain mengikuti jalan yang telah ditentukan oleh keluarganya.
Setelah pertemuan formal yang cukup tegang, Banyu Janitra, dengan sikap yang sopan dan penuh perhatian, mengajak Jian An untuk berjalan-jalan di kawasan sekitar rumah keluarganya yang luas. Jalanan yang tertata rapi dan dikelilingi oleh taman yang subur memberikan suasana yang sedikit lebih santai dibandingkan dengan pertemuan formal tadi. Meskipun perasaan canggung masih menyelimuti Jian An, ia menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk mengenal lebih dekat lelaki yang diharapkan akan menjadi suaminya.
"Apakah kamu sering berjalan di sini?" tanya Banyu Janitra, membuka percakapan yang lebih santai saat mereka berjalan berdampingan di jalan setapak yang dihiasi pepohonan rindang.
Jian An hanya mengangguk pelan, merasa tidak nyaman dengan percakapan yang terkesan dibuat-buat. "Iya, ini taman yang cukup luas," jawabnya, mencoba memberikan respons yang sopan meskipun hatinya merasa bimbang. Ia tak tahu harus berbicara apa lagi. Pikiran-pikirannya terbayang pada karya desainnya yang menunggu di ruang kerja, jauh dari perbincangan ini.
Banyu Janitra mengamati sekitar, terlihat menyadari keheningan yang ada. "Tempat ini tenang sekali," katanya lagi, mencoba mencairkan suasana. "Aku rasa, jika kita sudah menikah nanti, akan ada banyak waktu untuk menikmati kedamaian ini."
Jian An merasa kata-kata itu menusuk, meskipun disampaikan dengan lembut. "Kedamaian?" pikirnya dalam hati. Ia merasa tidak ada kedamaian di dalam dirinya. Ia lebih merasakan ketegangan dan kebingungannya tentang perjodohan ini.
Mereka terus berjalan, melewati kolam kecil yang dikelilingi bunga teratai. Beberapa burung kecil terbang di sekitar mereka, menambah kesan damai yang kontras dengan perasaan yang mengganggu hati Jian An. Banyu Janitra, yang tampaknya berusaha mencari topik percakapan, menyadari ketegangan yang ada, namun tetap berusaha menjaga suasana tetap ringan.
"Apakah kamu suka berkebun?" tanya Banyu Janitra, melihat beberapa tanaman hias yang tertata rapi di sepanjang jalan.
Jian An menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Hmm, sebenarnya, saya lebih suka desain... pakaian," jawabnya dengan ragu, merasa semakin sulit untuk menjawab dengan jujur tentang minatnya yang sebenarnya.
Banyu Janitra terdiam sejenak. "Desain pakaian? Itu menarik. Aku pernah mendengar tentang wanita yang bisa mendesain sendiri pakaiannya," katanya dengan nada yang lebih penasaran.
Jian An merasa sedikit lega karena Banyu Janitra mulai menunjukkan minat pada sesuatu yang lebih dekat dengan dunianya. Namun, ia juga tahu bahwa minat tersebut tidak cukup untuk mengubah kenyataan bahwa ia tetap terjebak dalam perjodohan yang tidak ia inginkan. "Saya memang mendesain pakaian, tapi lebih banyak untuk diri sendiri... dan kadang, beberapa wanita yang tertarik," jawabnya, masih berhati-hati.
Banyu Janitra tersenyum, namun tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan ketegangan yang ada. "Keren," jawabnya singkat. "Aku harap kamu bisa menunjukkan beberapa desainmu nanti. Aku ingin melihat bagaimana selera mode di tempatmu."
Jian An hanya mengangguk, merasa bahwa ia sedang bermain dalam peran yang telah ditentukan untuknya. Mereka melanjutkan langkah mereka, melewati taman yang luas, namun di dalam hati Jian An merasa semakin terjerat dalam keheningan yang tidak bisa ia pecahkan. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah ada ruang bagi dirinya untuk memilih jalannya sendiri, atau apakah takdir ini sudah tertulis dengan begitu jelas di depan matanya.
Langkah mereka semakin mendalam ke dalam taman, namun perasaan Jian An tetap terhimpit oleh beban perjodohan ini. Ia berharap bahwa suatu hari nanti, ia bisa menemukan jalan yang membebaskannya dari peran yang harus ia mainkan hari ini.