"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenangan Sepasang Sandal
Hamzah berlari dengan penuh semangat, langkahnya cepat mendekati Ririn. Dari kejauhan, senyum lebar menghiasi wajahnya, mencerminkan kebahagiaan yang tak terbendung. Ririn, yang mendengar namanya dipanggil, segera berbalik. Saat matanya bertemu dengan Hamzah, wajahnya seketika memerah, dan kebahagiaan pun terpancar jelas dari raut wajahnya.
“Mas Hamzaahh!” teriak Ririn dengan suara ceria, seolah menghapus jarak di antara mereka.
Dalam sekejap, Hamzah sudah berada di samping gazebo, berjalan dengan perlahan sambil mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan. Ririn berdiri tepat di depannya, dan ketika Hamzah menyadari kedekatan mereka, ia terdiam sejenak. Kebahagiaan meluap-luap dalam hatinya, membuatnya kehilangan kata-kata. Ririn terlihat begitu cantik dalam balutan baju putih yang anggun, jilbab cream yang menambah kesan lembut, dan rok hitam yang serasi. Hamzah merasa terpesona, tetapi ia tahu bahwa keheningan ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Dengan berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang, ia akhirnya membuka suara.
“Assalamu’alaikum dik,” ucapnya dengan nada sedikit terbata-bata.
“Wa’alaikumussalam mas,” jawab Ririn, senyumnya semakin merekah ketika Hamzah duduk di sampingnya.
Suara gemercik air sungai dan kicauan burung di pagi hari menambah suasana romantis di sekitar mereka.
“Dik,” Hamzah memulai percakapan.
“Iya mas,” Ririn menjawab penuh perhatian.
“Adik sudah lama menunggu mas di sini?” tanya Hamzah.
“Baru sebentar kok mas,” jawab Ririn sambil menggelengkan kepala.
“Alhamdulillah kalau begitu,” Hamzah tersenyum lebar.
“Mmm, adik ingin bilang apa sama mas?” Ririn menunduk sejenak sebelum menjawab, “Adik cuma pingin ketemu sama mas Hamzah sebelum mas pergi ke Inggris.”
“Iya dik. Mas juga akan tetap menemui adik sebelum pergi,” balas Hamzah dengan lembut.
“Mas jaga diri baik-baik ya di sana. Jangan lupa makan dan beristirahat,” pesan Ririn dengan nada khawatir. Air mata tiba-tiba membasahi pipinya. “Mmm, mas juga jangan lupa kabarin adik terus ya mas.” Tangis Ririn pecah, tak mampu lagi menahan perasaannya.
Melihat Ririn menangis membuat hati Hamzah terenyuh. Dengan cepat ia mencari cara untuk menghiburnya.
“Dik, coba lihat batu besar itu!” serunya sambil menunjuk ke arah sebuah batu besar di tengah sungai. “Adik ingat tidak? Dulu waktu masih kecil adik pernah terpeleset dan jatuh ke sungai dekat batu besar itu?” tanyanya dengan nada menggoda.
“Ingat mas,” jawab Ririn meski suaranya masih tersendat oleh tangis.
“Waktu itu adik belum bisa berenang dan meminta pertolongan. Beruntung mas sedang duduk di atas batu itu. Tanpa pikir panjang, mas langsung nyebur untuk nolongin adik yang mau keseret arus. Alhamdulillah mas bisa meraih adik dan membawa adik ke pinggir sungai,” lanjut Hamzah dengan penuh nostalgia. “Tetapi ada satu hal yang tidak bisa mas selamatkan.”
Ririn menatap penasaran. “Apa itu?” tanyanya.
“Sandalku!” Hamzah tertawa ceria. “Sandal adik sebelah kanan hanyut terbawa arus! Mas mau kejar tapi sudah terlalu jauh. Akhirnya mas kasih sepasang sandal yang saat itu mas pakai. Dan ending-nya, mas pulang tanpa sandal.”
Keduanya tertawa bersama, suasana canggung perlahan sirna digantikan oleh kenangan manis yang tak terlupakan. Hamzah tertawa lepas, suaranya menggema di antara pepohonan yang rimbun, seolah mengusir semua kesedihan yang pernah membayangi mereka. Ririn, yang juga teringat dengan kejadian heroik yang mengikat persahabatan mereka, tak kuasa menahan tawa. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan; di mana ada Hamzah, di situ pasti ada Ririn. Persahabatan ini, yang lahir dari momen berani Hamzah, selalu membekas dalam ingatan mereka.
“Adik, adik jangan menangis lagi ya. Mas janji akan menjaga diri mas baik-baik,” Hamzah berusaha menenangkan Ririn yang masih menyeka air mata. “Mas juga berjanji akan menjaga pola makan dan istirahat.”
“Janji ya mas?” Ririn bertanya, matanya berbinar penuh harapan.
“Iya dik, mas berjanji,” jawab Hamzah tegas. “Nanti mas juga akan selalu memberi kabar kepada adik. Oh iya dik, tadi kenapa adik mengabarin kalau ingin ketemu mas lewat surat? Kenapa tidak lewat chat atau telepon?”
“Hehehe, anu mas. Adik pingin aja ngasih kabar lewat surat, pingin nostalgia waktu dulu kita masih surat-suratan ya walaupun kita tinggalnya satu kampung,” canda Ririn sambil tersenyum manis.
Mendengar jawaban itu, Hamzah tak bisa menahan senyumnya. Namun, saat pertemuan itu harus berakhir, rasa berat menyelimuti hatinya. Dengan mata berkaca-kaca, ia berpamitan.
“Dik.”
“Iya mas,” jawab Ririn pelan.
“Terima kasih untuk pertemuan yang singkat ini ya dik. Pertemuan ini sangat berarti untuk mas. Dan juga mas minta maaf ya dik, mas setelah ini izin mau pulang dan segera berangkat. Adik jangan bersedih ya dik, mas pergi bukan untuk meninggalkanmu. Tapi mas pergi untuk menimba ilmu,” sambung Hamzah dengan nada lembut. Air mata Ririn kembali mengalir saat mendengar kata-kata itu.
“Adik juga jaga diri baik-baik ya di sini. Apa yang adik pesan kan sama mas, adik juga harus melakukannya ya,” ucap Hamzah sambil mengusap air mata Ririn dengan lembut. “Dik, mas ingin bilang satu hal sebelum kita pulang.”
“Ingin bilang apa mas?” Ririn bertanya penasaran.
“Nanti setelah mas selesai studi S2, mas berjanji kepada adik, mas akan melamar adik.”
Kata-kata itu membuat Ririn terkejut dan bahagia dalam sekejap. “Serius masss?” tanyanya dengan mata berbinar-binar.
“Iya dik mas serius dik. Maka dari itu adik jangan bersedih lagi ya. Dan doakan mas selalu ya dik, restui perjalanan mas dalam menimba ilmu di sana,” Hamzah meyakinkan.
“Iya mas, adik berjanji tidak akan bersedih lagi. Dan tentunya adik akan selalu mendoakan mas,” jawab Ririn dengan senyum bahagia yang kembali merekah di wajahnya.
"Dik." Suara Hamzah memecah suara gemercik air sungai pagi itu, lembut namun penuh makna.
"Iya mas," jawab Ririn, matanya berbinar penuh harapan.
"Yuk kita pulang sekarang."
"Iya mas," sahutnya lagi, kali ini dengan semangat yang tak bisa disembunyikan. Mereka berdua mulai beranjak meninggalkan gazebo, tempat di mana banyak cerita terukir dalam senyuman dan tawa. Saat berjalan berdampingan, Ririn merasakan hatinya berbunga-bunga, senyum manis tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Hamzah, yang menyadari kebahagiaan Ririn, tak bisa menahan diri untuk menggoda.
“Senyam-senyum sendiri kenapa, neng?” ucap Hamzah dengan nada menggoda, membuat Ririn tersipu malu. Wajahnya memerah, tetapi kebahagiaan itu jelas terpancar dari setiap gerak tubuhnya. Dalam hati Hamzah, ada keinginan untuk menceritakan mimpinya semalam—sebuah mimpi aneh yang membuat fikiran Hamzah terganggu karenanya—namun ia mengurungkan niatnya. Waktu terasa terbatas dan perjalanan pulang ini sudah cukup istimewa. Rumah Ririn berada satu arah dengan rumah Hamzah, dan rumah Ririn adalah yang paling dekat dengan gazebo sungai. Mereka sudah setengah jalan menuju rumah Ririn ketika percakapan ringan mengalir di antara mereka. Namun tiba-tiba, Ririn terdiam, seolah teringat akan sesuatu yang penting. Melihat perubahan sikap Ririn, Hamzah pun bertanya dengan penuh rasa ingin tahu, Ada apa? Kenapa mendadak diam?” Suasana di sekitar mereka seolah berhenti sejenak, menunggu jawaban dari Ririn yang tampak sedang bergulat dengan pikirannya. Perasaan hangat di antara mereka berdua semakin menguatkan ikatan yang tak terucapkan; sebuah momen sederhana yang penuh makna dalam perjalanan pulang mereka.