Celia adalah seorang ibu tunggal yang menjalani kehidupan sederhana di kota Bandung. Setiap hari, dia bekerja keras di toko perkakas milik ayahnya dan bekerja di bengkel milik seorang kenalan. Celia dikenal sebagai wanita tangguh, tapi ada sisi dirinya yang jarang diketahui orang, sebuah rahasia yang telah dia sembunyikan selama bertahun-tahun.
Suatu hari, teman dekatnya membawa kabar menarik bahwa seorang bintang basket terkenal akan datang ke kota mereka untuk diberi kehormatan oleh walikota dan menjalani terapi pemulihan setelah mengalami cedera kaki. Kehebohan mulai menyelimuti, tapi bagi Celia, kabar itu adalah awal dari kekhawatirannya. Sosok bintang basket tersebut, Ethan Aditya Pratama, bukan hanya seorang selebriti bagi Celia—dia adalah bagian dari masa lalu yang telah berusaha dia hindari.
Kedatangan Ethan mengancam untuk membuka rahasia yang selama ini Celia sembunyikan, rahasia yang dapat mengubah hidupnya dan hidup putra kecilnya yang telah dia besarkan seorang diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIDAK PERCAYA
"Apa?" Ethan menatapnya dengan mata terbelalak, hatinya seperti jatuh ke perut.
Celia buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya bertemu dengan tatapan Ethan yang sama terkejutnya. Saat itu, pelayan datang membawa sandwich, meletakkannya di meja, lalu pergi meninggalkan mereka dalam keheningan yang canggung.
"Lia," Ethan memanggilnya pelan.
"Ethan," balas Celia, suaranya gemetar.
Keheningan kembali melingkupi mereka.
"Apa maksudmu Rion adalah anakku?" tanya Ethan dengan nada terkejut, suaranya sedikit meninggi.
"Aku harus pergi," ucap Celia sambil berusaha bangkit dari kursi, tapi Ethan lebih cepat. Dia menghalangi jalannya dengan tongkatnya, mencegahnya pergi.
"Tidak semudah itu," ujar Ethan dengan nada tegas, menatap Celia lekat-lekat. "Aku sudah tidak memakai kursi roda terkutuk itu. Aku masih pincang, tapi jika aku harus mengejarmu ke pintu, aku akan melakukannya, bahkan jika itu membuatku kembali ke kursi sialan itu."
Celia menatap tongkat yang menghalangi jalannya, lalu kembali menatap Ethan, yang masih menatapnya dengan tajam.
"Turunkan nada suaramu," katanya pelan.
Ethan mengangguk, lalu memutar lehernya dengan gerakan tajam hingga terdengar bunyi retakan.
"Bicaralah."
"Malam itu, di belakang mobilmu…" Suara Celia mulai memudar. "Ketika kita—"
"Aku ingat malam itu, dan itu bukan pertanyaannya," potong Ethan.
"Kapan kamu tahu kalau kamu sedang hamil?" tanyanya sambil meletakkan tongkatnya ke samping. Dia melihat sekeliling restoran, memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka. Jantungnya berdegup kencang, emosi bercampur aduk dalam dirinya. Rion adalah anaknya. Dia punya seorang anak bersama Celia. Celia adalah ibu dari anaknya.
Ethan kembali menatap Celia, dia hampir menangis, dan menghindari kontak mata.
"Aku ingin memberitahumu," kata Celia pelan. "Aku benar-benar ingin memberitahumu."
"Tapi kapan kamu tahu?" ulang Ethan, kali ini dengan nada lebih lembut, sambil meletakkan jarinya di meja. Celia tidak menatapnya, matanya berkaca-kaca. Wanita ini kuat, penuh percaya diri. Namun, sosok di depannya terasa begitu asing.
"Hari itu di lorong, ketika teman-temanmu menyuruhmu berbalik," jawab Celia tanpa menatapnya.
Hening kembali menyelimuti mereka. Ethan mengambil gelas cola-nya dan meneguk panjang sebelum meletakkannya kembali di meja. Sementara itu, Celia menatap ke samping, menghindari tatapanya. Dia tahu mengapa—Ethan pun merasakan dinding restoran seakan berdenyut bersama rasa malunya. Dia menarik napas dalam-dalam sambil mencoba menghitung waktu di kepalanya.
"Celia, saat aku pergi ke Jakarta, kamu sedang hamil anakku dengan usia empat bulan, dan kamu tidak mengatakan apa-apa," ucap Ethan sambil mengusap kepalanya.
"Apa? Dan menghancurkan karier luar biasa yang ingin kamu kejar?" balas Celia dengan nada tajam.
"Persetan dengan karierku! Tidakkah kamu berpikir aku berhak tahu?" Ethan berkata, kedua tangannya kini tergeletak di meja.
"Ethan, jangan pura-pura kamu akan meninggalkan segalanya dan menetap disini. Jangan pura-pura kamu tidak akan membenciku karena kehamilanku. Jangan berpura-pura seperti semua ini mudah bagiku—melepaskan semua mimpi yang ingin aku kejar demi merawat anakku."
"Anak kita," koreksi Ethan dengan tegas.
Celia menarik napas panjang. "Kita adalah dua orang berbeda dari dunia yang berbeda. Tidak satu pun dari kita siap untuk menetap dan membesarkan anak."
"Jadi, kamu membuat keputusan untuk kita berdua?" Ethan bertanya dengan nada jengkel.
"Kamu sedang berkencan dengan orang lain. Kamu praktis mencampakkanku, dan lalu kamu pergi ke Jakarta," balas Celia, nadanya semakin kesal.
"Urusanmu denganku sudah selesai, itu sudah jelas. Aku tidak bodoh. Jangan salah sangka, kamu memang hebat dalam bersikap menawan dan terdengar tulus, tap jujurlah—kamu hanya menyukaiku karena kamu hanya ingin tidur denganku . Setelah kamu mendapatkannya, kamu pergi."
Ethan tersentak sedikit. "Apa itu benar-benar yang kamu pikirkan tentang hubungan kita?"
Celia menatap langsung ke matanya, abu-abu bertemu coklat, keduanya takut mengakui kalau mereka pernah jatuh cinta, masing-masing berusaha mempertahankan harga diri yang tersisa.
"Kita berdua tidak pernah punya hubungan. Fakta kalau aku membiarkanmu melakukan apa yang kamu lakukan membuatku muak. Aku muda dan bodoh."
"Lia, aku tidak—"
Celia memotongnya dengan tiba-tiba, menoleh ke arah lain.
"Kamu melakukannya. Setidaknya jadilah pria sejati dan akuilah. Jika kamu berpikir aku akan membiarkanmu melakukannya lagi, menjadi tempat pelarian singkatmu, kamu salah. Mungkin dulu aku jatuh cinta pada mata abu-abumu saat aku berumur tujuh belas tahun, tapi sekarang aku sudah dua puluh enam. Kamu harus membiusku dulu sebelum aku membiarkanmu menyentuhku seperti itu lagi." Celia menyilangkan tangannya dan bersandar di kursinya, menatap sandwich di depannya.
Ethan terdiam, duduk di sana memandangi Celia dengan rasa sakit di hati dan penyesalan di pikirannya. Dia telah menyakiti Celia, jauh lebih parah daripada yang pernah dia bayangkan. Apa yang bisa dia katakan selain meminta maaf? Namun, dia tahu Celia tidak akan menerimanya begitu saja atau menganggapnya tulus.
Mereka duduk dalam keheningan yang terasa seperti bertahun-tahun, padahal hanya beberapa menit. Celia tetap menolak menatapnya, sementara Ethan tidak tahu harus berkata apa.
"Apakah makanannya enak?" tanya pelayan dengan wajah sedikit khawatir ketika melihat makanan mereka belum disentuh.
"Makanannya baik-baik saja," jawab Ethan dengan suara lembut, memberikan senyuman terbaiknya agar wanita itu pergi. Setelah pelayan pergi, dia kembali menatap Celia, yang kini melamun, menatap ke samping.
"Bagaimana ini mungkin?" ucap Ethan pelan, sambil mengangkat tangannya ke wajahnya. "Dokter bilang aku tidak mungkin—"
"Kamu subur," potong Celia tajam. "Rion punya mata abu-abu gelap sebagai buktinya."
Ethan meletakkan tangannya di meja, dan Celia menatapnya dengan mata yang merah tetapi tanpa air mata. Ethan hampir merasa seperti kembali ke masa SMA, duduk di seberang Celia, tidak yakin harus berkata apa, takut menyakiti perasaannya lagi.
"Ini salahku," bisik Ethan, membawa tangannya ke bibirnya.
Celia merasakan keringat dingin di bawah kulitnya mulai menghangat sedikit.
"Bukan salahmu kalau aku tidak memberitahumu."
"Aku bahkan tidak membuatmu mudah untuk memberitahuku.," kata Ethan sambil menunduk menatap sandwich-nya.
"Rion anak yang sehat. Dia memiliki matamu, rambutmu, dia juga suka olahraga," kata Celia, mencoba menemukan sesuatu yang mungkin bisa menghubungkan mereka atau sedikit menghibur Ethan. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia merasa harus menghiburnya.
"Siapa lagi yang tahu?"
Celia membeku, panik saat menatapnya. Dia seharusnya pergi saat ada kesempatan. Dia seharusnya tidak pernah datang ke restoran ini, dan dia seharusnya menjauh darinya sejauh mungkin.
"Lia?"
Suara Ethan lebih lembut, dan Celia memejamkan mata. Dia merasa sangat terhina oleh semua ini sehingga dia ingin bersembunyi di bawah batu.
"Siska dan Rani," jawabnya pelan.
"Hanya mereka?" Ethan bersandar di kursinya.
"Dan ibumu," tambah Celia dengan mengangkat bahu.
"Hebat." Ethan menghela napas, mengambil dompetnya, dan mengeluarkan lima ratus ribu rupiah.
"Kurasa acara makan malam kita sudah selesai. Selera makanku hilang, aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama." Dia meletakkan uang itu di atas meja.
"Bawa makanannya pulang, mungkin Rion mau memakannya." Matanya tiba-tiba berkaca-kaca saat menatap meja.
Celia merasakan sakit di hatinya melihat Ethan seperti itu, matanya hampir menahan air mata. Dia merasa sangat bersalah, tapi dia hanya mengangguk, memperhatikan Ethan yang berdiri, meraih kruknya, lalu berjalan keluar dari restoran.
"Butuh bungkus kotak?" tanya pelayan dari balik konter.
"Ya, tolong," jawab Celia sambil melihat kedua makanan yang tidak disentuh itu. Dia merasa seperti orang bodoh, yang sempat merasakan debaran di dadanya saat Ethan mengatakan bahwa dia merindukannya, dan pusing memikirkan pakaian apa yang akan dikenakan untuk makan malam ini. Celia merasakan hatinya kembali tertutup rapat. Dia harus kuat. Dia harus dingin dan tak tersentuh jika itu yang diperlukan untuk melewati semua ini.