Mbak Bian itu cantik.
Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.
Ah, mbak Bian benar-benar cantik.
Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata
"Menikahlah denganku Cha!"
Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.
Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Interogasi Lanjutan
-Mbak Cakep-
[Hai, ini aku Secha.
Terima kasih karena ya karena kamu sudah berbaik hati membantu untuk menyadarkan sepupuku dari jalan yang sesat]
Pesan dari mbak Secha ibarat bom atom yang meledak tepat di pusat pertahananku. Bagaimana tidak? Saat ini aku hanya berdua saja dengan mbak Buan di dalam mobil selagi menunggu mas Raka yang mendadak mules dan pergi ke kamar mandi sebentar. Entah bagaimana mas Raka dan mbak Bian membuat kesepakatan sesuka hati mereka tanpa menanyakan opiniku terlebih dahulu. Mereka bertiga (tentu saja ditambah mas Jems) akan mengajakku begadang sambil bermain kartu remi.
Ingin rasanya aku meneriakkan isi UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan berpendapat. Tapi suaraku seketika tenggelam begitu mbak Bian mulai mendiktekan snack dan jajanan apa yang akan kami beli terlebih dahulu sebelum menuju kosan. Dasar jiwa matre-ku, gampang banget di suap. Kalau begini sih aku nggak bakalan cocok jadi pejabat, padahal cita-citaku pengen duduk di A\Senayan.
Aku beringsut ke samping, mengandaskan posisiku kea rah pintu agar mbak Bian tak bisa melihat isi pesanku. Percayalah, aku tak lebay jika mengatakan mata mbak Bian bahkan lebih tajam daripada mata tukang parkir yang sering tiba-tiba muncul saat ada kendaraan keluar. Padahal saat datang mereka tak ada dimanapun. Untung saja nama mbak Secha ku simpan dengan nama mbak cantik dan isi pesan mbak Secha sedikitpun nggak ada menyebutkan nama mbak Bian. Kalau nggak bisa ketahuan aksi mata-mataku ini.
[Oke mbak. Aku ikhlas kok mbak ngebantui mbak]
Balasku dengan kecepatan mengetik melebihi kecepatan cahaya. Aku langsung menyimpan HP-ku ke dalam tas dan langsung menghembuskan nafas lega saat melihat mbak Bian tak terlalu memperhatikan aksi diam-diamku yang mirip pengabdi hotspot saat mencuri wifi.
"Habis chattingan sama siapa sih, kok sembunyi-sembunyi gitu?"
Suara mas Raka yang tiba-tiba sudah berada di belakang langsung membuat jantungku mencelos.
Dengan kesal aku memutar kepala ke belakang, memandang mas Raka galak. Sia-sia sudah usahaku agar mbak Bian tidak menyadari aksi mencurigakanku. Mbak Bian kini memandangku dengan tatapan heran sekaligus menyelidik.
"Patut tadi meper-meper ke pintu. Mbak kira lagi ngeliat saldo tabungan di internet banking."
Sahut mbak Bian yang langsung membuat wajahku semakin bertambah masam. Tau aja sih mbak Bian kalau aku sering sembunyi-sembunyi mengecek saldo tabunganku, dengan harapan isinya masih cukup hingga akhir bulan.
"Hehehe"
"Nggak kok mbak, balas pesan temen tadi."
Jawabku.
"Oh."
Saat aku pikir bahwa aku sudah selamat dari interogasi sesi kedua setelah sebelumnya menghadapi interogasi di dalam cafe tadi, mas Raka tiba-tiba mengeluarkan komentar dengan nada menggoda,
"Ah, kayaknya nggak temen kok. Yakali temen balas chatnya sembunyi-sembunyi begitu. Padahal biasanya Icha santuy aja tuh, malah pernah video call-an di depan aku dan Bian."
Mas Raka berdecak heran.
"Tadi namanya kalau nggak salah mbak cakep. Terus isinya tentang menyadarkan sepupunya dari jalan yang sesat."
Aku langsung membelalakkan mata saat mas Raka mengulang isi pesan dari mbak Secha secara akurat. Buset dah, ini mas Raka sama mbak Bian cocok deh jadi detektif, apalagi detektif yang bertugas menyelidiki para penjahat. Satu punya kemampuan penglihatan yang tajam, satu lagi punya kemampuan mengingat yang luar biasa. Kalau begini mah, aku harus hati-hati kalau ngegibah sama mas Raka, bisa-bisa dia tetap ingat gibahanku walaupun aku sendiri sudah lupa.
"Memangnya siapa sih yang mau disadarkan dari jalan yang sesat? Temannya Icha ada yang ikut ajaran sesat?"
Tanya mas Raka penasaran.
Aku langsung menganggukkan kepala cepat
"Iya nih mas. Teman aku di kampus ada yang ikut ajaran sesat"
"Oh ya? Ajaran sesat gimana?"
Mas Raka terlihat penasaran. Dia bahkan memajukan tubuhnya hingga kepala mas Raka berada di antara bahuku dan bahu mbak Bian.
Mampus aku!
Padahal aku hanya menjawab secara asal.
Aku langsung memutar otak dengan cepat, mencoba mencari penjelasan yang bisa membuat mas Raka dan mbak Bian tak banyak bertanya. Tiba-tiba aku teringat ucapan Cancan yang sering memberikan tips dan trik cara agar menjadi pembohong yang baik dan benar. Yaitu dengan membicarakan alasan atau kebohongan sebenarnya seolah itu adalah hal biasa dan lumrah.
"Aku juga kurang tau mas. Sebenarnya bukan ajaran sesat sih, tapi..."
Aku memelankan suaraku, setengah berbisik sebelum melanjutkan kalimatku setelah celingukan ke kiri dan ke kanan.
"Temenku ini, katanya pelakor mas. Nggak tega aku tuh kalau temanku ini terjerumus ke dalam dunia kepelakoran yang kejam. Mending nih mas yang dipelakori cakepnya kayak Lee Min Ho, ini yang dipelakori mirip orang-orangan sawah, mas! Ganteng kagak, kaya kagak, tapi betingkah!"
Lanjutku dengan nada kesal dan wajah prihatin.
"Hah?"
"Serius?"
Aku mengangguk lagi.
"Serius mas. Padahal bininya cakep loh mas. Memang sih ya laki-laki suka begitu, kurang aja bawaannya!"
"Rasanya pengen benamin aja lakik model gitu di rawa-rawa, biar jadi temennya siluman buaya. Kan sama-sama buaya tuh. Bedanya dia buaya darat."
Ucapku mengakhiri penjelasan berapi-api milikku.
Sebenarnya apa yang kuucapkan sebagian memang curahan hatiku. Mbak Secha sempat memperlihatkan foto istri mas Jems yang menurutku sangat cantik. Ya walaupun mas Jemsnya cakep sih, tak sesuai dengan deskripsiku barusan tentang mirip orang-orangan sawah. Memang ya dunia ini tidak adil. Kenapa sih para fucek boy sejenis mas Jems keseringan dikaruniai wajah tampan dan istri yang super cantik? Kesal aku tuh!
Diam-diam aku melirik wajah mbak Bian, mencoba mengamati perubahan ekspresi di wajahnya. Biasanya para pelakor ketika disindir, wajahnya akan berubah menjadi pucat ataupun tak nyaman. Tapi mbak Bian terlihat santai seperti biasa. Malah, samar-samar aku melihat senyum terbentuk di sudut bibirnya.
"Memang nggak ada otaknya itu laki-laki!"
Gerutu mas Raka kesal.
Dia lalu memegang bahuku sambil berbisik lembut
"Tapi percaya deh, Cha. Mas Raka orangnya setia. Jadi Icha nggak perlu ragu kalau.."
Ucapan mas Raka mendadak terhenti setelah mbak Bian menyumpal mulutnya dengan roti cokelat yang tadi mbak Bian bawa dari cafe.
Seperti biasa, mbak Bian mulai mencondongkan tubuhnya ke arahku, memasang sabuk pengamanku yang belum sempat terpasang akibat gibahanku bersama mas Raka. Lagi-lagi aku hanya bisa membeku, menunggu mbak Bian selesai memasang sabuk pengaman tanpa bergerak sedikitpun.
"Oke!"
Ucap mbak Bian setelah memastikan sabuk pengaman telah terpasang dengan benar.
Mbak Bian mulai menjalankan mobil dan fokus menyetir, membuat keheningan muncul di antara kami. Tentu saja keheningan yang terjadi karena mas Raka yang mulai sibuk mengunyah roti di mulutnya dan aku yang sedang berjibaku dengan pikiranku sendiri, Antara pikiran waras dan pikiran gila yang terus terpengaruh oleh cerita abstrak Cancan.
Saat aku pikir kami hanya akan diam sepanjang perjalanan mencari makanan dan menuju kosan, mbak Bian tiba-tiba bersuara,
"Selidikilah dengan benar Cha, jangan ada satu informasi apapun yang tertinggal."
Dia lalu memandang ke arahku dengan senyum miring terbentuk di sudut bibirnya. Entah kenapa, aku merasa suasana mobil lebih mencekam daripada biasanya.
"Kita nggak mau kan kalau sampai salah informasi dan si mbak cantik jadi gagal menyadarkan sepupunya?"
Mbak Bian tergelak sejenak,
"Ah, sepertinya ada hal menarik yang bakalan terjadi"
Lanjut mbak Bian sambil bersiul dan kembali fokus menatap jalan, membuat perasaan tak enak tiba-tiba menjalari hatiku.