Tahu masa lalunya yang sangat menyakitkan hati satu minggu sebelum hari pernikahan. Sayang, Zoya tetap tidak bisa mundur dari pernikahan tersebut walau batinnya menolak dengan keras.
"Tapi dia sudah punya anak dengan wanita lain walau tidak menikah, papa." Zoyana berucap sambil terisak.
"Apa salahnya, Aya! Masa lalu adalah masa lalu. Dan lagi, masih banyak gadis yang menikah dengan duda."
Zoya hanya ingin dimengerti apa yang saat ini hatinya sedang rasa, dan apa pula yang sedang ia takutkan. Tapi keluarganya, sama sekali tidak berpikiran yang sama. Akankah pernikahan itu bisa bertahan? Atau, pernikahan ini malahan akan hancur karena masa lalu sang suami? Yuk! Baca sampai akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Episode 4
Si kakak merasa sangat cemas dengan keadaan adiknya. Namun, dia juga tahu kalau apa yang sedang adiknya rasakan cukup berat. Jadinya, dia tidak ingin memaksa. Dia memilih untuk memberikan ruang untuk adiknya sendiri.
"Baiklah kalau itu yang Zoya inginkan. Kakak gak akan ganggu kamu sekarang. Tapi, ingatlah untuk keluar saat makan malam. Bagaimanapun, kamu harus makan, Zoya."
Zoya tidak menjawab. Kakaknya yang menunggu di depan pintu akhirnya menyerah. Dia tahun adiknya sedang sangat kesal, bahkan mungkin sedang sangat marah. Karena memang, mereka semua sudah cukup keterlaluan. Mereka memilih untuk merahasiakan kisah masa lalu dari calon suami Zoya. Hal yang seharusnya Zoya ketahui malah mereka rahasiakan. Bagaimana mungkin gadis itu tidak terluka?
Saat makan malam tiba, Zoya masih tidak keluar dari kamarnya. Wanita yang biasanya sangat tidak sabaran ketika ingin makan, tidak pernah telat jika soal makanan. Tapi kali ini, tidak. Zoya tidak ada di meja makan walau sudah di panggil berulang kali oleh sang mama.
"Di mana Zoya?"
"Tidak ingin keluar, Pa. Katanya tidak ingin makan."
"Apa sih yang sedang ada dalam pikiran anak itu sekarang? Kenapa kek anak-anak. Ngambek, lalu mogok makan," ucap si papa dengan raut kesal.
Juanda yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Wajar jika Zoya kesal. Kita yang salah padanya. Kita yang sudah merahasiakan hal besar pada Zoya, Pa, Ma."
Hembusan napas berat langsung terdengar dari mulut si papa. Tatapan dingin dia perlihatkan. Sepertinya, dia semakin kesal setelah mendengar ucapan anak pertamanya itu.
"Semua itu demi kebaikan Zoya, Juan. Lihatlah sekarang, dia malah langsung tidak ingin menikah setelah tahu masa lalu Arya. Padahal, tidak ada yang salah dengan masa lalu itu, bukan?"
"Papa. Bagi kita tidak masalah. Tapi, bagi Zoya?"
"Apa yang masalah, ha? Arya tidak menikah. Tidak ada tanggung jawab untuk masa lalunya. Lagipula, dia pria. Tidak ada yang rusak dengan dirinya walau masa lalunya seperti itu."
"Dan lagi, ada banyak gadis di luar sana yang bersedia menikah dengan duda. Mereka hidup bahagia. Walaupun si pria sudah menduda, bahkan ada yang punya anak lebih dari satu."
"Aduh, sudahlah. Kenapa kalian malah kembali berdebat," ucap si mama dengan nada kesal.
"Saatnya kita makan. Tapi kalian malah terus berdebat. Apa-apaan kalian ini, ha?"
Juanda langsung bangun dari duduknya.
"Kalian makan dulu saja. Biar aku yang berusaha membujuk Zoya."
"Tidak perlu. Zoya akan keluar jika nanti dia lapar." Si papa berucap dengan nada tegas.
Langkah kaki Juan terhenti. Pria itupun langsung menoleh ke samping, di mana papanya sedang duduk.
"Aku tidak berselera. Kalian makanlah."
"Juan."
"Biarkan, Ma. Dua anak kita itu memang selalu begini. Mungkin, mereka ingin kita cepat kena serangan jantung kali yah."
"Hush, papa ngomong apa sih. Jangan bicara yang tidak-tidak."
"Habisnya, mereka berdua sekali bikin masalah hampir buat aku kehabisan napas. Gak Zoya, gak Juanda. Benar-benar anak-anak yang berbakti mereka berdua. Sangking berbaktinya, sampai aku merasa sangat tersiksa."
Sepasang suami istri yang ada di meja makan terus ngobrol, sedangkan Juan tidak mendengarkan apa yang papanya katakan. Dia berjalan dengan langkah ringan menuju kamar sang adik.
Ketukan di pintu Juan layangkan. Satu kali, dua kali, lalu, yang ketiga kalinya. Barulah suara Zoya terdengar.
"Aku tidak ingin makan. Kalian makan saja. Aku tidak lapar."
"Zoya. Ini kakak. Izinkan kakak masuk, Aya."
"Kak Juan. Aku tidak ingin bicara. Jadi, kakak tidak perlu masuk."
"Zoya. Kakak tahu kamu marah sama kakak. Kakak minta maaf. Kakak sudah salah besar padamu, maafkan kakak, Aya."
"Zoya, kakak gak akan pergi dari depan pintu kamar ini selagi kamu tidak mengizinkan kakak masuk. Kakak akan tetap berada di sini sampai pintu kamar kamu terbuka. Jika perlu, kakak akan tidur di sini sepanjang malam."
Ucapan si kakak membuat Zoya langsung berpikir. Yah, dia tahu seperti apa kakaknya itu. Sekali dia berucap, maka itulah yang akan dia lakukan. Juan tidak akan mengingkari kata-katanya. Jika dia bilang dia akan tidur di depan pintu kamar, maka itulah yang akan dia lakukan. Zoya sangat memahami sifat kakaknya ini.
Dengan berat hati, Zoya terpaksa membukakan pintu kamar untuk Juanda. Wajah kusutnya langsung terlihat setelah daun pintu ia buka. Mata bengkak dan wajah sembab, sudah bisa dipastikan kalau Zoya habis menangis dalam waktu yang lama.
"Aya."
"Aku baik-baik saja. Tidak perlu cemas, kak Juan."
"Maaf, Aya. Kakak sangat-sangat menyesal. Tapi, tidak ada yang bisa kakak lakukan untuk menebus kesalahan kakak. Karena .... "
"Tidak perlu minta maaf, kak. Aku tahu siapa yang paling berkuasa di rumah ini. Bahkan, atas diriku juga aku tahu siapa yang paling berkuasa."
"Jika saja bunuh diri itu tidak di larang, maka aku akan melakukannya," ucap Zoya sambil memutar tubuh untuk kembali masuk ke dalam kamar lebih jauh.
Sontak, satu ucapan terakhir yang baru saja adiknya ucap membuat Juan jadi terkejut. Gegas tangannya meraih kedua pundak si adik.
"Apa yang kamu ucapkan, Aya? Jangan bicara sembarangan. Jangan bicara yang tidak-tidak, Zoyana."
"Itu adalah hal yang sedang ada dalam pikiranku, kak Juan. Sayang, aku tidak bisa melakukan apa yang sedang ada dalam pikiranku. Karena, bunuh diri adalah dosa."
"Jangan bicara lagi, Zoya. Kuatkan semangat mu. Jangan melemah seperti sekarang. Adikku itu orang yang kuat."
"Tapi, bagaimana aku bisa kuat ketika apa yang aku inginkan tidak bisa aku lakukan, kak Juan? Aku tidak ingin menikah. Tapi papa, tidak akan mendengarkan apa yang aku katakan."
Juanda terdiam. Memang, mereka tidak mungkin bisa mengubah keputusan yang papa mereka buat. Karena sekali tidak, maka akan tetap tidak. Begitu pula sebaliknya. Apalagi hal itu adalah menyangkut masalah besar seperti pernikahan. Undangan yang sudah disebarkan. Persiapan yang sudah hampir rampung, mana mungkin kedua orang tua mereka akan membatalkan pernikahan itu begitu saja.
Mengingat kenyataan itu, Zoya kembali menangis sambil menutup matanya dengan lengan. "Aku tidak ingin menikah dengannya, kan Juan. Tapi papa, hiks."
Juan tahu apa yang adiknya rasakan. Malangnya, dia tidak bisa menolong kesulitan yang sedang adiknya derita. Juan hanya bisa meraih tubuh si adik, lalu memeluknya dengan erat. Walau dia tahu, hal itu tidak akan membantu.
"Tenanglah, Aya. Kakak akan bantu kamu bujuk mama dan papa. Semoga, papa bisa melunak."
"Itu tidak mungkin," ucap Zoya dengan suara pelan, penuh dengan kekecewaan. "Keputusan papa tidak akan bisa diubah."
Suasana mendadak hening. Lalu, sesaat kemudian, kakanya malah berucap hal yang tidak Zoya sangka-sangka.
"Bagaimana kalau kamu kabur saja, Aya. Kakak akan bantu," ucap Juanda dengan nada penuh keyakinan.
lanjut kak...
semngat....
sdah mampir...
semoga seru alur critanya...
semngat kak ...