Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Pertanyaan Ibu Puspa
"Hai Karin," sapa Tara, sambil menurunkan teleponnya lalu melangkah ke arah Karin.
Karin menatap Tara, dan terpaku untuk beberapa saat. Ucapan Tara di telpon barusan sungguh mengusik pikirannya. Membuat Karin ingin bertanya apa maksud dari ucapan Tara itu. Namun, dia terlalu malu untuk menanyakannya.
"Halo Karin." Tara menyapa Karin lagi, sambil mengeluarkan senyum tipis, dan melambaikan tangannya di depan wajah Karin
"Ha-halo juga Mas," balas Karin terbata.
"Kamu lagi melamun ya barusan? Saya sapa kok enggak nyahut-nyahut," tanya Tara curiga.
"Eng-enggak kok, saya enggak melamun Mas." Karin mencoba untuk terlihat biasa.
"Oh, apa jangan-jangan kamu tuh terpesona ya sama saya? Makanya bengong kayak begitu," kata Tara lagi penuh percaya diri.
"Ih Mas Tara kepedean." Karin tertawa kecil, dan mencoba untuk menutupi rasa gugup yang dirasakannya. "Saya cuma heran aja, kok bisa Mas Tara ada disini."
"Iya, kebetulan saya lagi jenguk teman yang lagi sakit. Terus saya ingat sama kamu. Makanya saya mau sekalian jenguk ibu kamu," jawab Tara.
"Oh, begitu."
Sebenarnya Karin masih penasaran dengan ucapan Tara di telpon. Namun, lebih baik dia pura-pura tak mendengarnya.
"Ya sudah Mas, ayo kita ke ruangan Ibu," ajak Karin.
Tara mengangguk lalu mengikuti langkah Karin. Keduanya jalan berdampingan, dan melangkah perlahan-lahan. Sambil berjalan diam-diam Karin melirik memperhatikan penampilan Tara. Seperti biasa laki-laki itu selalu memakai setelan jas yang terlihat mewah di tubuhnya. Mungkin karena dia selalu menemui orang penting jadi penampilannya seperti itu, pikir Karin.
"Mas Tara." Karin memanggilnya.
"Iya, kenapa Rin?"
"Saya boleh minta nomor rekeningnya Mas Tara?"
"Rekening saya?" Tara mengerenyitkan keningnya. "Buat apa Rin?"
"Anu, saya mau kembalikan biaya rumah sakit ibu. Biaya rumah sakit yang udah dibayar sama Mas kemarin," jelas Karin.
Tara membulatkan mulutnya. "Oh, itu ... saya ikhlas kok bayar biaya rumah sakit ibu kamu. Enggak usah kamu kembalikan uangnya."
"Jangan begitu Mas, saya merasa enggak enak merepotkan Mas Tara terus, apalagi kita ini baru kenal Mas," ucap Karin.
Tara menghentikan langkahnya, lalu menatap Karin dengan tatapan yang sedikit tajam. "Memang kalau baru kenal enggak boleh saling tolong menolong?"
"I-iya boleh sih, tapi ...." Karin bingung harus berkata apa. Dia hanya merasa tak enak karena Tara sudah mengeluarkan uang jutaan untuk biaya rumah sakit ibunya.
"Saya ikhlas Karin, dan saya enggak ada maksud apa-apa, atau maksud merendahkan kamu. Saya hanya kasihan melihat kamu sedih seperti kemarin," jelas Tara.
"Kasihan?" Karin tampak tak suka dengan kalimat itu.
"Saya enggak suka dikasihani Mas ... dan Mas Tara harus tahu saya punya kok uang sebanyak yang dibutuhkan untuk membayar biaya rawat ibu." Karin tak bisa menyembunyikan rasa kesal, dan kecewanya.
Tara refleks menggigit bibirnya. "Maaf kalau saya salah ngomong barusan. Intinya saya hanya peduli sama kamu, dan saya merasa harus membantu kamu ... tapi saya sadar, mungkin saya terlalu lancang."
"Tapi kamu betul-betul enggak usah ganti uang itu Rin," tambahnya lagi.
"Mas ...." ucap Karin sambil membulatkan mata.
"Baiklah kalau kamu memaksa, tapi ganti setengahnya ... dan saya minta kamu jangan marah lagi."
"Dan tolong maafkan jika ada kata-kata, atau sikap saya yang salah," tambahnya.
Tara sungguh-sungguh menyesal. Dan setelah Karin pikir-pikir sepertinya dia sudah keterlaluan karena marah kepada Tara.
"Ah, seharusnya aku tak kesal seperti itu. Kalau Mas Tara ilfeel sama aku bagaimana?" batin Karin.
"Eh, kenapa aku begitu takut Mas Tara ilfeel padaku? Sebenarnya apa yang terjadi padaku?" batinnya berkecamuk bingung.
"Karin ...." Tara memanggil Karin dengan pelan.
Karin menarik nafas dalam, mencoba untuk lebih fokus, dan tenang.
"Mas enggak usah minta maaf. Mas enggak salah kok ... justru saya yang salah," ucap Karin sambil sedikit menundukkan kepala.
"Kamu enggak salah, Rin."
"Saya salah Mas."
"Enggak Rin, saya yang salah," ucap Tara.
"Ih, saya yang salah Mas." Karin tak mau kalah.
Tara menatap Karin. Dia mengangguk,lalu tertawa kecil. "Baiklah, kamu yang salah. Saya mengalah saja deh. Kalau enggak mungkin sampai pagi kita akan ada disini, dan memperdebatkan masalah ini."
Karin menatap Tara, dan keduanya tertawa kecil bersamaan. Karin tak menyangka dirinya bisa tertawa bersama, dan merasa nyaman dengan orang selain Sabrina.
Tara mengambil ponsel di genggaman Karin, lalu menuliskan sesuatu disana, lalu menyerahkan ponsel itu kembali.
"Itu nomor rekening saya," ucapnya. "Tapi ingat ganti setengahnya saja. Kalau kamu ganti semua saya enggak mau ketemu kamu lagi."
"Baiklah Mas, saya mengerti."
Sambil berjalan ke ruangan rawat Karin pun segera mengirimkan uang ke rekening Tara. Walau tak sepenuhnya, setidaknya rasa tak enak di hatinya sudah sedikit berkurang setelah mengganti sebagian.
Karin tiba di depan ruang rawat ibunya, lalu menggeser pintu ruangan itu dengan perlahan.
"Ibu ...," panggil Karin pelan, takut Ibu Puspa sedang terlelap.
Tapi untung saja Ibu Puspa masih terjaga, dan duduk di atas ranjang rawatnya. Ibu Puspa langsung menyambut Karin dengan senyum.
"Mas ayo masuk," ajak Karin pada Tara yang masih berdiri di ambang pintu.
Ibu Puspa mengerenyitkan keningnya. Dia pasti merasa heran dan penasaran dengan sosok laki-laki yang kini ada di samping Karin. Ibu Puspa pun menatap Karin, dan memberi isyarat seolah menanyakan siapa sosok laki-laki yang datang itu.
"Kenalin Bu, ini Mas Tara yang aku ceritain kemarin," ucap Karin.
"Saya Tara Bu temannya Karin, salam kenal." Tara menyalimi ibu Puspa dengan sopan.
Raut penasaran di wajah Ibu Puspa menghilang tergantikan dengan senyum yang merekah lebar. "Oh, jadi ini yang menolong ibu, dan bayar biaya rawat ibu?"
"Terima kasih banyak ya Nak Tara," ucap Ibu Puspa sambil menggenggam tangan Tara dengan erat.
"Sama-sama Bu, saya enggak membantu banyak kok." Tara begitu merendah.
"Ayo duduk Nak. Rin ambilkan kursi untuk Tara dong. Masa dia suruh berdiri terus."
"Ah baik Bu."
Karin hendak mengambilkan kursi untuk Tara, tapi Tara menahan tangan Karin. "Biar saya ambil sendiri saja, kamu duduk aja Rin."
Laki-laki itu beranjak sendiri mengambil kursi, lalu membawanya ke samping Karin. Sikapnya membuat Karin tak bisa berkata-kata, dan tangannya saat memegang tangan Karin terasa begitu penuh kehangatan.
"Ehem ... ehem." Ibu Puspa berdeham sambil melirik Karin.
"Ibu mau minum?" tawar Karin mengira ibunya kehausan.
Ibu Puspa menggeleng sambil tersenyum, lalu berbisik pelan. "Enggak, ibu cuma mau ingetin kamu jangan senyum-senyum sendiri. Nanti Nak Tara takut sama kamu."
"Astaga, sepertinya lagi-lagi aku tersenyum-senyum sendiri tanpa kusadari. Semoga saja Mas Tara tak sadar akan sikapku ini," batin Karin sambil sedikit menutupi wajahnya.
Mereka bertiga pun berbincang. Ibu Puspa banyak menanyai Tara soal ini itu. Dia melakukannya seperti orang yang melakukan tes untuk wawancara kerja. Untung saja Tara merespon baik, dan tak keberatan menjawab semua pertanyaan ibu Puspa.
Lalu karena waktu sudah semakin sore Tara pun berniat pulang.
"Oh, iya besok kan ibu sudah bisa pulang? Apa mau saya jemput pulangnya?" tawar Tara tiba-tiba.
"Ah, jangan Mas. Mas pasti sibuk. Saya sama ibu bisa pulang sendiri kok," tolak Karin dengan sopan.
"Kamu tenang saja, saya besok enggak ada jadwal apapun."
"Tapi Mas, saya--"
"Sudahlah Rin, terima saja tawaran Nak Tara. Enggak baik kamu menolak niat baiknya Nak Tara," ucap Ibu Puspa.
Tara tersenyum ke arah Ibu Puspa. "Ibu sudah setuju, berarti saya besok jemput kamu sama ibu di sini."
"Makasih Mas," ucap Karin tak mengerti lagi kenapa ada orang sebaik Tara.
"Iya sama-sama."
Tara melirik Ibu Puspa, lalu mencium tangan Ibu Puspa. "Saya pulang dulu ya Bu. Jaga kesehatan Ibu ya."
Ibu Puspa mengangguk, lalu tiba-tiba menahan tangan Tara. "Tunggu Nak, ibu boleh bertanya satu hal lagi sama kamu?"
"Boleh kok Bu."
"Ih, ibu mau nanya apalagi sih?" ucap Karin pelan karena merasa tak enak terhadap Tara.
Ibu Puspa menghiraukan Karin, dan tetap bertanya. "Begini ... kalau ibu boleh tahu. Nak Tara sudah punya gandengan belum?"
Tara mengerenyitkan keningnya sambil tersenyum tipis, sementara Karin sontak menahan malu saat mendengar ibunya bertanya seperti itu.
"Gandengan? Maksud Ibu ... pacar begitu?" tanya Tara, dan langsung dibalas anggukan oleh ibu Puspa
Tara semakin melebarkan senyumnya lalu menatap Karin dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ah, soal itu ...."
"Enggak usah dijawab Mas," ucap Karin cepat lalu menghampiri Ibunya, dan berbisik. "Ibu kenapa nanya hal itu? Itu kan privasinya Mas Tara."
"Ya, enggak apa-apa. Ibu kan cuma pengen tahu."
"Ih, Ibu ...." Karin benar-benar merasa malu, dan tak berani menatap mata Tara.
"Saya masih sendiri kok Bu."
Tak diduga Tara menjawab pertanyaan Ibu Puspa, dan Karin sontak mengangkat wajahnya untuk menatap Tara.
"Saya juga sebenarnya lagi mencari calon istri sih Bu. Barangkali saja ibu bisa jodohkan saya sama seseorang."
"Seseorang yang baik hatinya, dan memiliki senyuman yang menawan."