"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Zea mengulum senyum meremehkan.
"Kamu gadis yang bernama Alea Adeeva?"
Alis Bianca berkerut. "Alea?" tanyanya seraya terkekeh geli.
"Bukan, ya?" Zea tersenyum kecil. Ia lalu melanjutkan langkahnya masuk ke rumah Wicaksana, tetapi ia sempat menyenggol bahu Bianca yang membuat Bianca hampir oleng.
"Heh, gadis sialan kurang ajar!" pekik Bianca marah lalu berlari menyusul Zea ke dalam rumah.
Zea mendudukkan dirinya di sofa dengan anggun, sangat mencerminkan etika yang baik.
"Pergi kamu dari sini!" usir Bianca dengan suara nyaring.
Mendengar teriakan Bianca, Raya yang berada di ruang tengah segera ke depan untuk melihat apa yang terjadi, pada siapa Bianca berteriak marah.
"Bia, ada apa ini?" tanya Raya yang melihat Bianca menatap sengit gadis cantik yang duduk di sofa.
"Aku tidak tahu siapa dan darimana gadis tidak tahu sopan santun ini berasal, yang dengan lancangnya masuk rumah kita, Ma." Raya menelisik lagi penampilan Zea.
Semua yang melekat ditubuhnya bukan barang-barang murah, pembawaan Zea yang tenang juga membuat Raya meragukan ucapan Bianca dan yakin jika gadis muda di hadapannya mempunyai latar belakang yang cukup berpengaruh. Namun, Raya cukup heran untuk apa gadis muda sepertinya datang ke rumahnya.
"BIanca kamu duduk dulu." Raya menarik Bianca duduk di sampingnya, meski enggan tapi Bianca tetap menurut. Setelah itu Raya menatap Zea intens.
"Saya tidak tahu apa tujuan kamu ke sini, tapi selamat datang di rumah keluarga Wicaksana."
Zea memasang wajah angkuh. "Saya tahu dan saya tidak ingin basa-basi, batalkan pernikahan Alea dengan Seno!"
Bianca tercengang sesaat lalu tertawa sangat keras. "Apa tadi, membatalkan pernikahan Alea dengan Seno? Kau SIAPA?"
Raya yang sempat mematung tersentak ketika mendengar suara tawa biancay yang menggema.
"Ma, gadis ini sudah gila," ujar Bianca seraya menggeleng-gelengkan kepalanya setelah berhasil menghentikan tawanya.
"Boleh saya tahu, kamu siapa dan kenapa kami harus membatalkan pernikahan Seno dengan Alea. Kamu tahu bukan pernikahan mereka sisa enam hari lagi?"
Zea menahan emosinya yang siap meledak melihat Bianca menertawakannya, apa mereka menganggap permintaanya lelucon. Padahal dia lebih dari serius saat mengatakannya.
"Kalian tidak perlu tahu siapa aku, yang jelas aku ingin kalian membatalkan pernikahan Seno dengan Alea dan aku tidak perduli meskipun pernikahan mereka tersisa enam hari lagi!"
"Benar-benar gila." BIanca kembali terkekeh kecil seraya menatap Zea dengan tatapan mencemooh.
Raya berpikir sebentar lalu meminta Bianca untuk memanggil Alea dan kebetulan Alea baru saja pulang dari kampus satu jam yang lalu.
BIanca mengetuk pintu kamar Alea dengan keras sembari berteriak memanggil nama gadis itu. Aeka sedang tidak ada di rumah sehingga buana tidak perlu berpura-pura menjadi gadis yang manis.
"Alea, keluar kamu!" Pintu terbuka, menampilkan Alea dengan wajah lelahnya.
"Ada tamu di luar mencarimu!"
Dahi Alea berkerut. 'Siapa, apakah Ivy? Tapi itu tidak mungkin,' monolognya dalam hati.
"Malah ngelamun lagi, udah sana pergi!" titahnya ketus.
Alea menutup pintu kamar lalu berjalan menuju ruang tamu diikuti Bianca yang berjalan di belakang sembari bersidekap.
Sedangkan Zea tampak mengerutkan alisnya saat melihat biabc datang dengan seorang gadis yang berpenampilan lusuh meskipun wajahnya sangat cantik alami tanpa polesan make up.
"Alea duduk!" titah Raya.
Zea terkejut bukan main saat mendengar Raya memanggil gadis itu dengan nama Alea.
'Wanita seperti ini yang akan dinikahi Seno, yang benar saja?' batin Zea mencemooh dengan alis terangkat. Bukan wajah Alea yang Zea cemooh, tapi penampilan gadis itu yang seperti seorang asisten rumah tangga.
"Jadi kamu yang bernama Alea?"
Alea bergeming dan hanya memandang Zea datar, tidak mengangguk mengiyakan maupun menjawab pertanyaannya.
"Batalkan pernikahanmu dengan Seno!"
Lagi-lagi Bianca menahan tawa sedangkan Alea mengerutkan keningnya heran.
"Kau tuli? Aku ingin kau batalkan rencana pernikahanmu dengan Seno!" Nada bicara Zea naik satu oktaf karena merasa seluruh keluarga Wicaksana meremehkannya, apalagi Alea yang hanya diam memandangnya datar.
"Kenapa? Kenapa aku harus membatalkannya?" tanya Alea datar.
"Seno adalah calon suamiku, kamu tidak seharusnya menikah dengannya!"
Bianca menahan tawa yang kembali ingin menyembur keluar, tak masuk dalam logika otaknya Seno pria lumpuh dan jelek di gilai wanita cantik seperti Zea. Mungkin jika itu Seno yang dulu wajar dan ia tidak heran tapi Seno yang sekarang, dia saja menolak habis-habisan dan mengorbankan Alea sebagai gantinya, tetapi malah ada wanita yang datang ke rumahnya dengan permintaannya tak masuk akal.
Sedangkan Alea semakin tidak paham dengan wanita di depannya. "Kalau kamu memang calon istri Seno, kenapa kamu tidak meminta mereka untuk membatalkan pernikahan ini alih-alih datang ke sini?"
"Mereka tidak bisa karena kalian mengancamnya," tuding Zea pada Raya, Alea dan Bianca.
"Mengancam?" Alea memicing menatap Zea tak percaya.
"Ya, aku tidak tahu apa yang kamu pakai untuk mengancam mereka tapi kalian semua sungguh tak tahu malu. Terlebih kamu, lihatlah dirimu, kau pikir dirimu pantas bersanding dengan Seno?" Zea berujar menggebu-gebu, ketenangannya goyah.
"Aku memang tidak pantas, silahkan batalkan rencana pernikahan ini, aku dengan senang hati menerimanya. Terserah pakai cara apa asal perusahaan Wicaksana tidak terkena dampaknya!" Setelah mengatakan itu Alea beranjak dari tempat duduknya lalu pergi dari ruang tamu.
Namun, sebelum itu ia sempat berkata pada Bianca agar mengusir Zea jika keluarga Wicaksana merasa gadis itu sangat menggangu dan tidak penting.
"Sudah dengar 'kan? Rencana pernikahan ini tidak akan batal kecuali keluarga Ravindra yang membatalkan dan usahamu datang ke sini sia-sia. Jadi, pergi kamu dari sini!"
Zea mengepalkan tangannya erat.
"Tidak sebelum kalian menghubungi Eyang Elaine dan membatalkan rencana pernikahan!"
Raya memijit pelipisnya pusing dan Bianca yang tidak sabar, menarik lengan Zea dan menyeret gadis itu keluar rumah.
"Aakkhh." Zea sembari memekik karena Bianca mendorongnya dengan kasar.
"Pergi dari sini dan pergilah ke rumah keluarga Ravindra. Silahkan mengemis di sana!" Bianca berjalan melewati Zea yang tengah menatapnya sengit, tapi Bianca tidak peduli dia tetap melanjutkan langkahnya menuju garasi mobil.
Mengendara mobil pribadinya, Bianca meninggalkan pelataran kediaman Wicaksana dan mengabaikan Zea yang masih berdiri dengan wajah merah padam di teras rumahnya.
Mengumpat dan menghentakkan kakinya kesal merasa usahanya sia-sia, Zea dengan wajah bersungut-sungut meninggalkan kediaman Wicaksana.
Menuju kediaman Kakek Ian dan berniat mengaduknya.
"Kenapa, Non?... Bibi mendengar Non Bianca tadi teriak-teriak di depan pintu kamar."
Alea meraih gelas dan menuangkan air dalam ceret ke gelas kosong lalu meneguknya.
"Ada tamu!"
"Siapa? Tumben Non Alea kedatangan tamu, teman kuliah ya, Non?" Bi Ningsih yang sedang memotong wortel untuk menu makan malam bertanya heran.
"Bukan teman, Bi. Aku juga nggak tahu dia siapa!" jawab Alea seraya meletakkan gelas bekas dia minum ke dalam wastafel.
"Nggak kenal tapi dia mencari Non Alea, ada apa emangnya, Non?" tanya Bi Ningsih penasaran.
"Dia cuma ingin aku membatalkan pernikahan dengan Seno!"
"APA?!" Bi Ningsih terbelalak kaget. "Kok bisa?"
Alea mengulum senyum lalu mendudukkan dirinya di depan Bi Ningsih.
Meraih pengupas lalu mengupas kulit kentang untuk membantu Bi Ningsih.
"Non, non Alea kok tenang-tenang aja!"
Bi Ningsih berseru gemas, bagaimana bisa Alea setenang itu di saat ada wanita lain yang ingin mengusik pernikahannya bahkan mungkin yang terparah berusaha merebut calon suaminya.
"Terus Alea harus apa, Bi?" goda Alea sembari tersenyum, tangan tak berhenti bergerak mengupas kentang.
"Ya kayak di film-film itu, Non. Pelakor harus di lawan dan diberantas!" seru Bi Ningsih menggebu-gebu.
Alea terkekeh geli. "Bibi lupa kalau aku juga tidak menginginkan pernikahan ini?"
Bi Ningsih tertegun dan gerakan tangannya memotong wortel terhenti, dia mengangkat wajahnya menatap cerita dengan pandangan merasa bersalah.
"Maaf ya, Non. Bibi lupa!" serunya tidak enak.
"Enggak apa-apa, Bi. Aku baik-baik saja, jangan lihat aku kayak gitu!" guraunya.
Bi Ningsih tersenyum, dalam hati ia berharap dengan tulus agar Alea segera mendapatkan kebahagiaan dan kemudahan dalam hidupnya. Kepahitan dan kesusahan segera pergi dari hidupnya, berganti dengan cinta dan kasih sayang yang tulus dari orang-orang di sekitarnya.
Keduanya melanjutkan ke tahap berikutnya, Bi Ningsih membuat bumbu dan Alea yang memotong kentang yang sudah ia kupas.
Alea sudah terbiasa membantu Bi Ningsih memasak, bumbu dan masakan rumahan sudah ia hafal diluar kepala dan jika Bi Ningsih sakit atau tidak enak badan, Alea lah yang menggantikannya memasak untuk seluruh anggota keluarga Wicaksana.
Menjelang petang, Alea dan Bi Ningsih sudah selesai memasak. Alea bertugas menghidangkan menu yang sudah dipindahkan oleh Bi Ningsih dari wajan ke dalam wadah lalu membawa sekaligus menatanya di meja makan.
"Non ke kamar gih mandi. Enggak baik anak gadis mandi malam-malam!"
Alea mengangguk sembari tersenyum, lalu pergi ke kamarnya melewati ruangan-ruangan yang masih tampak sepi. Entah dimana keberadaan semua orang alea tidak peduli.
***
"Bagaimana, Ilyas?"
"Postingan itu sudah di hapus, Nyonya dan semua yang berkaitan dengan berita pernikahan Tuan Seno di take down!"
"Ceroboh!" hardik Eyang Elaine marah.
Ia kesal dengan pihak percetakan, bagaimana bisa undangan eksklusif yang ia pesan bisa bocor ke publik. Namun, yang lebih menyesalkannya lagi adalah orang tak bertanggung jawab yang tanpa izin mengambil gambar lalu dengan seenaknya mengirimkannya ke akun gosip untuk disebarluaskan yang padahal itu bukanlah wewenangnya.
"Kamu sudah mengirim peringatan pada pemilik akun, Ilyas?"
"Sudah, Nyonya. Namun, mereka beralasan bukan merekalah yang mengambil foto itu, mereka hanya mendapat kiriman dari akun anonim!"
Eyang mendengus sebal. "Sama saja, lalu kamu sudah melacak identitas pengirim foto ?"
"Sudah, Nyonya. Kami sudah menyewa seseorang untuk melakukannya!"
Eyang masih tidak puas. Karena rencana pernikahan Seno yang tersebar membuat mereka semua pindah ke tempat ini, menghindari Kakek Ian yang mungkin sekarang sudah tahu.
"Lalu bagaimana kondisi di rumah utama sekarang?"
"Kediaman utama aman, Nyonya. Hanya ada satu atau dua wartawan yang datang ke sana. Namun, satu hal lagi yang sesuai dugaan, Tuan Ian dan Nona Zea mendatangi kediaman utama Ravindra dan mereka menunggu kurang lebih satu jam lamanya."
Eyang menghembuskan nafas kasar. "Mereka pasti akan mencari kita untuk mengkonfirmasi kebenaran berita."
"Nona Zea juga mendatangi kediaman Wicaksana, tapi saya tidak tahu apa yang dilakukan dan dikatakan nona Zea karena kita tidak punya mata-mata di sana."
Seno dan Paman Emir yang semula bersantai sembari bermain ponsel dan tampak acuh mengangkat wajahnya bersaman mendengar ucapan terakhir Heri.
Eyang Elaine pun tampak terkejut.
"Apa kamu bilang?" tanya Seno.
"Nona Zea mendatangi kediaman Wicaksana" terang Ilyas.
Ekspresi Seno berubah muram. "Jemput Alea dan bawa dia ke hotel!" titahnya.
"Kamu mau apa, Seno?" tanya Paman Emir.
"Menyembunyikannya!" jawab Seno tegas. "Paman tahu kakek Ian dan Zea sudah tahu tentang kabar ini, bahkan Zea sudah mendatangi kediaman Wicaksana. Apa Paman pikir Kakek Ian akan diam saja dan membiarkan pernikahan ini berjalan dengan lancar, sedangkan kakek Ian sangat ingin aku menikah dengan cucunya?"
"Seno benar, lebih baik kita membawa Alea ke sini. Itu lebih aman untuknya!" Eyang Elaine berujar setuju.
Paman Emir manggut-manggut mengerti. "Kakek Juan memang menyebalkan, dia sudah seperti hama pengganggu tanaman!" gerutunya.
"Ilyas, kirim orang untuk menjemput Alea dan beritahu anggota keluarga Wicaksana yang lain supaya mereka tidak mempersulit kepergian Jelita!" titah Eyang Elaine.
Ilyas mengangguk lalu pergi dari sana.
"Eyang akan memberitahu Alea supaya dia nggak takut kalau tiba-tiba ada orang asing yang datang menjemputnya!" Eyang Elaine menyalakan ponselnya dan mencoba menghubungkan gadis itu.
Namun, hingga dering ketiga dan panggilan berulang yang Eyang lakukan tetap tidak kunjung mendapat jawaban.
"Sepertinya Alea nggak lagi pegang ponsel. Mungkin Eyang kirim pesan teks saja, jadi nanti saat Alea buka ponsel pesan Eyang langsung terbaca."
Seno dan Paman Emir mengangguk setuju.
Eyang Elaine juga mulai menghubungi salon kecantikan yang sudah dipesan sebagai tempat Alea melakukan perawatan sebelum menikah. Mereka diminta datang lebih cepat dari waktu yang seharusnya.
Dua orang pria yang berada dalam satu mobil hitam yang ditugaskan Ilyas, tiba di luar gerbang kediaman Wicaksana karena satpam menahan mereka yang hendak masuk.
"Tolong tunjukkan identitas dan keperluan apa kalian ke sini?"
"Saya hanya ditugaskan untuk menjemput Nona Alea oleh Tuan Seno!"
"Tuan Seno?"
"Senopati Jayendra Ravindra!"
"Oh, tunggu di sini!" Mang Darjo berlari masuk ke dalam rumah, takut jika dua orang diluar sana hanyalah seorang pembohong yang memiliki niat buruk. Kita tidak bisa percaya begitu saja pada orang asing karena sekarang banyak sekali tindak kriminal dengan berbagai modus.
"Ada apa, Mang?" Arkac yang sedang menikmati kopi di ruang tamu bertanya pada satpam rumahnya.
"Itu, Den. Diluar ada dua pria yang mengaku sebagai utusan Tuan Seno untuk menjemput Nona Alea!"
Arka mengangguk. "Kamu panggil dia di dalam!"
Mang Darjo masuk ke dalam rumah mencari keberadaan Bi Ningsih atau Sella, berniat meminta bantuan kepada salah satu dari dua wanita itu untuk memberitahu Alea.
"Nah kebetulan, Sih!"
Bi Ningsih menoleh. "Mang Darjo, ada apa?"
"Tolong panggilin Non Alea. Diluar gerbang udah ada yang nunggu!"
"Siapa? Bukan perempuan aneh yang tadi kan?" tanya Bi Ningsih.
"Bukan, yang ini laki-laki! Udah nggak usah banyak tanya lagi, cepet panggilin aja Non Alea kasihan mereka udah nunggu di luar!" Mang Darjo lalu berbalik dan kembali ke pos satpam memberitahu dua pria tersebut untuk menunggu.
Bi Ningsih meletakkan barang bawaannya berupa keranjang berisi baju kotor dari kamar Bianca di depan pintu kamar Alea. Ia mengetuk pintunya hingga Alea keluar.
"Ada apa, Bi?" tanya Alea dengan rambut yang masih basah, sepertinya gadis itu baru saja mandi.