**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sikap dingin mentari
Mentari berjalan menyusuri kafe dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya. Wajahnya terlihat cemberut, dan matanya tidak lagi berbinar seperti biasanya. Kayla, yang sedang membersihkan meja di sudut kafe, melihat perubahan itu dan merasa kebingungan. Mentari, bosnya yang selama ini sangat ramah dan penuh senyum, kini seperti menghindar darinya. Setiap kali mereka bertemu di ruang kafe, Mentari hanya memberikan anggukan kecil dan tidak lagi menyapanya dengan hangat seperti dulu.
Hari itu, Kayla kembali merasakan hal yang sama. Mentari melintas begitu saja di dekatnya tanpa berkata sepatah kata pun. Hati Kayla terasa seperti tertusuk, tetapi dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia sudah mencoba mencari tahu, bertanya kepada teman-temannya, namun tak ada yang tahu alasan pasti perubahan sikap Mentari yang mendalam ini.
Kayla duduk di meja kecil di dekat jendela, menatap kosong ke luar, berpikir keras. Apa yang telah ia lakukan? Setiap hari, ia berusaha bekerja dengan baik, selalu membantu Mentari dan rekan-rekannya di kafe. Ia tidak pernah merasa ada kesalahan besar yang ia perbuat. Tetapi, mengapa Mentari tiba-tiba begitu dingin?
Beberapa hari yang lalu, Mentari masih menyapanya dengan ramah dan terkadang bahkan bercanda. Mereka berbicara tentang hal-hal kecil, bahkan saling berbagi cerita tentang kehidupan. Namun, sejak beberapa hari terakhir, Mentari seolah menghindar. Tidak ada senyum hangat yang biasa ia terima, tidak ada sapaan yang penuh perhatian. Segalanya terasa jauh lebih dingin.
Suasana di kafe itu terasa berat, seolah ada ketegangan yang mengambang di udara. Mentari, yang biasanya selalu ceria dan penuh perhatian, kali ini hanya duduk di belakang meja kasir dengan wajah datar. Matanya sesekali menyapu seluruh ruangan, namun setiap kali pandangannya beralih ke arah Kayla dan Arga yang sedang berbicara, ada sesuatu yang tampak berbeda.
Kayla sedang tertawa ringan mendengarkan cerita Arga, yang datang menjemputnya setelah jam kerja. Mereka berbicara dengan santai, dan bagi Kayla, kehadiran Arga seolah memberikan kehangatan setelah hari yang melelahkan. Namun, ketika Kayla melihat ke arah bosnya, dia melihat sesuatu yang tidak biasa. Mentari sedang menatap mereka dengan mata yang dingin dan tajam, seolah tidak senang melihat kedekatan mereka. Ada kerutan di dahinya, dan meskipun berusaha menutupi perasaan itu, Kayla bisa merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka.
Mentari yang menyaksikan interaksi antara Kayla dan Arga tidak bisa menahan perasaan cemburunya. Arga—pria yang dulu begitu berarti baginya—sekarang sering berada di dekat Kayla, bahkan menjemputnya pulang. Hal itu seolah membangkitkan kembali kenangan lama yang belum sepenuhnya ia lupakan. Mentari merasa cemas, bahkan marah pada dirinya sendiri. Bukankah dia sudah memiliki keluarga? Kenapa perasaan ini muncul kembali? Melihat Arga tersenyum dan berbicara dengan Kayla membuatnya merasa kehilangan, seolah ada sesuatu yang melampaui batas.
Tanpa sengaja, pandangan Kayla bertemu dengan mata Mentari yang tajam. Ada keheningan yang tiba-tiba mengisi ruang di antara mereka. Kayla merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, dan meskipun hanya sekejap, tatapan itu seolah menembusnya, penuh dengan ketidaknyamanan yang begitu nyata. Mentari langsung mengalihkan pandangannya, seolah berusaha menghindari Kayla, dan kemudian dengan langkah cepat, dia berbalik pergi menuju ruang belakang kafe.
Kayla berdiri terpaku sejenak, mencerna apa yang baru saja terjadi. Senyumnya yang sempat menghiasi wajahnya saat berbicara dengan Arga perlahan memudar. Perasaan bingung dan cemas muncul begitu saja. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak ia mengerti. Kenapa bosnya tiba-tiba bertindak seperti itu? Apakah dia melakukan sesuatu yang salah? Kayla tidak tahu, dan itu membuat hatinya terasa semakin berat.
Kayla duduk sendirian di kamarnya, memandang kosong ke luar jendela. Pikiran-pikirannya berputar, mencoba mencerna semua yang terjadi hari itu. Ia tidak bisa menepis perasaan bingung yang terus menghantuinya. Mentari—bosnya yang biasanya ramah dan penuh perhatian—tiba-tiba saja berubah. Kenapa? Apa yang telah ia lakukan hingga membuat bosnya tampak cemas dan cemburu?
"Apa benar... Mentari cemburu?" pikir Kayla dalam hati. "Tapi, kenapa? Aku tidak pernah melakukan apapun yang bisa membuatnya merasa seperti itu... kan?"
Ia teringat bagaimana tadi Mentari hanya memandang mereka dengan tatapan dingin saat Arga datang menemuinya di kafe. Bahkan, saat pandangan mereka bertemu, Mentari langsung mengalihkan matanya dan pergi begitu saja tanpa sepatah kata. Itu bukanlah hal yang biasa dilakukan oleh Mentari. Biasanya, bosnya itu akan mengajak Kayla berbicara, menyapanya dengan hangat, tetapi kali ini... semuanya berbeda.
"Apa mungkin dia merasa terganggu dengan kehadiranku dan Arga?" Kayla berbisik pelan kepada dirinya sendiri. "Tapi, bukankah aku hanya melakukan apa yang biasa aku lakukan? Hanya berbicara dengan Arga, tanpa ada niat lebih dari itu..."
Namun, di sudut hati Kayla, ada rasa tidak nyaman yang perlahan tumbuh. Perasaan itu semakin jelas setiap kali ia mengingat tatapan dingin Mentari yang penuh dengan ketidakpuasan, yang seolah-olah menyiratkan sesuatu lebih dalam. "Mungkin aku salah paham," gumam Kayla. "Mungkin aku terlalu berpikir terlalu jauh."
Kayla mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak mungkin menjadi penyebab masalah ini. Namun, hatinya tetap merasa ada sesuatu yang mengganjal. Mengapa Mentari harus berubah seperti itu? Kenapa dia merasa seperti ada jarak yang terbentuk antara mereka?
"Jika benar dia cemburu, kenapa? Bukankah dia sudah punya Wijaya? Mereka punya keluarga, anak... Kenapa dia harus merasa seperti itu hanya karena aku dan Arga berbicara?" Kayla mulai berbicara lebih keras pada dirinya sendiri, kebingungannya semakin memuncak.
Ia menutup matanya sejenak, menghirup napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. "Aku hanya bekerja di sini, tidak lebih dari itu. Aku tidak ingin menyakiti siapapun, apalagi bosku. Tapi, jika memang ada yang salah, aku harus tahu. Aku tidak bisa membiarkan hubungan kami jadi canggung karena kebingunganku ini."
Dengan perasaan campur aduk, Kayla akhirnya memutuskan untuk tidur, berharap esok hari ia bisa melihat semuanya dengan lebih jelas. Ia tahu bahwa jawabannya hanya bisa datang jika ia berbicara langsung dengan Mentari. Tapi, di saat yang sama, ia merasa takut, takut jika ternyata ada sesuatu yang lebih besar dari yang ia duga, yang bahkan mungkin lebih rumit dari sekadar cemburu.
Keesokan harinya, suasana kafe terasa lebih sepi dari biasanya. Kayla sibuk dengan pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang ke peristiwa kemarin. Setiap kali wajah Mentari terlintas dalam pikirannya, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Hubungan antara dirinya, Arga, dan Mentari semakin rumit. Hari itu, ketika Arga datang menjemputnya pulang, Kayla memutuskan untuk bertanya langsung.
Saat Arga melangkah masuk ke kafe, senyumnya langsung menyapa Kayla, seperti biasa. Namun, Kayla bisa merasakan ada yang berbeda dalam sikapnya. Kayla merasa perasaan cemas dan bingung yang sudah menumpuk harus diungkapkan, dan akhirnya ia tidak bisa menahannya lagi.
"Arga," suara Kayla terdengar agak ragu. "Boleh aku tanya sesuatu?"
Arga berhenti sejenak, menatap Kayla dengan penuh perhatian. "Tentu, ada apa?"
Kayla menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku... aku cuma ingin tahu," katanya pelan, "Apa hubunganmu dengan Mentari, bosku?"
Pertanyaan itu seolah mengguncang Arga. Dia terpaku sejenak, wajahnya menunjukkan kejutan yang jelas. "Kenapa tiba-tiba kau bertanya tentang itu?" tanya Arga, matanya mulai menunjukkan sedikit kebingungan.
Kayla menggigit bibirnya, menunduk sejenak sebelum melanjutkan, "Aku hanya merasa ada sesuatu yang aneh. Mentari... dia tampak tidak senang setiap kali melihatmu dan aku berbicara. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ada ketegangan antara kalian."
Arga terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang, menatap Kayla dengan tatapan yang lebih serius. "Aku mengerti kenapa kamu bertanya," ujarnya dengan suara lebih rendah. "Dulu, aku memang dekat dengan Mentari. Kami pernah bersama, tapi bukan hubungan yang serius. Kami hanya teman, lebih dari itu tidak pernah."
Kayla menatapnya dengan penuh perhatian, masih mencoba memahami. "Tapi kenapa kamu pergi selama 5 tahun?" tanyanya, meski suara dalam dirinya merasa semakin bingung.
Arga mengalihkan pandangannya sebentar, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku pergi karena berbagai alasan pribadi. Aku merasa perlu untuk menjauhkan diri dari segala sesuatu di sini, dan itu termasuk dari Mentari. Setelah lima tahun, aku kembali, dan aku mendapati bahwa dia sudah menikah dengan Wijaya dan mereka punya anak."
Kayla mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna penjelasan Arga. "Jadi, tidak ada hubungan yang lebih dari sekadar teman?" tanya Kayla, memastikan.
Arga mengangguk. "Tidak ada. Kami hanya teman. Aku tahu itu mungkin tampak aneh, mengingat reaksi Mentari saat dia melihat kita berdua berbicara, tapi semuanya sudah berlalu. Dia sudah bahagia dengan keluarganya sekarang."
Kayla menghela napas lega, meski masih ada sedikit keraguan di matanya. "Aku hanya ingin mengerti. Aku tidak ingin ada ketegangan atau salah paham di antara kita."
Arga tersenyum tipis, mencoba menenangkan Kayla. "Kau tidak perlu khawatir. Aku yakin, itu hanya perasaan yang muncul karena masa lalu. Mentari sekarang sudah punya hidupnya sendiri, dan aku menghormati itu."
Kayla mengangguk pelan, meski perasaan campur aduk masih mengisi hatinya. "Terima kasih, Arga," katanya lirih, sedikit tersenyum. "Aku hanya perlu tahu lebih banyak agar tidak membuat asumsi yang salah."
Arga mengangguk, lalu mereka berdua berjalan keluar kafe. Meskipun ketegangan yang sempat ada sedikit reda, Kayla masih merasa tidak sepenuhnya bisa tenang. Semua yang Arga katakan masuk akal, namun entah kenapa, hatinya masih merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan.
semangat Thor