Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PRIA TUA PERKASA
Jingga duduk menunduk saat Langit membantunya menyisir rambut panjangnya yang masih setengah basah. Ia masih malu mengingat kejadian di kamar mandi tadi, mereka kembali mengulang kegiatan panas mereka di sana.
Langit tak bisa menahan dirinya saat melihat tubuh polos istrinya, niat hati ingin membantu perempuan itu membersihkan diri, ia justri kembali menyentuh Jingga.
Jingga pun tak mampu menolak, sepertinya ia sudah benar-benar jatuh ke dalam pesona pria tua berjanggut tebal itu. Bahkan Jingga sudah mulai jatuh cinta pada pria itu.
Suara aneh yang Langit dengar membuat tangan pria itu berhenti bergerak, ia mengerutkan dahinya, menatap Jingga dari pantulan cermin, “Jingga..” panggilnya.
Jingga mendongak, membalas tatapan Langit dari kaca cermin, “Iya mas?”
“Kamu lapar?” Tanya pria itu.
Jingga menunduk kemudian mengangguk.
“Astaga, maafkan aku. Aku lupa kalau kita belum makan malam, ini sudah larut, aku memakai baju dulu, tunggu aku sebentar lalu kita turun untuk makan malam,” ucap Langit. Asik menyentuh Jingga, ia melupakan makan malam. Dan parahnya, ia juga melupakan istrinya yang juga belum makan.
Jingga kembali mengangguk, ia merapihkan rambutnya. Lalu menunggu Langit memakai pakaiannya. Karena sejak tadi, pria itu hanya mengenakan handuk yang melilit di bagian pinggangnya saja. Sedangkan Jingga sudah lebih dulu berpakaian.
Dan baru kali ini Jingga tak menyiapkan pakaian ganti untuk Langit. Bukan ia tak mau atau ia lupa, Langit yang melarangnya. Pria itu merasa kasihan karena Jingga pasti sangat lelah, belum lagi rasa sakit yang masih Jingga keluhkan, membuat Langit tak tega dan melarang Jingga banyak bergerak.
Tak lama waktu yang Langit butuhkan untuk memakai pakaian, pria itu kembali menghampiri istrinya. Berjongkok hendak menggendong Jingga namun perempuan itu menolak.
“Tidak usah mas, aku bisa jalan,” tolaknya. Jujur, ia takut Langit tak kuat menggendongnya. Sekuat apapun dan sekekar apapun tenaga dan otot pria itu, tetap saja Langit pria yang sudah berumur. Jingga tak tega.
“Kenapa? Apa kamu fikir aku tidak kuat menggendongmu?” Tanya Langit, tatapan pria itu menelisik sekaligus mengintimidasi Jingga.
Perempuan itu diam tak bisa menjawab, karena itu memang yang ada dalam pikiran Jingga. Jingga lupa kalau Langit sangat pintar membaca jalan pikiran orang, apalagi Jingga mudah sekali di tebak, ekspresi wajahnya tak bisa membohongi.
Tanpa bertanya lagi, Langit menggendong Jingga, kali ini Jingga tak menolak. Ia takut Langit akan tersinggung karena ia menganggap pria itu sudah tua. Meski kenyataannya memang seperti itu.
“Jangan khawatir, meski pun aku sudah tua, aku juga masih mempunyai banyak tenaga. Sisa tenagaku tidak akan mudah habis, bahkan untuk menggempurmu lagi, aku masih sangat bisa.” Tegas Langit, ia menahan senyum saat Jingga memukul dadanya.
“Ish, jangan bicarakan itu,” ucap Jingga dengan pelan. Ia sangat malu, perempuan itu menyusupkan wajah merahnya di dada bidang Langit.
Langit tertawa, ia mendudukan Jingga di salah satu kursi meja makan. Pak Lim yang melihat tuan dan nyonyanya ada di ruang makan segera menghampiri.
“Tuan, biar saya panggilkan pelayan untuk menghangatkan makanan,” ucap pak Lim.
“Tidak usah pak Lim, biar aku saja,” ucap Jingga.
Tapi Langit menahannya, membuat Jingga kembali duduk lalu mendongak menatap Langit, “Kenapa mas?”
“Kamu duduk saja, jangan banyak bergerak. Biarkan pelayan yang menyiapkan semuanya,” kata Langit. Pria itu lalu menatap pak Lim, memberi isyarat pada pria itu untuk memanggil pelayan.
Jingga pun hanya bisa menurut, ia tak mau membantah suaminya.
***
beberapa pelayan berdiri di dekat meja makan. seperti biasa, mereka berjaga-jaga jika tiba-tiba Langit atau Jingga membutuhkan sesuatu.
Pak Lim dan Bu Rika pun berada disana, menemani Langit dan Jingga yang tengah makan.
Pemandangan luar biasa di meja makan membuat para pelayan tak tahan untuk bergosip ria. bagaimana tidak, baru kali ini mereka melihat Langit menyuapi seseorang, dan itu Jingga.
Benar-benar hal aneh, kali ini Langit mau melayani orang lain. biasanya pria itu lah yang di layani, tapi malam ini pria itu benar-benar menciptakan rekor dalam hidupnya.
Jingga sempat menolak, ia malu oleh para pelayan. Tapi Langit memaksa. Ia juga tak mau di bantah, akhirnya Jingga menurut.
"Suka?" tanya Langit, ia senang Jingga makan dengan lahap.
Jingga mengangguk beberapa kali, entah karena ia sangat lapar, atau karena makanan itu memang lezat, Jingga sangat lahap.
Langit menyuapi makanan ke mulutnya sendiri, lalu pada Jingga. Seperti itu seterusnya sampai makanan di atas piring mereka tandas tak tersisa.
Malam itu, mereka sama-sama makan dengan lahap. Energi yang terkuras karena pertempuran mereka membuat mereka kelaparan.