Ajeng harus pergi dari desa untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, sebab calon suaminya harus menikahi sang sepupu karena Elis sudah hamil duluan.
Bibiknya memberi pekerjaan untuk menjadi pengasuh seorang bocah 6 tahun dari keluarga kaya raya di Jakarta.
Ajeng iya iya saja, tidak tahu jika dia adalah pengasuh ke 100 dari bocah licik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - Begitu Kecil
"Kok diem aja, ayo dimakan. Nanti keburu dingin lo," ucap Ajeng, dia pun menarik salah satu kursi yang ada di sana dan duduk di samping Sean.
Ajeng ambil 1 bakso tusuk itu dan menyerahkannya pada sang anak asuh.
"Aku sudah gosok gigi, tidak mau makan lagi," balas Sean akhirnya, dia bahkan langsung memalingkan wajah dan kembali menatap ke arah meja, disana bukan buku dongeng yang sedang dia lihat, Sean sedang memainkan sebuah rubik. Kedua tangannya bergerak dengan asal, memang tidak berniat membuat rubik itu jadi 1 warna.
Sean itu pun tidak membahas tentang kejadian siang tadi saat dia meninggalkan Ajeng. Tidak pula ada kata permintaan maaf.
"Benar tidak mau?" tanya Ajeng.
Sean hanya diam. Fokusnya hanya pada Rubik.
"Benar tidak mau?" tanya Ajeng sekali lagi, dan mendapati Sean yang betah diam, dia jadi bicara sendiri terus ...
"Ya sudah, berarti mbak Ajeng yang makan ya? kan mubazir kalau di buang, nanti bisa kualat. Jadi nggak bisa beli makanan dan kelaparan seumur hidup, hii, mengerikan," tutur Ajeng panjang lebar. Dia bahkan bergidik ngeri, ingat buku tentang siksa kubur yang pernah dia baca saat kecil.
Macam-macam pembalasan untuk orang-orang yang berbuat Zalim di bumi.
Ajeng lantas mengambil piring bakso itu dan di pangkunya, dia ambil 1 tusuk dan mulai dimakan ...
"Emm enak ya, pantesan harganya mahal. Masa 1 tusuk 5 ribu, isinya saja cuma 3,"
"Kalau di desa mbak Ajeng bakso tusuk gini cuma seribuan, isinya 4 bakso,"
"Emm, tapi ini enak banget lo Sen, kamu beneran nggak mau?"
Sean akhirnya menoleh ke arah mbak Ajeng, air liurnya sudah terlalu penuh di mulut.
"Nih," Ajeng kembali menyerahkan bakso tusuk itu, tapi bukan di tangan Sean melainkan langsung ke arah mulutnya.
"A," akhirnya Sean pun memakan bakso tusuk itu.
Awalnya canggung, namun kemudian mereka berdua sama-sama menikmati.
Sampai tidak sadar jika Reza memperhatikan di ambang pintu.
Ajeng dan Sean memunggungi arah pintu itu, sementara Ajeng tadi tidak menutup pintunya.
Reza cukup merasa menghangat hatinya ketika melihat pemandangan tersebut.
Dia adalah pria dingin yang tak pandai mengungkapkan isi hati, sulit untuk memilih kata yang tepat dan menjelaskan pada sang anak tentang perceraian ini. Dia bingung bagaimana mengatakannya. Karena itulah selalu berakhir diam.
Reza tahu jika Sean marah kepadanya, lalu melampiaskan semua itu pada orang sekitar.
Tapi mau bagaimana lagi, hubungannya dengan Monalisa memang tak bisa lagi di pertahankan.
Sebelum Sean atau pun Ajeng menyadari keberadaannya, Reza pergi dari sana, mundur perlahan lalu berjalan masuk ke dalam kamar.
Pagi datang.
Apa yang terjadi kemarin seperti mimpi saja, saat pagi ini Ajeng membuka matanya tak ada lagi yang dia ingat tentang kemarin. Ajeng hanya ingat tentang semua tugas-tugasnya yang harus di kerjakan.
Membuat bekal untuk Sean, menyusunnya rapi di dalam kotak bekal, bahkan sampai membuat gambar animasi.
Lalu berjalan cepat naik ke lantai 2 dan membangunkan sang anak asuh. Menunggu Sean mandi di depan pintu sambil terus bicara memberi instruksi ...
"Gosok gigi yang benar! buka mulut mu A, lalu ii. Kumur yang kuat, lepeh,"
"Jangan cuma perut yang di gosok! kaki, ketiak, paha, semuanya harus rata!"
"Berisik Mbak!" balas Sean akhirnya, cukup lama dia menahan diri dalam kesal.
"Salah siapa mbak Ajeng nggak boleh masuk!" "Sudah! jangan lama, pakai handuk dan keluar!!"
"Ya ampun Jeng, suara mu sampai terdengar ke kamar ku," ucap Reza, dia datang karena suara berisik Ajeng. Kamar Reza memang yang paling dekat dengan milik Sean.
Dan suara keras Ajeng itu sangat menganggunya.
"Maaf Pa, aku tidak sengaja," Ajeng memelas, merasa bersalah, dia bahkan langsung menunduk tidak berani menatap.
Tapi panggilan Pa yang keluar dari mulut Ajeng entah kenapa seperti mengganggu pendengaran Reza.
Seolah di hadapannya ini bukanlah pengasuh Sean, melainkan anak perempuannya.
Huh! kenapa pula gadis ini begitu kecil. Gerutu Reza.