Park Eun-mi, seorang gadis Korea-Indonesia dari keluarga kaya harus menjalani banyak kencan buta karena keinginan keluarganya. Meski demikian tak satupun calon yang sesuai dengan keinginannya.
Rayyan, sahabat sekaligus partner kerjanya di sebuah bakery shop menyabotase kencan buta Eun-mi berikutnya agar menjadi yang terakhir tanpa sepengetahuan Eun-mi. Itu dia lakukan agar dia juga bisa segera menikah.
Bagaimana perjalanan kisah mereka? Apakah Rayyan berhasil membantu Eun-mi, atau ternyata ada rahasia di antara keduanya yang akhirnya membuat mereka terlibat konflik?
Yuk! Simak di novel ini, Kencan Buta Terakhir. Selamat membaca.. 🤓
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 8
"Ada apa denganmu?", tanya Park Ha-joon, adik bungsu ayah Eun-mi.
Eun-mi hanya menatapnya sebentar, kemudian menunduk.
"Apa Ha-na memarahimu lagi?", Ha-joon kemudian ikut duduk di sofa di samping Eun-mi.
Tak perlu jawaban, Ha-joon sebenarnya sudah tahu. Dia mendengar sendiri Ha-na membentak Eun-mi saat ia melintas di depan kamar Eun-mi.
Eun-mi akhirnya hanya bisa menangis tertahan dalam pelukan Ha-joon. Di keluarga ini hanya pamannya yang membela dirinya. Sementara kakeknya, terlalu erat memegang tradisi keluarga. Sedangkan sisanya, entahlah.. Eun-mi merasa kalau dia mengalami diskriminasi karena memiliki darah campuran dan keyakinan yang berbeda dengan mereka.
"Sebenarnya paman berharap kau bisa tinggal bersama ibumu saja. Di sini terlalu berat untukmu, mereka terlalu menekan mu. Ya.. bukan hanya kau saja, aku dan keluargaku sendiri terkadang juga merasakan tekanan itu. Tapi tentu saja tak sebesar yang kau rasakan", ucap Ha-joon iba seraya mengelus kepala Eun-mi.
"Paman, apakah aku memang tak boleh mencari sendiri calon suamiku? Bukankah aku yang akan menjalaninya, bagaimana kalau nanti aku tak bahagia?", Eun-mi menghapus air matanya dengan telapak tangan.
Ha-joon hanya terkekeh.
"Aku dulu juga pernah berpikir begitu. Kau tahu kalau aku dan bibimu juga menikah lewat perjodohan kan? Padahal aku sudah punya kekasih yang sayangnya tak bisa diterima oleh keluarga ini. Susah payah kami berdua menjalani awal pernikahan kami. Untungnya bibimu adalah orang yang benar-benar sabar atas semua kelakuan burukku. Dan kini aku menyadari kalau dia memang orang yang tepat untukku", ucap Ha-joon dengan tatapan haru.
"Dan aku berharap, perjodohan ini akan mempertemukanmu dengan orang yang tepat, meskipun mungkin awalnya hatimu menolak", sambungnya sungguh-sungguh.
Eun-mi terdiam. Karena permasalahan yang dihadapinya bukan hanya masalah kecocokan, tapi juga keyakinan.
Tapi ia tak ingin mendebat itu dengan Ha-joon. Ia cukup senang karena Ha-joon sudah berusaha memberikan dukungan padanya.
*********
Rayyan baru saja menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Bahkan dia juga sudah selesai memanggang salah satu resep barunya. Mereka akan memberikan sampel gratisnya pada pelanggan hari ini.
"Gimana menurut kamu?", tanya Rayyan setelah Eun-mi menggigit potongan roti itu.
"Hmm.. enak, menurutku ini akan berhasil. Kita tinggal tunggu komentar pelanggan hari ini. Tapi aku yakin kok mereka juga setuju sama aku", sahut Eun-mi yang kemudian meletakkan sisa potongan yang digigitnya tadi kembali ke piring.
Rayyan melengos melihatnya.
"Kalau gak kenal baik sama kamu, orang pasti mikirnya kamu tadi bohong. Bilangnya aja enak, tapi makannya secuil gitu", protes Rayyan.
Eun-mi hanya tersenyum geli.
"Untung kamu kenal baik sama aku ya Ray. Jadi sudah ngerti banget kalo aku itu lebih doyan kue pancong sama lemper ketimbang roti", sahutnya.
"Aku benar-benar gak ngerti sama kamu. Kalo memang gak suka roti sama cake, terus kenapa kamu malah buka toko bakery?", pertanyaan yang selama ini hanya ada di pikiran Rayyan, akhirnya keluar juga.
"Ck, kamu itu kayaknya memang gak ngerti urusan bisnis sama sekali. Tahunya cuma bisa bikin roti sama cake enak. Kamu kira paman Ha-joon punya retail pakaian dalam wanita karena dia juga suka pake?", Eun-mi mencoba memberi pencerahan pada Rayyan.
"Ya mana kutahu?", jawab Rayyan asal.
Eun-mi melotot mendengarnya, kemudian mendengus kesal.
"Aku melihat kalau peluang bisnis di bidang ini cukup menjanjikan. Dan kebetulan sekali, aku punya teman seorang chef pastry. Bukannya sayang kalau gak dimanfaatkan?", ucap Eun-mi, sengaja untuk membalas Rayyan.
Dan itu berhasil, dilihat dari ekspresi kesal di wajah Rayyan.
"Ya! Kamu memang jago memanfaatkan teman. Makanya sekarang aku jadi terjebak di negeri antah berantah ini gara-gara kamu", sahut Rayyan seraya mengambil piring roti kemudian keluar dari ruangan Eun-mi.
Eun-mi tersenyum puas melihat tingkah kesal Rayyan. Sesaat kemudian dia terdiam saat memikirkan kembali perkataan Rayyan tadi.
*******
"Baiklah, aku setuju"
Begitu isi pesan dari In-ho yang masuk ke ponsel Rayyan.
Rayyan serta merta tersenyum cerah. Langkah pertama dari misinya kini sudah berhasil.
"Aku ingin kita bertemu. Aku akan mengabarimu kapan waktunya. Segera"
Pesan kedua In-ho langsung menyusul.
Setelah membalas dengan emoji jempol ke atas, Rayyan kemudian melangkah ke pintu ruangan Eun-mi.
"Aku ijin keluar sebentar", ucapnya sambil mencondongkan separuh tubuhnya di ambang pintu.
"Oke. Tolong sekalian bilang ke Asna, kalau ada yang nyari aku, suruh langsung ke sini aja", pintanya, namun matanya tetap pada laptop dan setumpuk berkas di mejanya.
Kelihatannya dia benar-benar sibuk. Tapi Rayyan tak bisa membantu, dia benar-benar tak paham dengan urusan seperti itu.
Setelah menyampaikan pesan Eun-mi Rayyan kemudian menaiki skuternya untuk menemui Salman. Ia bermaksud memberitahu kesiapan In-ho dan mendiskusikan langkah yang akan mereka ambil setelah ini.
Saat memasuki minimarket, Rayyan kembali dikejutkan dengan keberadaan Wina. Rayyan sudah mengeluh dalam hati saat Wina menyapanya.
"Hai, ketemu lagi..", sapanya dengan senyum ramah, tapi anehnya Rayyan tetap merasa risih.
Rayyan hanya mengangguk dan tersenyum hambar.
"Yah... sebenarnya aku pengen ngobrol sama kamu, tapi sayangnya aku ada perlu jadinya harus buru-buru. Kita ngobrol lain waktu, oke?", ucapnya seraya menuju ke luar minimarket.
Rayyan menghela nafas lega. Paling tidak, hari ini dia tidak perlu berurusan dengan Wina.