Elena adalah agen rahasia yang sedang menjalankan misi untuk mengambil informasi pribadi dari kediaman Mafia ternama bernama Luca Francesco Rossi. Saat menjalankan misi Elana terjebak dan menjadi tawanan beberapa hari.
Menyamar sebagai wanita panggilan, setelah tidur bersama pria yang menjadi mafia berbahaya itu, Elena menyelinap dan berhasil mendapatkan informasi penting yang akan menghancurkan setengah kekuatan milik Luca.
Dan itulah awal dari kisah Luca yang akan memburu dan ingin membalas dendam pada Elana yang menipunya. Disisi lain Elena yang bekerja menjadi agen rahasia berusaha menyembunyikan putri kecil rahasianya dengan mafia kejam itu.
Sampai 4 tahun berlalu, Luca berhasil menemukannya dan berniat membunuh Elena. Dia tidak mengetahui tentang putri rahasianya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dadeulmian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Elena sedang duduk di sofa ruang tamu, menikmati secangkir teh hangat, ketika pintu besar di depannya terbuka lebar. Luca masuk dengan langkah mantap, ditemani Fiona yang berseri-seri seperti baru memenangkan lotre.
“Kenapa kamu terlihat seperti baru saja merencanakan sesuatu yang jahat?” tanya Elena langsung pada Fiona, merasa firasat buruk mulai menguasai hatinya.
“Oh, ini bukan sesuatu yang jahat,” jawab Fiona ceria sambil duduk di samping Elena. “Ini adalah langkah besar untuk masa depan kalian!”
Luca duduk di kursi di seberang mereka, menatap Elena dengan wajah serius. “Kita akan menikah.”
Elena hampir tersedak tehnya. “Maaf, apa?”
“Kita akan menikah,” ulang Luca tanpa ekspresi, seolah itu adalah perintah biasa.
Elena menatapnya dengan mata melotot. “Apa kamu sudah gila? Aku tidak setuju dengan ini!”
“Sayangnya, ini bukan pilihan,” jawab Luca tenang. “Ini adalah solusi terbaik untuk situasi kita.”
“SITUASI APA?!” Elena berdiri dengan marah, cangkir tehnya bergetar di tangannya.
Fiona memegang tangannya, mencoba menenangkan. “Sayang, tenang dulu. Dengarkan aku. Ini semua demi kebaikan Sophia. Pernikahan ini akan membuatnya memiliki keluarga yang stabil.”
Elena menoleh tajam ke arah Fiona. “Keluarga stabil? Pernikahan paksa bukan cara untuk menciptakan keluarga stabil!”
Luca menghela napas panjang, lalu berdiri. “Dengar, Elena. Jika kita menikah, tidak ada yang bisa memisahkan Sophia dari kita. Kamu tahu, aku memiliki musuh di luar sana yang tidak akan segan-segan menggunakan Sophia untuk menyerangku. Pernikahan ini akan memastikan dia aman.”
Elena membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada logika dalam kata-kata Luca. Tapi itu tidak berarti ia menyukai ide tersebut.
“Dan kamu pikir aku hanya akan menurut?” tanya Elena tajam.
“Kamu tidak punya pilihan,” jawab Luca datar, lalu menoleh pada Fiona. “Ibu, siapkan semuanya. Aku ingin pernikahan ini selesai dalam seminggu.”
“Dengan senang hati!” Fiona melompat dengan antusias, lalu keluar dari ruangan sebelum Elena sempat membalas.
Elena menatap Luca dengan marah. “Kamu tidak bisa memaksaku!”
Luca mendekatinya, berdiri hanya beberapa inci dari wajahnya. “Aku tidak memaksamu, Elena. Aku hanya memastikan Sophia memiliki masa depan yang aman. Kamu bisa berpikir ini sebagai perjanjian bisnis.”
“Bisnis?” Elena tertawa sinis. “Kamu benar-benar pria tanpa hati.”
“Dan kamu adalah wanita keras kepala yang tidak tahu kapan harus menyerah,” balas Luca, nadanya dingin.
Mereka saling menatap dengan intens, sebelum suara kecil memecah suasana.
“Mommy, Om jelek, kenapa kalian berantem?”
Sophia berdiri di ambang pintu, memegang boneka beruangnya. Ia memandang mereka dengan wajah bingung.
Elena menghela napas panjang dan berjongkok, membuka tangannya untuk Sophia. “Kami tidak berantem, Sayang. Mommy dan Daddy hanya sedang berbicara.”
Sophia mendekat, lalu menatap Luca dengan mata curiga. “Om jelek kenapa bikin Mommy marah lagi?”
Luca mendesah panjang, memijat pelipisnya. “Sophia, Daddy tidak sedang membuat Mommy marah.”
“Kalau gitu, Daddy harus minta maaf sama Mommy,” jawab Sophia polos.
Luca dan Elena saling bertukar pandang. Situasi ini terlalu absurd untuk diperdebatkan lebih jauh.
“Elena,” kata Luca akhirnya, “kamu punya satu minggu untuk menerima kenyataan ini. Pernikahan akan tetap terjadi.”
Setelah mengatakan itu, Luca berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Elena yang frustrasi dan Sophia yang sibuk bermain dengan bonekanya.
ΩΩΩ
Beberapa Hari Kemudian
Hari pernikahan semakin dekat, dan Elena merasa seperti seorang tahanan. Ia bahkan tidak diberi pilihan gaun pengantin karena Fiona yang mengurus semuanya.
“Tenang saja, sayang. Kamu akan terlihat seperti bintang dalam gaun ini!” kata Fiona ceria sambil memamerkan gaun putih yang megah.
Elena hanya mendengus. “Aku lebih suka memakai seragam FBI-ku.”
Fiona tertawa, tidak menganggapnya serius. “Jangan konyol. Kamu adalah pengantin sekarang. Hari ini kamu seorang putri kerajaan, tidak. Kamu seorang ratu sekarang. Ini hari yang spesial!”
Elena tidak merasa seperti itu. Ia memandang dirinya di cermin, mengenakan gaun yang terlalu mewah untuk seleranya. Di belakangnya, Sophia berlari-lari kecil sambil membawa kelopak bunga yang akan ia tabur di acara nanti.
“Mommy, Pia jadi pembawa bunga!” seru Sophia dengan bangga.
Elena berbalik dan tersenyum tipis pada putrinya. “Kamu pasti jadi pembawa bunga terbaik.”
Sophia tertawa riang, lalu kembali berlari keluar ruangan.
Elena memandang Fiona dengan pandangan serius. “Apa kamu benar-benar yakin ini ide bagus?”
Fiona mengangguk mantap. “Percayalah padaku, ini adalah awal yang indah untuk keluarga kalian.”
Elena menghela napas panjang. Ia tidak yakin tentang itu. Tapi ia tahu bahwa demi Sophia, ia harus bertahan.
Di sisi lain mansion, Luca berdiri di depan cermin, mengenakan tuksedo hitam yang sempurna. Asistennya, Kevin, berdiri di belakangnya dengan senyum kecil.
“Bos, kamu terlihat seperti pangeran,” goda Kevin.
Luca memelototinya. “Diam.”
Namun, di dalam hatinya, Luca tidak bisa menyangkal bahwa hari ini adalah hari yang penting—meskipun ia tidak akan pernah mengakuinya.
—
Hari yang ditakuti Elena akhirnya tiba. Ia berdiri di depan cermin besar di ruang ganti, mengenakan gaun pengantin putih yang terlalu megah untuk seleranya. Fiona sibuk mengatur segalanya, memastikan setiap helai kain gaun Elena jatuh sempurna.
“Kamu terlihat luar biasa, sayang,” puji Fiona sambil menepuk bahu Elena.
Elena hanya menghela napas panjang. “Aku merasa seperti ikan yang terperangkap di jaring.”
“Oh, jangan seperti itu. Hari ini akan menjadi hari yang indah!” Fiona menjawab dengan senyuman cerah, mengabaikan sarkasme Elena.
Di ruang lain, Luca sedang bersiap dengan bantuan Kevin. Tuksedo hitam yang dikenakan Luca membuatnya terlihat lebih tampan, meskipun ekspresi wajahnya tetap dingin seperti biasanya.
“Jadi, Bos,” kata Kevin sambil memperbaiki dasi Luca, “apa kamu gugup?”
Luca meliriknya tajam. “Tidak.”
Kevin tertawa kecil. “Yah, kamu tidak perlu pura-pura. Ini adalah pernikahanmu, lagipula.”
Luca tidak menjawab, tetapi ekspresi di wajahnya sedikit melunak.
Di aula besar mansion, tamu-tamu mulai berdatangan. Mereka adalah gabungan dari rekan bisnis Luca, anggota keluarga mafia, dan beberapa teman Fiona yang terlihat terlalu bersemangat.
Sophia, mengenakan gaun putih kecil dengan pita biru, sibuk berlari-lari membawa keranjang bunga. Ia tampak sangat antusias dengan perannya sebagai pembawa bunga.
“Mommy Pia cantik, kan, Om?” tanya Sophia pada salah satu tamu, seorang pria besar dengan tatapan serius.
Pria itu mengangguk dengan kikuk. “Cantik sekali.”
“Kalau gitu, Om jelek harus jadi suami baik buat Mommy,” kata Sophia dengan nada tegas, membuat pria itu tersenyum kecil sebelum berjalan menjauh.
Ketika akhirnya Elena berjalan di sepanjang lorong dengan langkah ragu, semua mata tertuju padanya. Ia merasa seperti pemandangan dalam akuarium, tetapi ia mencoba menahan diri agar tidak menunjukkan kegugupan.
Di ujung lorong, Luca berdiri menunggunya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Elena,” gumamnya pelan saat ia berdiri di sampingnya. “Kamu terlihat... lumayan baik.”
“Wow, terima kasih atas pujian yang penuh semangat itu,” balas Elena dengan sarkasme.
Pendeta memulai prosesi, membaca sumpah dengan nada serius yang sepertinya tidak sesuai dengan situasi canggung antara kedua mempelai.
“Apakah Anda, Luca Francesco Rossi, bersedia menerima Elena Maria Lombardi sebagai istri Anda?”
Luca mengangguk tanpa ragu. “Ya.”
Pendeta beralih ke Elena. “Apakah Anda, Elena Maria Lombardi, bersedia menerima Luca Francesco Rossi sebagai suami Anda?”
Elena terdiam sejenak, merasa seluruh ruangan menahan napas. Ia melirik Sophia yang berdiri di dekat Fiona, tersenyum lebar dan melambaikan tangan kecilnya.
“Ya,” jawab Elena akhirnya, meski hatinya berat.
Pendeta mengumumkan mereka sebagai pasangan suami istri, dan semua tamu bertepuk tangan. Fiona bersorak seperti seorang gadis remaja di konser.
“Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, saya persembahkan Tuan dan Nyonya Rossi!”
ΩΩΩ
Selama resepsi, Elena duduk di samping Luca di meja utama, merasa canggung di antara para tamu yang terus-menerus mengucapkan selamat. Sophia, di sisi lain, berlari-lari di sekitar aula, menikmati perhatian semua orang.
“Elena,” kata Luca tiba-tiba, membuatnya terkejut.
“Apa?”
“Kamu tidak perlu terlalu tegang. Ini hanya pernikahan, bukan misi rahasia.”
Elena meliriknya dengan sinis. “Mudah bagimu untuk berkata begitu. Aku tidak terbiasa dengan... semua ini.”
“Kalau begitu, biasakan dirimu,” jawab Luca dingin.
Sebelum Elena bisa membalas, Sophia mendekat dengan sebuah cupcake di tangan kecilnya. “Om jelek, Mommy, mau kue?”
Luca melirik kue itu dengan ekspresi skeptis. “Dari mana kamu mendapatkannya?”
“Dari sana!” Sophia menunjuk ke meja makanan penutup.
Elena mengambil cupcake itu dan menggigitnya tanpa berpikir. “Enak. Kamu mau?” tanyanya pada Luca.
Luca mendesah, tetapi akhirnya menggigit cupcake yang ditawarkan Elena. Untuk pertama kalinya sejak hari dimulai, mereka bertukar senyum kecil yang hampir tidak terlihat.
Sophia bersorak riang, merasa seperti pahlawan kecil yang menyatukan kedua orangtuanya.
—
Hari setelah pernikahan yang penuh drama, mansion Rossi yang biasanya tegang kini bertambah riuh dengan kedatangan tamu tak terduga.
Di aula besar, Fiona sedang duduk dengan nyaman sambil menikmati secangkir teh. Namun, suasana berubah saat suara langkah berat menggema di ruangan itu.
“FIONA!” suara berat menggema, dan semua pelayan langsung diam, menunduk ketakutan.
Fiona menghela napas panjang tanpa berbalik. “Oh, jadi kamu akhirnya datang juga, ya?”
Seorang pria tinggi berusia sekitar 60 tahun dengan wajah penuh karisma dan tatapan tajam berdiri di pintu. Itu adalah Giovanni Rossi, mantan kepala keluarga Rossi, sekaligus ayah Luca.
“Kamu sudah cukup lama kabur dari rumah. Waktunya kau pulang,” kata Giovanni tegas.
Fiona berbalik dengan senyum licik. “Aku tidak kabur. Aku hanya... mengambil waktu untuk diriku sendiri.”
“Meninggalkan suamimu sendirian selama berminggu-minggu tidak disebut ‘mengambil waktu untuk dirimu sendiri,’ Fiona,” balas Giovanni dengan nada datar.
“Memangnya kenapa? Kamu punya semua yang kamu butuhkan di rumah,” balas Fiona santai.
“Yang kubutuhkan adalah istriku,” kata Giovanni dengan nada lebih rendah, membuat beberapa pelayan yang mendengar tersipu.
Fiona mendengus kecil, tapi pipinya sedikit memerah. “Oh, jadi kamu akhirnya merindukanku?”
“Jangan memutarbalikkan kata-kataku,” Giovanni menjawab sambil berjalan mendekat. “Pulanglah, Fiona. Rumah tidak sama tanpamu.”
Sebelum Fiona bisa menjawab, Sophia tiba-tiba berlari masuk dengan boneka beruangnya, berhenti di depan Giovanni sambil menatapnya dengan bingung.
“Nenek!” panggilnya ke arah Fiona.
Giovanni menatap Sophia dengan kening berkerut. “Siapa ini?”
Sophia menunjuk Giovanni dengan polos. “Om siapa?”
Fiona tertawa kecil, lalu berjongkok di samping Sophia. “Sayang, ini bukan om. Ini kakekmu.”
“Kakek?” Sophia menatap Giovanni dari atas ke bawah, lalu mendekat dengan langkah ragu. “Kenapa kakek nggak kayak di TV?”
Giovanni mengerutkan alis, bingung. “Apa maksudnya?”
Sophia menatapnya dengan serius. “Kakek di TV itu tua, botak, dan suka tidur di kursi goyang.”
Fiona tertawa terbahak-bahak, sementara Giovanni hanya bisa menghela napas panjang. “Aku rasa aku terlalu muda untuk menjadi kakek di matanya.”
Sophia mendekat dan menarik jas Giovanni. “Kakek, kamu suka main kuda-kudaan?”
Giovanni membungkuk, menatap Sophia dengan pandangan tegas. “Aku tidak bermain kuda-kudaan.”
Sophia mendongak ke arah Fiona. “Nenek, kenapa kakek galak banget?”
Fiona mengusap kepala Sophia sambil tersenyum. “Kakekmu memang begitu, Sayang. Tapi dia sebenarnya baik.”
Giovanni menghela napas panjang lagi. “Fiona, aku serius. Pulanglah.”
Fiona berdiri, melipat tangan di dada. “Dan aku serius, aku tidak akan pulang sampai kamu belajar menjadi lebih perhatian.”
Giovanni mengerutkan alis. “Perhatian? Aku sudah melakukan segalanya untukmu!”
“Segalanya, kecuali yang benar-benar penting,” balas Fiona tajam.
Pertengkaran mereka berhenti ketika Sophia tiba-tiba menarik celana Giovanni, memaksanya menunduk.
“Kakek, kamu harus minta maaf pada nenek,” katanya dengan nada polos namun tegas.
Giovanni menatap Sophia dengan bingung. “Apa? Kenapa aku harus minta maaf?”
Sophia mengangguk penuh keyakinan. “Mommy bilang jika seseorang salah mereka harus meminta maaf, kakek juga harus minta maaf sama nenek!”
Giovanni melirik Fiona, yang kini menatapnya dengan senyum kemenangan. Ia mendesah panjang, lalu berlutut di depan Fiona.
“Fiona,” katanya pelan, “maafkan aku.”
Fiona terlihat terkejut sesaat, lalu tersenyum lembut. “Baiklah, aku akan pulang. Tapi kamu harus berjanji untuk lebih sering mendengarkanku.”
“Aku akan mencoba,” jawab Giovanni, meski suaranya terdengar sedikit enggan.
Sophia bersorak riang, merasa seperti pahlawan kecil yang telah menyatukan keluarganya.
ΩΩΩ
Elena dan Luca, yang mengamati dari jauh, hanya bisa menggelengkan kepala.
“Sepertinya Sophia sudah mulai menguasai mansion ini,” kata Elena dengan nada bercanda.
Luca mendesah panjang. “Anak itu benar-benar merepotkan.”
Elena tersenyum tipis. “Dia selalu bersemangat.”
Luca tidak menjawab, tapi senyuman kecil di wajahnya mengungkapkan bahwa ia setuju.
To be Continued...