Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Bayangan Eden
Angin dingin bertiup melalui celah-celah kendaraan lapis baja yang membawa Elara dan Orion menjauh dari bahaya. Mesin kendaraan menderu kuat, menyibak tanah berbatu yang mengarah ke titik terang terakhir di dunia—Eden. Namun, di tengah kelegaan singkat itu, ketegangan tetap terasa.
Di dalam kendaraan, suasana hening. Selain Orion dan Elara, ada empat orang lain yang tampak seperti pasukan bersenjata lengkap. Salah satu dari mereka, seorang pria berusia pertengahan empat puluhan dengan janggut tebal dan sorot mata tajam, memimpin percakapan.
“Aku Kolonel Stein,” katanya, memperkenalkan diri dengan nada tegas. “Kami mendapat sinyal tablet kalian beberapa jam lalu. Kalian berdua beruntung kami menemukannya sebelum mutan itu selesai dengan kalian.”
Elara mencoba tersenyum, meskipun wajahnya penuh kelelahan. “Terima kasih sudah menyelamatkan kami. Kami tidak punya pilihan lain selain mengikuti tablet ini. Eden... benar-benar ada, bukan?”
Stein mengangguk. “Ada. Tapi tempat itu tidak seindah yang kalian bayangkan.”
Jawaban itu membuat Elara terdiam. Di sampingnya, Orion, yang masih membalut luka di lengannya, menatap Stein penuh selidik. “Apa maksudmu? Bukankah Eden adalah tempat terakhir yang aman di dunia ini?”
Stein menatap mereka berdua, kemudian menghela napas panjang. “Eden memang aman... untuk sekarang. Tapi di balik keamanan itu, ada harga yang harus dibayar. Dan kalian harus bersiap untuk menghadapi kenyataan.”
---
Beberapa jam kemudian, kendaraan mereka berhenti di depan sebuah gerbang besar yang dikelilingi dinding logam setinggi 20 meter. Di atasnya, menara pengawas dengan lampu sorot berputar perlahan, mengawasi area sekitar. Elara melihat sekeliling dengan takjub sekaligus rasa takut. Di balik gerbang itu, Eden menanti—tempat yang selama ini mereka kejar.
Gerbang terbuka perlahan, menampilkan pemandangan kota modern di dalamnya. Bangunan-bangunan tinggi berdiri kokoh, diterangi oleh lampu-lampu neon yang bersinar terang. Orang-orang berjalan dengan pakaian bersih, berbeda jauh dari dunia luar yang dipenuhi debu dan kematian.
“Selamat datang di Eden,” kata Stein sambil turun dari kendaraan.
Namun, Orion dan Elara segera merasakan ada sesuatu yang aneh. Meskipun kota itu terlihat megah, suasananya terasa dingin. Orang-orang yang mereka temui berjalan tanpa ekspresi, seolah-olah mereka hanyalah bagian dari mesin yang lebih besar.
“Ini tidak seperti yang aku bayangkan,” gumam Elara pelan.
Orion mengangguk setuju, matanya terus mengawasi setiap sudut kota. “Terlalu sempurna untuk dunia seperti ini.”
Stein mendekati mereka, suaranya lebih pelan dari sebelumnya. “Jangan terlalu banyak bertanya sekarang. Kalian butuh istirahat. Nanti kalian akan tahu semuanya.”
---
Setelah beberapa jam, Elara dan Orion dipisahkan. Mereka ditempatkan di ruang-ruang steril yang berbeda untuk "proses pemurnian," seperti yang dijelaskan oleh salah satu petugas keamanan Eden. Elara merasa gugup saat duduk sendirian di ruangan yang bercahaya putih terang. Dindingnya polos, tanpa jendela, membuatnya merasa seperti terperangkap.
Seorang wanita dengan pakaian seragam putih masuk ke ruangan. Di tangannya, dia membawa sebuah alat yang tampak seperti scanner medis.
“Angkat lenganmu,” perintah wanita itu dengan nada datar.
Elara menurut, meskipun pikirannya dipenuhi pertanyaan. Alat itu mengeluarkan cahaya biru, memindai tubuhnya dari atas ke bawah.
“Hasilnya akan dikirim langsung ke pusat data,” kata wanita itu, lalu pergi begitu saja tanpa penjelasan lebih lanjut.
Sementara itu, di ruangan lain, Orion menghadapi hal yang sama. Namun, sifatnya yang penuh kewaspadaan membuatnya mencurigai setiap langkah yang diambil oleh orang-orang Eden. Saat petugas memindai tubuhnya, dia melihat sekilas layar monitor yang menampilkan data-data tentang dirinya. Ada sesuatu yang mengganggu di sana—tanda merah di bagian bawah layar yang bertuliskan: “Kandidat tidak memenuhi kriteria.”
Orion langsung merasa ada yang tidak beres. “Apa maksudnya?” tanyanya tajam.
Petugas itu tidak menjawab, hanya memberikan senyuman kecil sebelum meninggalkan ruangan.
---
Setelah proses pemurnian selesai, Elara dan Orion dipertemukan kembali di sebuah aula besar. Di sana, puluhan orang lainnya berkumpul, semuanya terlihat seperti pendatang baru. Di depan mereka, seorang pria tua dengan jas putih berdiri di atas panggung kecil, siap memberikan pidato.
“Selamat datang di Eden,” katanya dengan suara yang penuh wibawa. “Kalian semua adalah harapan terakhir umat manusia. Di tempat ini, kalian akan menjalani hidup baru, jauh dari kekacauan di luar sana. Namun, untuk mempertahankan kedamaian ini, kami memiliki aturan yang harus dipatuhi.”
Orion menyipitkan mata, memperhatikan dengan seksama setiap kata yang diucapkan pria itu.
“Aturan pertama,” lanjut pria itu, “adalah kesetiaan mutlak kepada Eden. Tidak ada ruang untuk keraguan atau pemberontakan. Aturan kedua, semua individu akan menjalani evaluasi berkala untuk memastikan mereka memberikan kontribusi maksimal bagi komunitas. Dan aturan terakhir…”
Pria itu berhenti sejenak, menatap para pendatang dengan tatapan tajam. “Adalah menyerahkan kebebasan pribadi demi kelangsungan hidup bersama. Di Eden, tidak ada tempat untuk ego atau individualisme.”
Elara merasa ada sesuatu yang salah. “Ini… lebih seperti penjara,” bisiknya pada Orion.
“Lebih buruk dari itu,” jawab Orion dengan suara rendah. “Mereka mengendalikan semuanya.”
---
Malam itu, Elara tidak bisa tidur. Dia duduk di dekat jendela kamar kecil yang diberikan padanya, menatap ke luar. Kota ini memang terlihat indah, tapi dia merasa seperti berada di dalam sangkar emas.
Ketukan pelan di pintu membuyarkan pikirannya. Saat dia membuka pintu, Orion berdiri di sana, wajahnya penuh kecemasan.
“Kita harus bicara,” katanya cepat.
Elara membiarkannya masuk, menutup pintu rapat-rapat. “Ada apa?”
“Aku melihat sesuatu di ruang pemurnian tadi,” jawab Orion. “Mereka menandai data pribadiku sebagai ‘tidak memenuhi kriteria.’ Aku tidak tahu apa artinya, tapi aku yakin itu bukan hal yang baik.”
Elara mengerutkan kening. “Mungkin itu hanya kesalahan sistem?”
“Tidak, Elara. Eden bukan tempat yang penuh kesalahan. Mereka terlalu terorganisir untuk itu. Aku yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan dari kita.”
Sebelum Elara bisa menjawab, suara sirene terdengar di seluruh kota. Lampu-lampu di luar tiba-tiba padam, digantikan oleh cahaya merah yang berkedip-kedip.
“PERHATIAN!” suara dari pengeras suara menggema di seluruh kota. “PELANGGAR KEAMANAN TERDETEKSI. SEMUA WARGA DIHARAPKAN TETAP DI TEMPAT.”
Orion menatap Elara dengan tatapan serius. “Kita harus keluar dari sini.”
“Tapi ke mana?” tanya Elara.
Orion menggenggam tangannya erat. “Kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Kalau kita tetap di sini, kita hanya akan menjadi pion mereka.”
Mereka berdua menyelinap keluar dari kamar, memanfaatkan kekacauan yang terjadi di luar untuk menyusup lebih dalam ke jantung Eden. Tapi mereka tidak tahu, setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka semakin dekat ke rahasia kelam yang disembunyikan kota ini—rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.