Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan anak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh Belas
“Pelangi, ... dengarkan Bunda. Pelangi harus kuat karena Bunda saja kuat!”
Sepanjang perjalanan, suara Mendung terus menghiasi dan terdengar lirih. Mendung duduk di tempat duduk penumpang belakang tempat duduk kosong sebelah Salman tengah menyetir. Salman menyetir dengan hati-hati, sendiri.
Setelah terus menolak arahan Mendung yang memangkunya, Pelangi berakhir tidur. Mendung yang masih mendekapnya, juga perlahan memejamkan kedua matanya. Sesekali, bibirnya yang kering, mengecup pipi maupun wajah Pelangi.
Melalui kaca spion di atasnya, Salman mengawasi setiap apa yang Mendung lakukan. Tentunya, ia tetap fokus mengemudi. Yang membuat Salman tidak tahan, dari kedua mata Mendung kerap menghasilkan butiran bening dan silih berganti mengalir membasahi pipi.
Di mata Salman, Mendung merupakan cerminan ibu sempurna. Seorang ibu yang mencintai anaknya tanpa jeda. Karena selain sanggup bertahan dalam rumah tangga dengan Andika selama tiga puluh tahun lamanya dan itu demi Pelangi yang orang tuanya tidak mau bercerai. Demi kebebasan Pelangi, Mendung rela menjadi babu gratisan di rumah Yanti. Padahal, masih karena Yanti juga, Mendung dimadu. Juga, masih karena Yanti, Pelangi berakhir dipenjara. Namun jika melihat kondisi yang ada, Salman yakin, sebenarnya Mendung sangat ingin balas dendam. Bukan semata balas dendam yang akan Salman lakukan untuk Mendung dan Pelangi. Namun juga balas dendam yang ingin Mendung lakukan sendiri menggunakan kedua tangannya.
Di luar sana, suasana sudah makin terik. Mentari yang bersinar cerah menggantikan sisa hujan kemarin, seolah tepat ada di ubun-ubun mereka. Salman membuat mobilnya memasuki sebuah pusat perbelanjaan yang di dalamnya juga dilengkapi rumah makan bahkan restoran.
“Makan dulu, yuk. Sekalian beli keperluan buat kalian. Pelangi dibawa saja. Nanti aku bantu urus.” Salman tak membutuhkan kesanggupan bahkan sekadar balasan dari Mendung yang Salman yakini bisa berupa penolakan.
Untuk urusan makan dan Salman yakini sudah Mendung maupun Pelangi lakukan dengan kurang benat, Salman tak mau menoleransi. Salman sudah langsung turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Mendung. Ia menggenggam erat kedua tangan Mendung yang sekadar melangkah saja sampai gemetaran. Sudah bisa Salman pastikan, kesehatan Mendung juga sedang kurang baik. Demam saja nyatanya tetap belum begitu turun, meski ia sudah memberinya obat penurun panas.
Akan tetapi, Salman yang tidak yakin Mendung bisa turun dengan benar, sengaja membopongnya.
“Mas ...?!”
“Daripada kamu jatuh, Ndung!”
Mendung tak kuasa menolak karena Salman memang sangat tulus sekaligus perhatian kepadanya. Begitu juga ketika pada Pelangi. Salman membangunkannya, menuntunnya, dan tampak begitu berusaha melindungi Pelangi.
Beberapa kali Pelangi mengamuk, memukul Salman kemudian mendorong Mendung. Namun, Salman memeluknya erat. Menjanjikan makanan enak, jalan-jalan, dan juga bersenang-senang dengan Bunda.
“Lihat ... itu Bunda kamu. Ingat, kan? Coba diingat-ingat!” lirih Salman dan Pelangi yang awalnya mengamuk, jadi agak tenang.
Beberapa dari mereka yang melihat Salman, langsung menjadikan kebersamaan Salman, Mendung, apalagi Pelangi, sebagai fokus perhatian.
Salman membawa Pelangi dan Mendung makan. Awalnya, mereka apalagi Mendung, berniat menyuapi Pelangi. Namun, Pelangi menolak dan justru akan minggat. Jadilah, Salman memberi arahan lagi.
Entah kenapa, kepada Salman, Pelangi tergolong menurut. Namun diam-diam Mendung jadi kepikiran, dan mengaitkan keadaan tersebut dengan kenyataan putrinya yang sangat kekurangan perhatian seorang ayah.
“Pelangi, makannya pelan-pelan. Lihat, begini ... lihat cara Bunda makan. Pelan, bersih, okey?” Salman yang duduk di depan Pelangi, kembali memberi arahan.
Di meja kayu berbentuk persegi di sana, Mendung duduk menghadap tempat duduk kosong. Sementara Pelangi duduk menghadap Salman. Pelangi makan acak-acakan bahkan memakai tangan kosong. Namun setelah diberi arahan oleh Salman untuk ke sekian kalinya, Pelangi jadi meraih sendok dan garpu. Karena Pelangi tetap salah memakai sendok dan garpu. Dan justru tetap memegang bagian untuk makannya, bukan yang harusnya dipegang, Salman sengaja pindah posisi duduk.
Mendung yang tetap Pelangi tolak, memilih membantu memindahkan makanan Salman dan menyuguhkannya di hadapan Salman.
“Ini bukti kalau dia sangat butuh kasih sayang pria dewasa. Mungkin saat bersama pria dewasa, dia merasa sedang bersama papanya,” ucap Salman lirih dan meminta Mendung untuk lanjut makan.
“Selama ini ... Pelangi memang kekurangan kasih sayang ayah.” Mendung mengatakannya dengan berat. Ia bahkan tak berani lanjut makan karena takut berakhir tersedak. “Dari dia masih di dalam kandungan, ayahnya sudah menolaknya. Termasuk ketika ia lahir, ... bahkan sampai sekarang.” Air mata Mendung akhirnya jatuh membasahi pipi, dan sebagiannya sampai mengenai makanan di piringnya.
“Selama ini, ... ayahnya hanya sibuk mengurus ... keluarganya. Pelangi bahkan selalu dipaksa mengalah kepada para sepupunya.”
“Pada dasarnya Pelangi anak pemberani. Dia selalu memberontak, bahkan meski pada akhirnya dia diamuk ... ayahnya. Namun ....” Mendung mendadak tidak bisa melanjutkan ucapannya.
“Kondisinya yang selalu diperlakukan semena-mena, bikin dia menahan luka bahkan dendam. Mungkin karena itu juga, ada saraf di kepala bahkan otaknya yang rusak dan bikin Pelangi kena mental seperti sekarang. Itulah kenapa manusia enggak boleh stres apalagi nahan beban pikiran. Mending setiap saat teriak, asal tidak ada yang dipendam,” ucap Salman.
Detik itu juga Mendung mengangguk-angguk. Membenarkan anggapan Salman. “Bisa jadi, sekarang ini Pelangi sedang balas dendam. Mungkin apa yang terjadi sekarang, yang menang selama ini ingin Pelangi lakukan,” ucap Mendung yang kemudian mendapati beberapa helai tisu kering, Salman suguhkan kepadanya. Pria itu menatapnya penuh keteduhan, setelah mengambil tisu dari kotak yang tersedia di tengah meja.
“Sabar sebentar lagi. Sekarang kamu beneran hanya cukup fokus ke Pelangi,” ucap Salman yang kemudian mengangguk-angguk, menuntun Mendung untuk melakukan hal serupa sesuai arahannya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Salman mengajak Mendung belanja pakaian sekaligus keperluan perawatan diri sehari-hari. Sampai detik ini, beberapa dari mereka yang melihat Salman, langsung menjadikannya sebagai fokus perhatian. Namun, Salman selalu melarang siapa pun yang berusaha mengabadikan foto maupun video Pelangi apalagi Mendung.
“Tolong jangan ganggu mereka. Mereka tidak terbiasa dengan kamera!” santun Salman.
“Mas, ... sebenarnya,” ucap Mendung jadi tak enak hati karena Salman yang membantunya menjaga Pelangi, terus memanjakan mereka.
“Sudah, ambil-ambil saja. Sebentar aku lihat ... ya, kok kantong belanjamu masih kosong?” Karena itu juga, Salman berinisiatif mengambilkan barang-barang untuk Mendung.
Pelangi yang awalnya dituntun Salman, mengikuti apa yang Salman lakukan, yaitu memenuhi kantong belanjaan Mendung. Hanya saja, apa yang Pelangi masukkan ke dalam kantong belanjaan Mendung justru pakaian anak muda yang lebih cocok untuk Pelangi.
“Sudah enggak apa-apa. Nanti sekalian bayar saja. Itu cocok buat Pelangi. Habis ini kita bayar, terus siap-siap ke tempat rukiyah, ya. Kita sudah punya nomor urut dan jadwalnya sekitar pukul tiga sore,” sergah Salman yang tentu saja selalu membuat Mendung nyaman. Rasa nyaman yang juga membuat Pelangi seolah ketergantungan.