NovelToon NovelToon
Raja Kejahatan Dunia

Raja Kejahatan Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Epik Petualangan / Harem
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Merena

Leo XII, Raja Kejahatan Dunia, adalah sosok yang ditakuti oleh banyak orang, seorang penguasa yang mengukir kekuasaan dengan darah dan teror. Namun, ironisnya, kematiannya sama sekali tidak sesuai dengan keagungan namanya. Baginya, itu adalah akhir yang memalukan.

Mati karena murka para dewa? Sungguh lelucon tragis, namun itulah yang terjadi. Dalam detik-detik terakhirnya, dengan sisa kekuatannya, Leo XII berusaha melawan takdir. Usahanya memang berhasil—ia selamat dari kematian absolut. Tapi harga yang harus dibayarnya mahal: Leo XII tetap mati, dalam arti tertentu.

Kini ia terlahir kembali sebagai Leon Dominique, dengan tubuh baru dan kehidupan baru. Tapi apakah jiwa sang Raja Kejahatan akan berubah? Akankah Leon Dominique menjadi sosok yang lebih baik, atau malah menjelma menjadi ancaman yang lebih mengerikan?

Satu hal yang pasti, kisahnya baru saja dimulai kembali!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertarungan Ke3

Fiona tidak langsung menuju tribun tempat Leon menunggunya. Luka di pinggangnya harus segera ditangani, jadi dia melangkah menuju ruang perawatan dengan langkah mantap, meskipun keletihan terlihat samar di wajahnya.

Sementara itu, Leon tetap duduk santai di kursinya, menyaksikan pertarungan berikutnya yang segera dimulai. Pertarungan tersebut berjalan tanpa kejutan, berakhir dengan kemenangan mutlak salah satu peserta. Musuhnya jatuh tanpa perlawanan berarti, tubuhnya terkulai di tanah, tak bernyawa.

Pemenang pertarungan, seorang pria berambut gelap dengan aura dingin, menyeringai tipis. Dia dengan santai menjilat darah yang mengotori bibirnya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah tribun, tepat ke arah Leon. Tatapan mereka bertemu. Leon mengangkat alisnya, tertarik pada sesuatu yang berbeda dari pria itu—pupil mata kirinya yang aneh, dihiasi angka IV yang terpampang jelas.

Pria itu tidak mengatakan apa pun, hanya menatap Leon beberapa detik lebih lama sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan arena dengan langkah tenang namun penuh percaya diri.

Tak lama, Fiona kembali dari ruang perawatan. Dia berjalan ke arah Leon dan duduk di sisinya. Leon segera merangkul bahunya dengan santai, namun pandangannya segera tertuju pada luka di pinggang Fiona. Dia menyentuhnya dengan lembut, seolah memeriksa kondisinya.

“Apakah itu sakit?” tanya Leon dengan senyuman yang lembut, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang halus.

Fiona menghela napas kecil, memasang wajah manja sambil bersandar di dada Leon. “Sakit. Sakit sekali,” keluhnya, suaranya terdengar seperti anak kecil yang meminta perhatian.

Leon tersenyum tipis, mengusap kepala Fiona dengan lembut, seolah menenangkan. “Kamu sudah bekerja keras,” gumamnya, suaranya rendah dan hangat.

Namun, nada suara Leon berubah sedikit lebih serius. “Sepertinya lawanmu berikutnya tidak akan semudah yang tadi,” katanya, matanya masih memandang lurus ke depan, memikirkan pria dengan angka IV di matanya.

Fiona mendongak, wajahnya menunjukkan rasa penasaran. “Hmm? Tidak biasanya kamu terdengar seperti ini. Kenapa tiba-tiba berkata begitu?” tanyanya.

Leon menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil, kali ini senyumannya terasa penuh misteri. “Aku hanya merasa perlu mengatakannya. Jangan terlalu dipikirkan. Tapi ingat, jika kamu merasa tidak bisa menang, menyerahlah saja. Kita di sini hanya untuk bersenang-senang, bukan mempertaruhkan nyawa.”

Dia mencubit pipi Fiona dengan ringan, membuat gadis itu merengut. “Baiklah, baiklah,” jawab Fiona dengan nada malas, meskipun ada senyuman tipis di wajahnya.

Di tengah percakapan ringan mereka, suasana tribun tetap dipenuhi sorakan penonton yang bersemangat, namun di antara Leon dan Fiona, dunia terasa lebih tenang—seolah mereka berada dalam gelembung kecil, terlindung dari hiruk pikuk sekitarnya.

.

.

.

Di atas arena, pertarungan ketiga dimulai. Dua pria berdiri saling berhadapan, siap untuk membuktikan keahlian masing-masing. Di sisi kiri berdiri Marseven, seorang pria bertubuh besar namun tidak terlalu berotot. Di sisi lainnya, Kine, pria ramping dengan sikap santai namun tajam, seperti pemangsa yang mengintai mangsanya.

Marseven memulai dengan menghentakkan kakinya ke lantai arena. Hentakan tersebut menghasilkan getaran gempa kecil yang mengguncang arena. Kine sedikit goyah, tetapi hanya tersenyum santai.

"Menarik," ujar Kine, matanya berkilat. "Menggunakan Echo dari hentakan kaki. Metode yang sederhana, tapi cukup cerdik."

Marseven menatap Kine dengan tatapan serius. "Aku bukan ahli Aura atau Liquid," jawabnya, suaranya dalam dan tenang. "Kelebihanku hanya tulang dan otot ini. Jadi, aku memanfaatkan apa yang kupunya. Kalau kau tidak suka, maaf saja, karena hanya ini yang bisa kulakukan."

Tanpa banyak basa-basi, dia menghentakkan kakinya lagi. Getaran kecil kembali terasa, kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Arena mulai terasa tidak stabil.

Kine tidak menunjukkan tanda meremehkan. Dia mengangguk kecil, seperti menghormati semangat lawannya. "Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk bertahan hidup. Di tempat seperti ini, melihat seseorang sejujurnya dirimu itu... menyegarkan," katanya santai, seperti sedang berbicara dengan teman lama.

Marseven terus menghentakkan kakinya, kali ini intensitas gempa yang diciptakannya semakin besar. Dia memandang Kine dengan penuh keyakinan. "Aku tidak suka tempat ini. Tapi jika aku menang dan bisa bertemu Leo XIII, keinginanku akan terwujud. Jadi, maafkan aku, aku harus mengalahkanmu. Jika kau tak ingin terluka, menyerahlah sekarang."

Kine tertawa kecil, lalu balas menatap Marseven dengan sorot mata tajam. "Semakin lama, aku semakin menyukaimu. Tapi tetap saja, aku yang akan menang," ujarnya dengan nada percaya diri.

Dengan gerakan ringan, Kine mengambil botol kecil dari saku bajunya. Ia membuka tutupnya, dan cairan merah pekat mengalir keluar. Begitu menyentuh lantai arena, cairan itu langsung membakar permukaan, menciptakan aura mengintimidasi.

Kine berjongkok, menyentuh cairan tersebut, dan dengan satu gerakan mulus, cairan itu berubah menjadi tombak panjang berwarna merah menyala. "Ini adalah besi cair. Dengan Liquid, aku bisa membentuknya sesuka hati," jelasnya sambil tersenyum.

Tanpa basa-basi, Kine menerjang ke arah Marseven, tombaknya melesat seperti kilat. Marseven berusaha menciptakan gempa untuk menggoyahkan keseimbangan Kine, dan strategi itu sempat efektif. Namun Kine, dengan kelihaiannya, menggunakan tombaknya sebagai penopang untuk menjaga kestabilan tubuhnya. Dengan setiap langkah, dia semakin dekat ke arah Marseven.

Dalam hitungan detik, Kine sudah berada tepat di hadapan Marseven. Tanpa perlindungan atau keunggulan dalam bertahan, Marseven hanya bisa menutup matanya, bersiap menerima kematian. Namun, tak ada rasa sakit yang datang. Ketika ia membuka matanya, ia melihat ujung tombak Kine berhenti tepat di depan wajahnya.

Kine tersenyum tipis, mata dinginnya sedikit melunak. "Menyerahlah," katanya tenang. "Aku tidak ingin membunuhmu."

Marseven terdiam sejenak sebelum mengangkat kedua tangannya. Senyum masam terpampang di wajahnya. "Aku menyerah," ucapnya dengan nada rendah.

Wasit segera mengangkat tangan Kine ke udara. "Pemenangnya adalah Kine!" serunya lantang. Penonton bersorak meriah, memberikan tepuk tangan untuk kemenangan yang diperoleh tanpa darah.

Di tribun, Leon menyaksikan pertarungan itu dengan santai, wajahnya menunjukkan ekspresi tenang namun penuh pemikiran. "Terkadang, pertarungan tanpa pertumpahan darah seperti ini juga memiliki daya tarik tersendiri," katanya, suaranya terdengar ringan namun tegas.

Fiona mengangguk kecil di sisinya, matanya mengamati arena yang kini sepi. "Benar. Melihat orang bertarung sampai mati memang mengerikan. Tapi duel seperti itu... terasa lebih bermartabat," katanya pelan.

Leon berdiri, merapikan mantelnya dengan gerakan santai. "Baiklah, kurasa sekarang giliranku," katanya. Senyum tipis muncul di wajahnya, tetapi mata gelapnya menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan.

Fiona menatapnya dengan penuh perhatian. "Berhati-hatilah," ucapnya lembut.

Leon melangkah turun dari tribun, memasuki arena dengan langkah mantap, seperti seorang raja yang berjalan ke medan perang. Sorak-sorai penonton semakin menggema saat sosoknya berdiri di tengah arena, aura mengintimidasi yang tak terbantahkan mulai memenuhi tempat itu. Pertunjukan berikutnya baru saja dimulai.

1
Yurika23
akuh mampir ya Thor...keknya seru...Leo anti Hero ya?... keren
Kaisar Absolute
yeyy di update, lagi thor sangat menyenangkan thor dan Pertana kali ada alur cerita yang kek gini (Sayang author)
Kaisar Absolute
lumayan lah untuk ceritanya dan mc gak bertele - tele dan dia langsung Aksi tanpa basa basi Dan sekali lagi Novel nya keren, sekarang aku nunggu Update mu author Ku sayang🗿
Kaisar Absolute: hehe/Drool//Drool//Drool/
Merena: Alamak, Jomoknye
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!