Nadia, seorang gadis desa, diperkosa oleh seorang pria misterius saat hendak membeli lilin. Hancur oleh kejadian itu, ia memutuskan untuk merantau ke kota dan mencoba melupakan trauma tersebut.
Namun, hidupnya berubah drastis ketika ia dituduh mencuri oleh seorang CEO terkenal dan ditawan di rumahnya. Tanpa disangka, CEO itu ternyata adalah pria yang memperkosanya dulu. Terobsesi dengan Karin, sang CEO tidak berniat melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan
Ketika fajar menyingsing, Nadia mulai menggeliat. Ia terbangun dengan perasaan asing. Tubuhnya terasa lebih hangat, ada kehadiran yang tak biasa di sampingnya. Pikirannya langsung siaga, menembus kantuk yang masih bergelayut. Bukankah dia tertidur sendirian di kamar yang terkunci?
Nadia perlahan mengerjap, menyadari sosok seorang pria yang berbaring di sebelahnya di atas ranjang yang sama.
"AAHH!" Nadia berteriak, tubuhnya melonjak ke belakang, menciptakan jarak dari pria tersebut. Suaranya memecah keheningan pagi, membuat pria itu mengerutkan kening dalam tidurnya, terganggu oleh suara berisik itu.
Pria itu perlahan membuka matanya yang gelap, sorotnya tampak jengkel. Dengan nada rendah namun penuh kekesalan, dia berujar, "Diam!"
Nadia terkejut mendengar suaranya yang begitu tegas. Tatapan mereka bertemu, dan dia menyadari siapa pria itu—Samuel. Pria yang telah menahannya di vila ini. Tubuhnya langsung menegang, campuran marah dan panik meledak dalam dirinya. "Apa yang kamu lakukan di sini? Mengapa kamu di tempat tidurku?"
Samuel mendengus tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Ini vila milikku, aku tidur di mana pun aku suka," jawabnya santai, seolah-olah perbuatannya adalah hal yang biasa.
Nadia mengamati sekelilingnya, jantungnya berdebar keras. Rasa takutnya mulai mereda ketika melihat pakaiannya masih utuh. Tidak ada bukti bahwa sesuatu yang buruk terjadi padanya. Meski begitu, kemarahannya tidak mereda.
"Dasar bajingan! Apa kau tidak tahu malu?!" Nadia meledak, wajahnya memerah oleh perasaan malu dan marah yang bercampur.
Samuel hanya menatapnya dengan ekspresi datar, seakan tidak terpengaruh oleh amarahnya. "Aku tidak punya alasan untuk tertarik pada gadis yang belum dewasa sepertimu," ucapnya sinis sambil meliriknya dari atas ke bawah. Nada genit dalam suaranya membuat Nadia semakin geram. "Dan tolong, kau terlalu berisik di pagi hari."
Nadia mengepalkan tangannya, merasa terhina. "Belum dewasa? Beraninya kau bicara seperti itu! Kau bahkan tidak seharusnya berada di kamarku!"
Samuel mengabaikan caci makinya. Dia bangkit dari ranjang, lalu merapikan selimutnya dengan sikap angkuh sebelum melangkah menuju kamar mandi. "Tidak usah repot-repot berteriak," katanya dengan nada rendah yang penuh keangkuhan. "Percayalah, vila ini dijaga ketat. Tak ada jalan keluar untukmu."
Setelah Samuel menghilang ke kamar mandi, Nadia duduk terdiam, berusaha menenangkan diri. Keberadaan pria itu di ranjangnya tadi malam seolah menjadi penghinaan besar baginya. Ia merasa terperangkap, tak berdaya. Rasa frustrasinya makin bertambah saat memikirkan nasibnya yang belum jelas. Bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan tempat ini?
Tak lama kemudian, Nadia menemani Samuel di meja makan untuk sarapan. Suasana terasa dingin, di antara ketukan sendok dan garpu yang memenuhi keheningan ruangan. Randy, pelayan kepercayaan Samuel, menyajikan sarapan sambil tersenyum penuh hormat pada tuannya.
"Tuan Sebastian, Anda terlihat segar pagi ini," katanya dengan nada ramah. "Sepertinya Anda tidur nyenyak."
Samuel hanya mengangguk tipis. "Lumayan," jawabnya santai. Ada kesan puas dalam suaranya yang membuat Nadia ingin melemparkan roti di piringnya ke wajah pria itu. Dia tidak hanya merasa nyaman, tetapi seolah-olah puas dengan apa yang terjadi.
Nadia mengerutkan kening, menatap Samuel dengan sorot penuh rasa tidak percaya. Betapa sombong dan tidak tahu malunya dia! Pria ini tidak hanya menahannya di vila, tapi juga berani masuk ke kamarnya dan tidur di sampingnya tanpa izin. Dia merasa benar-benar diperlakukan seperti boneka yang tidak punya kehormatan.
Samuel makan sarapannya dengan tenang, tak acuh pada sorot penuh kemarahan di mata Nadia. Rasa kesal membakar dada Nadia, namun dia berusaha menahan diri. "Tuan Sebastian," ucapnya, mencoba mengendalikan nada suaranya. "Apa kau sudah berhasil menangkap pencuri yang sebenarnya? Karena jika sudah, seharusnya aku bisa pergi."
Samuel hanya meliriknya singkat, tampak tidak terpengaruh oleh pertanyaannya. "Segera," jawabnya pendek.
Nadia mendesah kecewa. "Segera? Seberapa cepat? Aku ingin tahu kapan aku bisa pergi dari tempat ini."
Samuel hanya mengangkat bahu, tampak tidak ingin memperpanjang pembicaraan. Rasa frustrasi meluap dalam diri Nadia. Seolah dia tidak cukup terhina, Samuel kini menambahkan kepedihan dengan sikap tak pedulinya.
"Tuan Sebastian, aku butuh ponselku," lanjut Nadia dengan nada serius. "Aku perlu memberitahu bosku bahwa aku baik-baik saja. Dia pasti khawatir mencariku."
Samuel menatapnya tajam, mata hitamnya menelusuri wajah Nadia dengan sorot dingin. "Tidak. Kamu bisa jadi kaki tangan pencuri itu. Mengapa aku harus membiarkanmu menghubungi siapa pun?"
"Aku kaki tangan?" Nadia merasa darahnya berdesir. "Aku bukan pencuri! Aku tak tahu apa pun tentang pencuri itu. Kau hanya… hanya ingin menahanku di sini dengan alasan yang konyol!"
Samuel tersenyum tipis, tak sedikit pun merasa bersalah. "Kau tak perlu tahu alasanku. Dan omong-omong, pencuri tak pernah menulis kata 'pencuri' di wajah mereka, bukan?"
Nadia terpaku, tidak tahu harus berkata apa lagi. Perlahan, dia mulai mengarahkan kemarahannya pada roti di piring. Dengan cengkeraman kuat, dia memotongnya berulang kali, seolah roti itu adalah wajah Samuel. Ia menancapkan garpunya keras-keras pada potongan roti hingga berkali-kali sobek, tanpa menyadari tatapan Samuel yang diam-diam memperhatikannya.
Samuel melihat Nadia yang marah dalam diam. Wanita ini, dengan segala kemarahannya, tampak begitu murni dan jujur. Sikap kekanak-kanakannya saat melampiaskan rasa kesal pada roti itu terlihat menggelikan sekaligus menarik bagi Samuel.
Saat Nadia sedang asyik mengiris roti, tiba-tiba sepotong roti terlempar dan mengenai wajah Samuel.