Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenalan Baru
Arzan tak menyangka Haryo bisa begitu kejam dengan memanfaatkan kondisi Kirana. Namun, percakapan mereka terhenti saat terdengar langkah kaki mendekat ke kamar. Mata Arzan melebar, dan ia langsung mencari tempat untuk bersembunyi. Dengan cepat, ia masuk ke dalam lemari besar di sudut kamar Kirana, menutup pintunya perlahan agar tidak bersuara.
Pintu kamar terbuka, dan Haryo masuk dengan langkah santai. Kirana yang sedang duduk di tepi tempat tidur langsung mendongak.
"Sudah lama menunggu, sayang?" tanya Haryo lembut. Ia mengenakan pakaian santai, rambutnya masih sedikit basah.
Kirana memalingkan wajah, enggan menatapnya. "Apa maumu lagi sekarang?"
Haryo menghela napas dan duduk di kursi dekat tempat tidur, menghadap Kirana. "Aku hanya ingin memastikan kau istirahat yang cukup. Besok kita akan mengecek tempat pernikahan kita."
Kirana mendengus pelan. "Apa gunanya aku tahu tempat itu? Aku tidak punya pilihan lain selain menuruti semua keinginanmu."
Haryo tersenyum kecil, mencoba mendekatkan diri. "Kirana, aku tahu kau belum sepenuhnya menerima ini. Tapi percayalah, aku hanya ingin membuatmu bahagia."
"Bahagia?" Kirana menatap Haryo tajam. "Dengan cara mengancamku dan keluargaku? Apa itu definisimu tentang bahagia?"
Haryo tertawa kecil, mengabaikan nada sinis Kirana. "Aku tidak ingin berdebat, sayang. Kau hanya perlu percaya padaku. Semua ini untuk kebaikan kita."
Di dalam lemari, Arzan mendengar setiap kata yang diucapkan Haryo. Dari tempat persembunyiannya, ia bisa melihat sekilas Haryo yang bersikap lembut kepada Kirana, jauh berbeda dari pria kejam yang digambarkan Kirana sebelumnya.
Setelah beberapa saat, Haryo bangkit. "Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lebih lama. Istirahatlah. Besok akan menjadi hari yang sibuk."
Ia berjalan menuju pintu, lalu menoleh sekali lagi. "Selamat malam, Kirana."
Haryo keluar, dan suara langkah kakinya perlahan menghilang. Kirana menghela napas berat, matanya terlihat lelah. Sementara itu, Arzan masih bersembunyi di dalam lemari, hatinya campur aduk antara marah dan bingung. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” pikirnya.
Setelah Haryo keluar dari kamar, Arzan keluar dari lemari dengan hati-hati. Wajah Kirana tampak terkejut melihatnya.
"Aku harus pergi sekarang," bisik Arzan pelan. "Kalau Haryo tahu aku tidak ada di lantai bawah, dia pasti curiga."
Kirana mengangguk pelan. "Hati-hati. Jangan sampai dia tahu kau datang ke sini."
"Aku akan cari cara untuk membantumu," kata Arzan dengan nada serius. "Tolong bertahan sedikit lagi."
Kirana hanya menunduk, tidak tahu harus merespons apa. Arzan segera keluar dari kamar dengan langkah hati-hati. Ia memastikan tidak ada suara langkah kakinya di tangga agar tidak menarik perhatian. Saat tiba di lantai bawah, ia mengintip ke arah taman belakang. Benar saja, Haryo sedang berdiri di sana, tampak seperti mencari seseorang.
"Ah, di sini kau!" seru Haryo saat melihat Arzan keluar ke taman. "Ke mana saja? Aku tadi mencarimu."
"Aku hanya berjalan-jalan di sekitar rumahmu, melihat-lihat kebun," jawab Arzan dengan santai. "Rumahmu besar sekali. Bisa tersesat kalau tidak hati-hati."
Haryo tertawa. "Itu benar. Tapi lain kali beri tahu aku kalau mau berkeliling. Jangan sampai aku kebingungan mencarimu."
Arzan mengangguk. "Aku sebenarnya harus segera pulang. Orang tuaku mungkin sedang mencariku juga."
"Baiklah, kalau begitu," kata Haryo. "Tapi rumahku selalu terbuka untukmu, Arzan. Kapan pun kau mau datang, aku akan menyambutmu."
"Terima kasih, Haryo," balas Arzan sopan. Ia segera berpamitan, meninggalkan taman belakang dan menuju mobilnya.
Saat berjalan ke luar rumah, Arzan berpapasan dengan Bi Lina yang baru saja kembali dari luar. Ia menghentikan langkahnya dan menyapa wanita paruh baya itu.
"Bi Lina, dari mana saja? Sepertinya baru pulang," tanya Arzan dengan senyum ramah.
"Oh, iya, Tuan Arzan. Saya baru saja belanja kebutuhan rumah tangga," jawab Bi Lina. "Ada yang bisa saya bantu?"
Arzan mengangguk pelan, ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, "Saya ingin tahu... bagaimana sebenarnya perlakuan Pak Haryo kepada Nona Kirana? Apakah dia selalu bersikap lembut atau...?"
Bi Lina tampak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. "Hmm... sejujurnya, Tuan Arzan, saya sendiri sulit menilai Pak Haryo. Kadang-kadang beliau sangat lembut dan perhatian, tapi di lain waktu, kalau sedang tertekan atau marah, kata-katanya bisa sangat kasar."
"Jadi, dia sulit ditebak?" Arzan mencoba memahami.
"Benar, Tuan," kata Bi Lina sambil mengangguk. "Saya sudah bekerja bertahun-tahun di sini, tapi tetap saja karakter Pak Haryo itu rumit. Tapi satu hal yang pasti, beliau punya sisi peduli meskipun caranya tidak selalu terlihat baik."
Arzan menghela napas, menyimpan informasi itu dalam pikirannya. "Terima kasih, Bi Lina. Saya hanya ingin memastikan keadaan Nona Kirana."
"Tuan Arzan, kalau ada sesuatu yang bisa saya bantu, tolong beri tahu saya," ujar Bi Lina dengan nada tulus.
"Tentu," jawab Arzan sebelum berjalan menuju mobilnya. Namun, pikirannya masih penuh dengan pertanyaan dan keraguan. Sikap Haryo yang terlihat lembut di satu sisi tetapi kejam di sisi lain membuatnya semakin ingin menyelidiki lebih jauh. Ia tahu, Kirana tidak akan bisa bertahan dalam situasi seperti ini terlalu lama.
...----------------...
Di sebuah klub malam yang gemerlap, Arini dan Mirna duduk di meja yang penuh dengan minuman. Mereka tertawa sambil menikmati malam itu, tetapi percakapan mereka memiliki nuansa yang lebih serius.
"Arini, kau harus mulai berpikir untuk mencari pasangan baru," ujar Mirna sambil menyeruput birnya. "Rangga sudah tamat. Kau tahu sendiri dia akan mendekam di penjara lebih lama."
Arini mendesah. "Tapi aku masih punya uang dari Haryo. Setidaknya cukup untuk sementara waktu."
Mirna menggeleng. "100 juta per bulan itu cukup? Hanya cukup untuk makan saja, Arini. Kau tahu kehidupan sosialita butuh lebih dari itu. Gaun desainer, pesta, liburan... itu semua mahal. Kau harus memikirkan masa depan."
Arini terdiam sejenak, lalu memandang ke arah Mirna. "Lalu apa yang harus kulakukan? Kau tahu aku tidak suka bekerja keras."
Mirna tersenyum licik dan mengarahkan pandangannya ke meja seberang. "Lihat pria di sana, yang mengenakan jas hitam dan sedang duduk sendirian. Dia dari tadi menatap ke arah kita."
Arini mengikuti pandangan Mirna dan melihat seorang pria paruh baya yang terlihat berwibawa, dengan senyum tipis di wajahnya. "Dia tampak kaya," bisik Arini, mulai tertarik.
"Tepat sekali," sahut Mirna sambil menepuk tangan Arini pelan. "Pergilah dan kenalan dengannya. Ini kesempatan emas."
Arini ragu sejenak. "Apa tidak terlalu mencolok kalau aku mendekatinya langsung?"
"Arini, dengar," kata Mirna dengan nada tegas. "Jika kau ingin hidup mewah, kau harus berani mengambil langkah pertama. Pergilah sekarang."
Akhirnya, Arini meneguk minumannya sebagai penyemangat dan berdiri. Ia berjalan anggun menuju pria tersebut, memastikan setiap langkahnya menarik perhatian. Ketika ia sampai di meja pria itu, pria tersebut mendongak dan tersenyum.
"Permisi," sapa Arini dengan suara lembut. "Saya Arini. Saya memperhatikan Anda duduk sendirian, jadi saya pikir saya bisa menyapa."
Pria itu menyunggingkan senyum ramah. "Chandra Wijaya Pratama," jawabnya sambil mengulurkan tangan. "Senang bertemu dengan Anda, Nona Arini. Silakan duduk."
Arini duduk dengan anggun, merasa puas karena usahanya berhasil menarik perhatian pria itu. "Sepertinya Anda menikmati malam ini," ujar Arini memulai pembicaraan.
"Seharusnya begitu," balas Chandra dengan nada ringan. "Tapi rasanya lebih menyenangkan jika ada teman untuk diajak bicara. Dan ternyata keberuntungan saya datang."
Arini tersenyum, merasa tersanjung. "Oh, Anda terlalu baik, Tuan Chandra. Jadi, apa yang membawa Anda ke tempat ini?"
"Hanya ingin melepas penat dari pekerjaan," jawab Chandra sambil memandang Arini. "Bagaimana dengan Anda, Nona Arini?"
"Oh, saya hanya bersenang-senang dengan teman," kata Arini, melirik sekilas ke arah Mirna yang tersenyum penuh arti dari meja mereka. "Kadang, kita perlu waktu untuk diri sendiri, bukan?"