800 setelah perang nuklir dahsyat yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, dunia telah berubah menjadi bayangan suram dari masa lalunya. Peradaban runtuh, teknologi menjadi mitos yang terlupakan, dan umat manusia kembali ke era primitif di mana kekerasan dan kelangkaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah reruntuhan ini, legenda tentang The Mockingbird menyebar seperti bisikan di antara para penyintas. Simbol harapan ini diyakini menyimpan rahasia untuk membangun kembali dunia, namun tak seorang pun tahu apakah legenda itu nyata. Athena, seorang wanita muda yang keras hati dan yatim piatu, menemukan dirinya berada di tengah takdir besar ini. Membawa warisan rahasia dari dunia lama yang tersimpan dalam dirinya, Athena memulai perjalanan berbahaya untuk mengungkap kebenaran di balik simbol legendaris itu.
Dalam perjalanan ini, Athena bergabung dengan kelompok pejuang yang memiliki latar belakang & keyakinan berbeda, menghadapi ancaman mematikan dari sisa-s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Jalan Berdarah ke Relic
Matahari siang yang terik memukul wajah Athena saat ia berjalan di antara reruntuhan bangunan yang dulunya pusat kota. Bersama Elias, ia bergerak dengan hati-hati, menghindari jalan-jalan terbuka yang terlalu sepi atau terlalu ramai. Dunia ini penuh dengan jebakan. Semakin dekat mereka ke pegunungan tempat Puncak Relic berada, semakin terasa bahaya mengintai di setiap sudut.
“Menurut peta, kita harus melewati zona merah ini,” ujar Elias sambil menunjuk peta lusuh yang mereka bawa. “Ini dulu adalah distrik militer. Banyak persenjataan berat tertinggal di sini—dan penjaganya.”
Athena mengernyit. “Penjaga? Apa maksudmu?”
Elias menghela napas. “Beberapa kelompok tentara dari masa perang masih bertahan. Mereka membentuk faksi sendiri, menjalankan aturan mereka. Kalau kita ketahuan, mereka tidak akan ragu menembak.”
Athena mengangguk, menyadari betapa berbahayanya perjalanan ini. Namun, ia tak punya pilihan. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke Puncak Relic, dan ia takkan berhenti.
---
Saat matahari mulai tenggelam, mereka tiba di perbatasan zona merah. Di depan mereka, jalan yang dulunya penuh dengan kendaraan mewah kini berubah menjadi ladang ranjau. Kendaraan-kendaraan lapis baja yang rusak tersebar di sepanjang jalan, beberapa masih menunjukkan bekas ledakan besar.
“Berhenti,” Elias berbisik, menahan bahu Athena. Ia menunjuk ke depan, ke sesuatu yang nyaris tak terlihat—kabel tipis yang terhubung ke perangkat peledak.
“Perangkap?” Athena bertanya.
Elias mengangguk. “Mereka menempatkannya di mana-mana. Kita harus hati-hati. Ikuti aku.”
Dengan langkah perlahan, Elias mulai memandu Athena melalui labirin ranjau. Ia tampak terbiasa dengan medan ini, menghindari jebakan dengan cekatan. Athena mengikutinya, napasnya tertahan setiap kali kakinya hampir menyentuh sesuatu yang mencurigakan.
Namun, ketika mereka hampir keluar dari zona itu, sebuah suara keras terdengar.
Klik.
Athena langsung membeku. Kakinya tanpa sengaja menyentuh plat logam tersembunyi di bawah debu.
“Mati aku,” bisiknya.
Elias segera mendekat, wajahnya tegang. “Jangan gerakkan kakimu. Itu ranjau aktif.”
Athena menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Peluh dingin mengalir di dahinya saat Elias berjongkok, memeriksa ranjau dengan hati-hati.
“Aku bisa menjinakkannya,” katanya, suara lirih tapi penuh keyakinan.
Athena ingin bertanya apakah ia yakin, tapi takut suaranya akan mengguncang fokus Elias. Waktu terasa melambat saat pria itu bekerja, memutar kabel-kabel kecil dengan hati-hati.
Beberapa menit kemudian, terdengar bunyi klik pelan.
“Sudah,” Elias berkata sambil mengangkat ranjau itu dari tanah. “Ayo pergi sebelum kita menarik perhatian siapa pun.”
Athena menghela napas lega, tapi rasa tegang masih menggantung di udara. Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih hati-hati.
---
Malam itu, mereka memutuskan untuk beristirahat di dalam reruntuhan sebuah gedung. Api kecil yang mereka nyalakan memberikan sedikit kehangatan, tapi juga bisa menarik perhatian musuh.
“Kau sepertinya sangat ahli dalam hal ini,” kata Athena, memecah kesunyian.
Elias tersenyum tipis. “Aku dulu bagian dari kelompok penjaga. Tapi ketika aku tahu mereka hanya peduli pada kekuasaan, aku pergi. Dunia ini tidak butuh lebih banyak tirani.”
Athena mengangguk. Ia tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang seharusnya melindungi.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, suara langkah kaki mendekat. Banyak langkah kaki.
Athena dan Elias langsung waspada. Mereka mematikan api dan bersembunyi di balik puing-puing. Dari bayangan, sekelompok orang bersenjata muncul, membawa obor yang menerangi wajah mereka yang kasar dan kejam.
“Pasti ada orang di sini,” kata salah satu dari mereka. “Aku bisa mencium asapnya.”
Athena menggenggam pisaunya erat, sementara Elias mengeluarkan pistol kecil dari sakunya.
“Kita harus menyerang lebih dulu,” bisik Elias.
Athena menggeleng. “Mereka terlalu banyak. Kita perlu rencana.”
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, salah satu dari penyerang itu melihat ke arah mereka. “Di sana! Mereka di sana!”
Kekacauan pun pecah. Peluru beterbangan, mengenai dinding dan puing-puing di sekitar mereka. Athena dan Elias melarikan diri, mencoba mencari jalan keluar dari gedung yang kini berubah menjadi medan perang.
Dalam kekacauan itu, sebuah peluru mengenai bahu Elias. Ia terjatuh, darah mengalir dari lukanya. Athena segera membantunya bangkit, meskipun beban tubuhnya memperlambat langkah mereka.
“Kita tidak akan berhasil,” kata Elias dengan suara lemah.
“Diam. Aku tidak akan meninggalkanmu,” jawab Athena tegas.
Dengan segala kekuatannya, Athena menarik Elias keluar dari gedung itu, menghindari tembakan yang terus menghujani mereka.
---
Akhirnya, mereka berhasil meloloskan diri ke hutan terdekat. Athena menurunkan Elias di bawah pohon besar, mencoba menekan lukanya yang terus berdarah.
“Kau butuh bantuan,” kata Athena, suaranya gemetar.
Elias hanya tersenyum lemah. “Aku tidak akan bertahan lama. Dengarkan aku, Athena.”
“Jangan bicara seperti itu,” bentaknya.
“Dengar,” Elias berkata lagi. “Peta itu—kau harus melanjutkan perjalanan. Kau tidak bisa berhenti sekarang. Dunia ini butuh seseorang sepertimu.”
Athena tidak bisa menahan air matanya. Ia tidak ingin kehilangan Elias, orang pertama yang membuatnya merasa tidak sendirian. Tapi ia tahu, luka itu terlalu parah untuk diobati.
Dengan napas terakhirnya, Elias memberikan peta itu pada Athena. “Temukan Relic. Jangan biarkan pengorbananku sia-sia.”
Ketika Elias akhirnya menghembuskan napas terakhirnya, Athena merasakan sesuatu di dalam dirinya hancur. Tapi ia tahu, ia tidak bisa berhenti. Ia menutup mata Elias, memberikan penghormatan singkat sebelum melanjutkan perjalanannya ke dalam kegelapan malam.
---
Athena kini sendirian lagi, membawa beban kehilangan yang semakin berat. Ia berjalan dengan langkah goyah, tapi semangatnya untuk menemukan kebenaran tentang Puncak Relic semakin kuat.
Di depan, bayang-bayang pegunungan mulai terlihat. Tapi Athena tahu, perjalanan ini masih panjang, dan bahaya yang lebih besar menantinya.
---