Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan
"K-Kenapa T-Tuan justru memilihku? Bukankah Tuan bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih cantik dan baik daripada aku?"
Firda masih setia menunduk, tak berani menatap balik ke arah pria itu. Kini matanya hanya bisa menatap ujung sendal jepit yang dirinya kenakan. Tadi saat Tuan Abraham membawanya pergi dari rumah paman dan bibinya, Firda tak sempat menyiapkan sendal yang bagus untuk dirinya kenakan saat bersama dengan pria itu.
Firda hanya merasa terlalu terkejut hingga tak sempat memikirkan hal itu lagi. Akhirnya dia dengan tergesa memakai sendal jepit yang biasa dirinya gunakan kemana pun ia pergi. Baik saat berbelanja ke pasar ataupun saat pergi bekerja sebagai pelayan di cafe.
Seluruh uang yang Firda hasilkan dari bekerja selalu habis di tangan paman, bibinya, dan adik sepupunya. Sampai-sampai Firda tak punya apa pun lagi untuk membeli kebutuhan dirinya sendiri.
"Siapalah aku ini? Aku hanya gadis dekil, tidak cantik, dan badanku pun sangat kurus, ringkih, dan penyakitan. Aku sama sekali tidak mulus dan seksi seperti gadis di luaran sana. Aku sangat yakin Tuan bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih cantik dan baik daripada aku. Tapi ... kenapa harus aku yang Tuan pilih? Memangnya apa yang Tuan lihat dari diriku ini?"
Setelah Firda menyelesaikan kalimatnya, mengungkapkan segala keresahan yang melanda hatinya hari ini ... di mana semuanya terjadi begitu tiba-tiba mengejutkan kehidupan Firda yang selama ini memang tak pernah menemukan hari damai.
Di pagi hari yang cerah, saat dirinya hendak bersiap-siap pergi bekerja, secara tiba-tiba pamannya mengatakan telah menjualnya dengan harga satu miliar kepada seorang pria konglomerat. Lalu bibinya yang kejam datang dengan melemparkan pakaian tidak senonoh yang kurang bahan, dan memaksanya untuk mengenakan pakaian itu.
Semuanya terjadi begitu cepat, dan di hari ini pula dia langsung dipertemukan dengan pria konglomerat yang telah membelinya. Tentu saja semua itu membawa keresahan yang mendalam bagi Firda, gadis yatim piatu yang harus hidup dalam kemalangan sejak ia masih kecil.
Firda bahkan lupa ... kapan terakhir kali dirinya bahagia?
"Apakah sendal jepitmu itu lebih menarik dari wajahku, Firda?" Setelah hening sejenak ketika Firda usai mengungkapkan kegundahan hatinya, Abraham tak langsung memberi respons. Pria itu hanya diam dengan tenang seraya melemparkan tatapan tajamnya kepada gadis itu.
Sampai akhirnya ia tak tahan lagi dan langsung membombardir gadisnya dengan pertanyaan sindiran itu.
"Bicara yang sopan, Firda. Saat sedang bicara, tatap lawan bicaramu. Kamu sedang mengajakku bicara atau sedang bicara sendiri?" tegur Abraham lagi seraya menunjuk ringan wajah gadisnya menggunakan jari telunjuknya.
Teguran itu berhasil membuat Firda langsung merasakan debaran yang menggila pada jantungnya. Napasnya memburu dengan sangat cepat karena degup jantungnya yang bertalu-talu.
Dibesarkan dengan pola asuh yang salah oleh paman dan bibinya, tak ayal Firda tumbuh menjadi gadis yang sangat penakut. Terbukti di mana jantungnya berdegup kencang saat dirinya mendapatkan teguran dari Tuan Abraham. Jari jemarinya pun kini terlihat jelas bergetar hebat.
"M-Maaf, T-Tuan," tutur Firda dengan raut wajah hampir menangis. Gadisnya dengan terpaksa mengangkat kepalanya yang sedari tadi hanya menunduk dalam menatap ujung sendal jepitnya sendiri.
Binar matanya berpendar, takut-takut membalas tatapan Tuan Abraham yang sangat tajam. Tenggorokannya seketika mendadak terasa kering saat mata mereka bertemu. Ia langsung menelan ludahnya susah payah, guna membasahi kerongkongannya yang terasa begitu kering.
Rasa takut, gugup, dan panik bercampur menjadi satu menguasai seluruh jiwanya. Semua itu tercetak jelas dalam ekspresi yang saat ini tertampilkan di wajah gadis itu.
Bibir Abraham menipis muak. Sorot matanya begitu tajam kala menatap wajah gadisnya. "Ternyata dugaanku sejauh ini benar, ya," gumam Abraham tiba-tiba, yang tak dapat dimengerti maksudnya oleh Firda.
Melihat kedua alis gadisnya yang tampak menukik satu sama lain pertanda si empunya sedang berpikir keras saat ini, membuat Abraham semakin yakin bahwa asumsinya benar adanya.
Tiba-tiba jari telunjuk Abraham menyentuh dagu Firda, membuat gadis itu tanpa sadar langsung menahan nafasnya sendiri seraya mencengkram kuat ujung jas hitam yang saat ini dirinya kenakan.
"Apakah kamu benar-benar tidak mengingat wajah ini, Firda?"
Deg!
Kala pertanyaan itu terlontar dari bibir Abraham, hal itu langsung berhasil membuat tubuh Firda tersentak.
Sejak awal pertemuan mereka berdua pun, Firda telah memiliki firasat bahwa dirinya pernah melihat Abraham sebelumnya. Firda merasa siluet sosok Abraham tidaklah asing baginya. Namun, sekuat apa pun Firda berusaha untuk mengingat kenangannya dengan pria itu, hasilnya tetap nihil.
Firda tak mengingat apa pun.
Jadi, saat pertama kali melihat Abraham tadi, dirinya langsung menepis perasaan itu karena menganggap itu hanyalah sebatas perasaannya saja.
Namun, bagaimana jadinya jika perasaan yang sempat hadir dan dirinya telah abaikan itu, kini justru dikonfirmasi dengan begitu jelas oleh si empunya.
"Jadi ... kamu benar-benar tidak mengingatku, ya?" ujar Abraham lagi karena melihat keterdiaman gadisnya.
Mobil yang mereka tumpangi kini telah berhenti tepat di depan sebuah mension besar dan megah milik seorang Abraham Handoko. Sang sopir langsung turun dari mobil tanpa perlu diperintah. Sementara itu, di halaman luas mansion ini puluhan pelayan dan pengawal telah siap dan kini berjajar rapi hendak menyambut kedatangan sang Tuan mereka.
Pemandangan ini persis seperti di istana negeri dongeng yang pernah Firda impikan kala dirinya masih kecil.
Abraham mendengus pelan. "Sejujurnya aku merasa kecewa dengan fakta ini. Ternyata di sini hanya akulah pihak yang mengingat dengan jelas peristiwa lima tahun lalu, dan menganggap itu bagian yang sangat spesial yang pernah terjadi dalam hidupku. Sementara kamu ...."
Abraham sengaja menjeda ucapannya sejenak, tak langsung melanjutkan dengan maksud ingin mengintimidasi gadis di kini tengah bersamanya.
Di dalam mobil ini hanya tinggal tersisa mereka berdua. Suasana begitu hening dan senyap, menghantarkan perasaan tak nyaman dalam diri Firda.
Sorot mata tajam Abraham terlebih dahulu menelisik siluet sosok Firda yang saat ini tengah duduk di di sampingnya, menatapnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tak perlu mengucapkan sepatah kata apa pun, cara Abraham yang satu ini sangatlah ampuh membuat gadis itu merasa terintimidasi.
Keberanian yang tersisa dalam diri Firda, seketika menguar hilang entah ke mana hanya dengan ditatap seperti ini oleh pria itu.
Situasi ini membuat otaknya tak dapat berpikir dengan jernih hingga sulit mengingat reka ulang kejadian yang pernah dirinya alami bersama Abraham lima tahun lalu, sebagaimana yang pria itu katakan.
Ia tanpa sadar menggigit bibir bawahnya sendiri, menanti dengan cemas apa yang selanjutnya akan Tuan Abraham lakukan.
"Kamu menggodaku?" sela Abraham kala mata tajamnya melihat dengan jelas tingkah laku gadisnya saat ini.