"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Hari menjelang sore barulah Yani dan kedua anaknya beranjak pulang. Asya menatap telapak tangannya yang bergelembung akibat bergesekan dengan pegangan gembor tadi. Dan jika sudah seperti itu kadang dia kesulitan membantu sang ibu sebab jika meletus tangannya akan perih bukan main.
Sepertinya dia harus menabung agar bisa membeli kos tangan untuk melindungi tangannya.
"Loh, Asya, kok belum mandi?" Pertanyaan Yani sontak membuat Asya segera menyembunyikan tangannya tak ingin sang ibu sampai melihatnya.
"Si Luna tuh, Bu. Lama banget di kamar mandi," jawab Asya sengaja memperbesar suaranya agar Luna yang berada di dalam sana bisa mendengar.
"Iya. Iya. Sebentar lagi aku selesai kok!" teriak Luna dari dalam seakan tidak terima.
Yani dan Asya hanya tertawa mendengarnya. Yani kemudian melajutkan langkah menuju dapur meninggalkan Asya untuk memasak sebab suaminya akan datang sebentar lagi.
Asya merasa tubuhnya kembali segar setelah mandi. Dia baru akan keluar dari kamar saat bapaknya tiba di rumah. Awalnya Asya ingin menyambut sang ayah namun terhenti ketika melihat raut wajah bapaknya yang terlihat begitu lelah.
Hamid mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari balik saku jaketnya yang langsung diberikan pada Yani.
"Hari ini cuma dapat seratus ribu. Dikasih ke Pak Ismail tiga puluh terus dua puluh buat beli bensi. Sisanya tinggal itu," ujar Hamid dengan nada lesu.
Motor yang dipakai untuk ngojek memang bukan miliknya tapi milik Pak Ismail tetangga mereka yang baik hati mau meminjamkan motornya pada Hamid untuk mencari nafkah.
Yani tersenyum simpul. "Ya udah gak apa-apa. Syukuri saja berapapun itu," katanya tak ingin sang suami merasa terbebani. "Bapak mandi dulu gih. Asya sama Luna pasti udah pada laper," katanya lagi yang diangguki kepala oleh Hamid.
Asya menutup pintu kamarnya perlahan lalu berjalan lunglai ke arah meja belajarnya. Jika pendapatan bapak dan ibunya seperti ini terus, sepertinya Asya harus mengubur mimpinya untuk lanjut kuliah. Mendapatkan beasiswa juga mustahil, Asya tidak punya otak secerdas itu. Mungkin memang sebaiknya Asya tidak perlu kuliah dulu, lebih baik dia membantu orangtuanya mencari uang.
Gadis itu pun mengulas senyum kembali sebelum keluar dari kamar. Hamid itu tipe ayah yang sangat dekat dengan kedua putrinya. Pribadinya yang humoris selalu membuat keluarga mereka bahagia meski dalam keadaan yang serba kekurangan. Mereka hanya kekurangan dalam bidang ekonomi namun soal kasih sayang, Asya dan Luna tidak pernah merasa kekurangan sedikitpun.
***
Bekerja setelah pulang sekolah sudah menjadi kegiatan Asya setiap hari. Karena di sana masih daerah pedesaan sebagian besar warganya menjadi petani dan peternak.
Dari semua warga yang ada di sana hanya keluarga Asya yang tidak punya tanah untuk berkebun atau bertani. Rumah yang mereka tempati sekarang saja itu milik salah satu warga yang berbaik hati menolong mereka saat itu. Dia menyewakan rumahnya itu pada keluarga Hamid dengan bayaran sesuai dengan kemampuan mereka saja.
Hari itu Asya dipanggil salah satu warga untuk membantunya memetik kopi dengan upah lima ratus perak perliternya. Asya sama sekali tidak keberatan jika itu bisa menghasilkan uang. Asya memang sangat mahir memanjat namun tak jarang juga dia jatuh tapi tidak pernah ada yang tahu sebab Asya akan menyembunyikan lukanya hingga sembuh sendiri.
Tak hanya memanjat untuk memetik kopi yang memang memiliki batang yang lumayan tinggi, Asya juga kadang menjadi kuli untuk mengangkat buah-buahan seperti nanas, markisa atau mangga milik warga dari kebun ke tepi jalan. Walau kadang diejek teman sebayanya karena bekerja seperti laki-laki tak membuat Asya berhenti. Memangnya jika keluarganya tidak punya beras untuk dimasak mereka yang akan datang memberinya? Tidak kan. Jadi Asya selalu menulikan telinganya tak ingin mendengarkan ocehan mereka.
Termasuk ocehan orangtuanya sendiri.
"Asya, kamu gak perlu sampai bekerja sampai seperti itu, Nak," kata Yani pada Asya yang baru saja pulang ke rumah.
"Memangnya kenapa? Ibu malu kalo Asya kerja kayak gitu?" tanya Asya mendudukkan tubuhnya yang terasa begitu lelah.
"Bukan gitu, Asya."
"Terus kenapa, Bu?"
"Ibu gak mau kamu capek, Nak. Seharusnya kamu itu belajar. Sebentar lagi mau ujian akhir. Nanti kalo kamu gak lulus gimana?" kata Yani. Sungguh demi apapun dia sangat bersyukur punya anak seperti Asya yang membantu perekonomian orangtuanya. Hanya saja dia kasihan pada sang anak, apalagi Asya itu seorang perempuan.
Asya tersenyum simpul kemudian meraih tangan ibunya. Digenggamnya dengan erat tangan sang ibu yang terasa begitu kasar.
"Ibu tenang aja. Asya pasti bakalan lulus kok," katanya menyakinkan Yani. "Jadi biarin Asya bantuin bapak sama ibu kerja. Lagian Asya suka kok. Malahan kalo Asya tinggal aja di rumah, Asya bakalan ngerasa sakit, Bu," lanjutnya memasang wajah memelas agar Yani luluh dan membiarkannya. "Yah? Biarin Asya kerja juga?" bujuknya.
Dan jika sudah seperti itu Yani tidak mungkin menolak. Wanita itu hanya bisa menarik napas dalam lalu membuangnya. Memang tidak mudah membuat Asya yang keras kepala ini mau mendengarkan ucapannya.
"Ya udah, tapi Ibu gak mau kamu jadi kuli lagi. Kamu kerja yang lain aja," putus Yani dengan nada yang tidak mau dibantah sedikitpun.
Padahal Asya sudah mau bersorak namun mendengar ucapan Yani yang terakhir membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya kecewa. Padahal uang yang didapat lumayan banyak jika dia menjadi kuli.
"Tapi, Bu---"
"Asyafa Hamid."
Baiklah. Jika Yani sudah sudah menyebut nama lengkapnya itu berarti Asya tidak boleh melawan.
"Iya, Bu," kata Asya pada akhirnya. Dia kemudian merogoh tas kecil yang selalu menemaninya kemana saja sebagai tempat air minum. Mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribu sebanyak empat lembar yang kemudian diberikan pada Yani.
"Ini, Bu, hasil Asya kerja hari ini," katanya dengan nada begitu bangga. Dia senang sekali karena bisa membawa pulang uang yang cukup banyak.
Sementara Yani justru terharu sampai tak bisa menahan air matanya.
"Makasih ya, Nak," katanya mengambil uang tersebut lalu memeluk Asya sebentar.
"Iya, Bu. Sama-sama. Kalo gitu Asya mandi dulu ya. Udah bau asem. Hehehe," katanya kemudian berlalu dari sana menuju kamar mandi setelah pelukan sang ibu terlepas.
"Pantesan aja sakit banget," gumam Asya saat melihat lebam yang cukup lebar di paha bagian kanannya. Tadi saat akan mengangkat buah nanas yang sudah dimasukkan dalam karung tiba-tiba pegangan Asya terpeleset membuat buah dalam karung itu jatuh menimpa pahanya. Rasanya benar-benar sakit sampai membuat Asya hampir menangis.
"Kayaknya aku harus pake celana longgar dulu nih buat beberapa hari," gumamnya lagi sebelum menyiram air ke seluruh tubuhnya.
Asya harus menyembunyikan lukanya lagi. Sendirian.
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,