Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Penyelamat
Karin duduk dengan gelisah di bangku ruang tunggu yang ada di depan UGD. Tangannya mengepal erat, matanya tak berkedip menatap pintu ruangan tempat ibunya sedang ditangani.
Karin begitu khawatir, hingga tak terasa dia mulai menitikkan air mata. Dia menundukkan kepala menyembunyikan tangisannya. Hingga dia merasa seseorang mengelus bahunya dengan lembut.
"Jangan menangis. Saya yakin ibu kamu akan baik-baik saja," ucap orang itu.
Karin mendongak menatap sosok yang berdiri di hadapannya. Dia bersyukur bisa bertemu laki-laki sebaik itu yang mau menolongnya, dan membawa sang ibu ke rumah sakit. Ketika yang lainnya hanya berpangku tangan, laki-laki itu malah beraksi nyata.
"Mas Tara ...," ucap Karin lirih menyebut nama laki-laki itu.
"Hapus air mata kamu, dan tenangkan diri kamu." Tara menepuk bahu Karin lagi dengan lembut, lalu duduk disebelahnya.
Sambil tersenyum manis Tara menawarkan sekaleng minuman dingin pada Karin. "Minumlah, saya takut kamu juga ikut pingsan."
Karin menggeleng menolak tawaran Tara dengan halus. "Saya baik-baik saja kok Mas. Saya enggak akan pingsan."
Tara mengangguk tak memaksanya, lalu menyimpan minuman tersebut di samping Karin.
Karin pun menyeka air matanya, mencoba tenang seperti ucapan Tara. Namun, dia tak bisa memungkiri rasa takut dan rasa bersalah yang muncul di hatinya, dan hal itu membuatnya terisak kembali.
"Loh, kamu kenapa menangis lagi Rin?" tanya Tara.
Karin menatap Tara sambil berusaha menyeka air matanya yang tak mau berhenti. "Saya takut Mas ... dan saya sangat merasa bersalah sama Ibu. Ibu jadi begini gara-gara saya, Mas."
"Seharusnya saya tak memberitahu ibu soal masalah saya dan Mas Cakra," isak Karin.
"Mas Cakra? Laki-laki yang kemarin di kafe itu kah?" tanya Tara.
Karin mengangguk sambil terus menangis. Dia akui, dirinya bisa tegar dan kuat saat tahu Cakra mengkhianatinya, tapi dia tak bisa setegar itu jika melihat ibunya tak berdaya, dan kesakitan.
Tara mengulurkan sehelai saputangan berwarna abu ke hadapan Karin. "Hapus air mata kamu, atau perlu saya yang menghapusnya."
Karin sontak berhenti menangis mendengar ucapan Tara. Dia menatap Tara, lalu melihat laki-laki itu melontarkan senyum tipisnya.
"Saya hanya bercanda," ucapnya.
Tara lalu meletakkan sapu tangan miliknya dalam genggaman Karin. "Jangan menangis, kalau kamu menangis ibu kamu akan lebih merasa sakit di dalam sana. Lebih baik kamu berdoa semoga ibu kamu baik-baik saja."
Karin terus menatap Tara, ucapannya itu membuat Karin sadar, dan mulai merasa tenang.
Karin melengkungkan kedua tepi bibirnya dengan perlahan. "Terima kasih ya Mas ... Mas selalu menolong saya. Mas selalu muncul saat saya kesulitan. Saya pasti akan membalas kebaikan Mas Tara."
"Tidak usah berkata seperti itu Karin, Saya hanya kebetulan sedang ada urusan di sekitar situ, dan saya memang tidak bisa tinggal diam jika melihat ada orang kesusahan," ucap Tara.
"Tapi saya tidak menyangka loh orang yang saya tolong adalah kamu lagi ... apa jangan-jangan kita jodoh?" tambahnya.
Karin mematung, dan jantungnya mendadak berdebar saat mendengar perkataan Tara. Namun, tak lama Tara langsung menggeleng sambil mengibaskan tangannya.
"Hehe maaf saya cuma bercanda Karin, jangan pikirkan ucapan saya barusan ya," ucapnya.
"I-iya Mas."
Karin menunduk, dan tak sadar memainkan jemarinya. Entah kenapa sekarang dia merasa malu, dan tak berani melihat ke arah Tara.
Namun, diam-diam Karin melirikkan lagi matanya ke arah Tara. Lalu terlihat Tara mengeluarkan selembar kartu dari dalam dompetnya. Dia mengulurkan kartu itu pada Karin.
"Ini kartu nama saya, kamu bisa hubungi saya kalau perlu bantuan lagi."
Karin mengangguk sambil menerima kartu tersebut, dan mengantunginya ke dalam saku jaketnya.
Tara melihat jam tangan mewah yang melingkar di tangannya. "Saya sepertinya enggak bisa menemani kamu terus di sini. Saya masih ada urusan lagi yang harus ditangani."
"Ah, iya enggak apa-apa Mas. Sebentar lagi adik saya juga datang," ucap Karin mengerti.
"Baiklah kalau begitu saya permisi. Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi nomor saya." Tara berpamitan lalu pergi sambil melambaikan tangan.
Karin balas melambai hingga sosok berjas mewah itu tak terlihat lagi oleh matanya. Dia hendak melihat kartu nama yang diberikan Tara, tapi suara seseorang menginterupsinya.
"Keluarga Ibu Puspa," panggil seorang Dokter jaga.
Karin mengangkat tangan, lalu melangkah menghampiri dokter berbaju biru, dan berjas putih tersebut.
"Saya anaknya Ibu Puspa, bagaimana kondisi ibu saya Dok?" tanya Karin.
Dokter itu tersenyum ramah pada Karin. "Kondisi Bu Puspa alhamdulillah sekarang baik-baik saja. Pembuluh darahnya untungnya masih aman. Saya juga sudah memberinya obat penurun tekanan darah, tapi saya akan memantau terus kondisinya untuk 2 hari kedepan. Untuk memastikan kondisinya benar-benar aman."
"Jadi ibu saya perlu dirawat Dok?" tanya Karin.
"Iya, untuk memantau keadaan beliau. Jadi tolong segera diurus ke bagian administrasi biar bisa segera dipindah ke ruang rawat," jawab Dokter.
"Ba-baik Dok."
Karin pun segera menuju bagian administrasi untuk mengurus biaya rawat ibunya. Namun, betapa kagetnya dia saat mengetahui bahwa biaya pengobatan ibunya sudah lunas. Bahkan Ibu Puspa ditempatkan di kamar kelas 1.
"Maaf kalau boleh tahu yang lunasi semua biaya Ibu Puspa siapa ya?" tanya Karin pada petugas administrasi.
"Di sini tertera yang melunasi adalah Pak Fabian Arkantara," jawab petugas administrasi, sambil melihat data di komputer.
"Fabian Arkantara?" Karin merasa tak asing dengan nama itu, tapi dia juga merasa tak punya kenalan dengan nama Fabian.
Karin mencoba berpikir, lalu terlintas lah nama Tara di pikirannya. Dia mengecek kartu nama yang tadi dikantongi, dan ternyata betul di sana tertulis nama Fabian Arkantara, dan ternyata Tara adalah seorang desainer interior.
"Jadi Mas Tara yang sudah bayar semuanya," gumam Karin.
Karin jadi semakin merasa berutang budi kepada Tara. Laki-laki itu benar-benar memiliki hati yang mulia.
Tak sadar Karin pun tersenyum-senyum sendiri sambil menatap kartu nama yang ada di tangannya. "Aku akan lakukan apa saja untuk membalas kebaikanmu Mas. Aku harap aku bisa bertemu kamu lagi."
......
Ruang rawat
Karin duduk di samping ranjang Ibu Puspa, matanya tak beralih menatap wajah ibunya yang pucat. Ibu Puspa baru saja siuman, dan matanya masih terlihat sayu.
"Karin ...." lirih Ibu Puspa.
"Kenapa Bu? Ibu butuh apa? Atau ada yang kerasa sakit?" tanya Karin panik.
Ibu Puspa menggeleng, dia menatap Karin lama lalu mengelus tangan Karin dengan lembut. Matanya tampak berkaca-kaca lagi. Karin pun jadi ingin ikut menangis lagi, tapi kali ini dia harus tegar demi ibunya.
"Bu, Karin enggak apa-apa kok Bu. Ibu jangan pikirkan masalah Karin dan Mas Cakra ya," ucap Karin.
"Dan kata dokter ibu itu enggak boleh banyak pikiran dulu," tambahnya.
Namun, sepertinya Ibu Puspa tak bisa menaham isi hatinya. Ibu Puspa menggenggam tangan Karin dengan erat, dan suaranya begitu bergetar, berusaha menahan tangis. "Kenapa Cakra tega melakukan itu sama kamu, Rin? Kurang apa kamu dimata dia Rin?"