(#HIJRAHSERIES)
Keputusan Bahar untuk menyekolahkan Ameeza di SMA Antares, miliknya mengubah sang putri menjadi sosok yang dingin.
Hidup Ameeza terasa penuh masalah ketika ia berada di SMA Antares. Ia harus menghadapi fans gila sepupu dan saudaranya, cinta bertepuk sebelah tangan dengan Erga, hingga terlibat dengan Arian, senior yang membencinya.
Bagaimanakah Ameeza keluar dari semua masalah itu? Akankah Erga membalas perasaannya dan bagaimana Ameeza bisa menghadapi Arian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana Hasna Raihana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Sikap Dingin Erga
Melva memandang heran Ameeza yang berjalan lebih dulu ke kelas dengan tangan masih menggenggam ice tea yang tersisa setengah. Lebih aneh lagi Ameeza tidak mau menetap di kantin dengan alasan terlalu bising dan malas.
Melva mempercepat langkah kakinya. Terlalu memikirkan alasan kenapa Ameeza aneh hari ini membuatnya sedikit tertinggal. Melva menoleh setelah langkah kakinya sejajar dengan Ameeza.
"Lo kenapa?"
Ameeza mengabaikan Melva yang sedari di kantin tadi sampai sekarang terus menanyainya dengan pertanyaan yang sama.
"Serius lo gak kenapa-kenapa 'kan?" tanya Melva lagi.
Ameeza tetap sabar mendengar pertanyaan serupa yang terus menghujaminya. Ia berani berjanji jika sekali lagi Melva bertanya hal yang sama. Ameeza tak segan-segan untuk membungkam mulut Melva saat itu juga.
"Lo gak pa-"
"Berisik!" Suara Ameeza berubah tegas dan dingin. Tak lupa sorot mata setajam silet yang Ameeza lemparkan pada Melva. Membuat perempuan itu langsung bungkam di tempat.
Ameeza membuang ice tea-nya ke tempat sampah yang kebetulan dekat dengan Melva. Nyaris saja Melva terkena lemparan asal Ameeza. Untunglah Melva bisa menghindar.
Tangan Ameeza bergerak membenarkan maskernya yang sempat turun. Rasa pening dan sakit gigi di pipi sebelah kanannya membuat ia sedikit sensi.
"Gue ke UKS," ucap Ameeza sebelum ia berbalik arah dan berjalan menuju UKS.
"Dasar keras kepala," gumam Melva sebelum akhirnya berlalu pergi.
Suasana koridor sepi karena sudah waktunya jam pelajaran dimulai. Ameeza memilih memasuki UKS sebab rasa pening dan sakit gigi yang amat menyiksanya.
"Lo sakit apa?" tanya Shaula seraya mengangsurkan buku daftar siswa yang sakit.
Ameeza melepas maskernya. Lalu menyimpannya di saku rok. Perempuan itu belum bersuara. Ia memilih untuk fokus menuliskan namanya di buku daftar siswa-siswi sakit yang diberikan Shaula.
Selesai menuliskan namanya, Ameeza mendongak lalu menyodorkan kembali buku tersebut. Shaula menerimanya, lantas menyimpan buku itu di atas meja.
Tanpa menunggu respon dari Ameeza kenapa ia bisa masuk UKS. Shaula sudah hafal kebiasaan Ameeza setiap tahun atau setiap bulannya. Apalagi kalau bukan sakit gigi karena terlalu banyak memakan makanan manis.
Shaula mengambil obat sakit gigi, segelas air putih, dan pisang. Lalu meletakkannya di atas meja. Selepas menyiapkan itu Shaula beralih menarik kursi yang tak jauh dari kasur. Kemudian duduk.
"Lo keras kepala banget, sih. Dibilangin makan manis boleh tapi ada batasannya juga. Gak baik buat gigi lo," nasehat Shaula.
Tak acuh dengan nasehat Shaula. Ameeza memilih mengonsumsi obat sakit gigi yang sudah disiapkan Shaula. Selepas menelan obatnya yang dibantu air putih. Ameeza memakan pisang yang tersedia sebanyak-banyaknya. Rasa pahit memang tak mudah dihilangkan dari lidahnya. Namun, dengan mengonsumsi buah atau makanan apapun. Rasa pahit itu pasti hilang.
"Gue balik ke kelas dulu. Nanti ada anak kelas sebelas yang ke sini."
Ameeza mengangguk tanpa banyak oceh.
Ameeza menghadapkan tubuhnya ke samping kiri membelakangi pintu UKS. Suara pintu tertutup terdengar dan Ameeza yakin Shaula sudah keluar. Sebab itu Ameeza mulai memejamkan matanya. Meredam rasa sakit gigi dan pening yang bersatu padu menyiksanya.
Suara pintu terbuka membuat kelopak mata Ameeza urung menutup. Ia mendengus malas karena ada orang yang mengganggu waktu istirahatnya.
Ameeza berpura-pura tidur saat melihat salah seorang perempuan yang sepertinya anak kelas sebelas menuntun seorang perempuan lain yang tampak pucat untuk berbaring di kasur tepat di sampingnya.
Rasanya Ameeza sudah tidur terlalu lama. Ternyata ia hanya tidur sekitar tiga puluh menitan. Pemandangan yang pertama kali Ameeza lihat adalah seorang laki-laki yang sedang tertidur di kasur yang tepat di sampingnya.
Ameeza berjingkat kaget hingga kepalanya terantuk besi ranjang. Tindakan ceroboh Ameeza sukses membuat laki-laki yang sedang tertidur pulas di kasur tepat di sampingnya itu terbangun. Ia mendudukkan dirinya menyender ke headboard ranjang. Sebelum akhirnya pandangan laki-laki itu jatuh pada Ameeza yang tengah menatapnya.
Buru-buru Ameeza memalingkan wajah. Diam-diam Ameeza melirik laki-laki yang sudah beranjak turun menghampiri kotak obat. Laki-laki itu Erga. Yah, itulah sebabnya Ameeza berjingkat kaget sebab ia tahu sebelum tidur tadi orang yang berbaring di kasur samping itu seorang perempuan. Tapi, kenapa justru Erga?
Ringisan Ameeza membuat pandangan Erga kembali beralih setelah ia meminum obat sakit kepala. Erga yang peka akan itu menyodorkan obat yang masih tersisa beberapa butir ke tangan Ameeza. Tak lupa Erga mengambilkan minum juga.
Ameeza meremas bungkusan obat sakit kepala yang tak kunjung ia buka. Sebab ia tidak bisa meminum obat tanpa makanan pengganjal apapun. Jika memaksa maka yang terjadi adalah Ameeza akan kembali memuntahkan obatnya.
Sekantong cookies tersodor di depan Ameeza. Gadis itu mendongak menatap Erga tak mengerti. Kenapa? Laki-laki ini sangat peka dengan keadaan. Tanpa basa-basi lagi Ameeza menerimanya.
Erga kembali duduk di kasurnya. Menyibukkan diri dengan buku setebal kamus yang selalu ia bawa kemana-mana.
Tulisan i love you dan cookies yang berbentuk hati membuat Ameeza tersedak air minumnya. Dan obat yang ia telan benar-benar tersangkut di tengah-tengah saluran tenggorokannya.
Erga yang melihat kejadian itu segera menyimpan bukunya di samping meja. Lalu membantu Ameeza dengan menepuk belakang lehernya.
"Minggir." Tangan Ameeza mendorong tangan Erga yang sempat menepuk belakang lehernya.
Erga diam. Lalu mengangguk.
Gak mungkin dia sengaja. Pasti itu cuma kebetulan.
...-oOo-...
Meja Ameeza saat ini dikerumuni. Nyaris membuat Ameeza sesak napas dan kesal. Karena kebanyakan dari mereka berlomba-lomba untuk satu kelompok dengan Ameeza dalam tugas musikalisasi puisi.
Jangan tanya kenapa. Sudah jelas karena Ameeza famous di sekolah gara-gara kedua kakaknya dan sepupu-sepupunya. Tentu Ameeza tahu maksud mereka mendekati. Apalagi jika bukan numpang popularitas atau untuk mendapatkan hati kedua kakaknya dan sepupu-sepupunya.
"Gue satu kelompok dengan Melva, Siska dan Eza," putus Ameeza cepat. Keputusan itu membuat sebagian teman-temannya mendesah kecewa. Dan berakhir bubar.
Dari kejauhan Ameeza melihat Erga yang tampak diam saja mengamati teman-temannya yang mengobrol. Kening Ameeza berkerut, melihat sikap Erga yang tampak acuh. Padahal secuek apapun Ameeza ia tidak terlalu sulit untuk sekedar berbincang atau bercanda dengan teman sekelasnya. Tapi, Erga ... laki-laki itu sepertinya kesulitan.
"Lo cari kelompok lain aja, Ga. Kita-kita udah pas."
Erga mengangguk.
"Jangan kebanyakan diem makanya. Jadi, gak punya temen 'kan."
Celetukan itu tidak Erga gubris. Sedangkan Ameeza yang melihat itu sedikit kesal dan marah. Kenapa Erga tidak membungkam mulut laki-laki itu dengan ucapan.
...-oOo-...
"Erga."
Koridor sepi ini membuat suara panggilan Ameeza terdengar jelas. Erga yang semula berjalan cepat langsung berhenti. Sedetik kemudian berbalik tanpa ekspresi.
"Lo gak ada kelompok musikalisasi puisi?"
Entah kenapa melihat wajah Erga saat ini mengingatkannya kembali pada kejadian kemarin saat di UKS. Ekspresi datar namun tersirat kegelisahan.
Erga menggeleng.
Padahal Ameeza kira Erga akan menjawab dengan suara. Namun, nihil laki-laki di hadapannya ini selalu saja menjawab dengan isyarat. Apa bagi Erga sangat susah untuk mengeluarkan sepatah kata saja untuk menjawab? Rasanya Ameeza muak.
"Gue risih liat lo jadi pengecut kayak tadi."
Aura di sekitar Erga seketika mencekam. Wajahnya berubah gelap. Namun, Ameeza tidak menyadari itu. Perempuan dengan rambut dicepol asal itu kembali melanjutkan ucapannya.
"Lo gak bisa ngomong? Jangan jadi pengecut. Mereka akan semakin ngelunjak kalau dibiarin."
"Gue paling gak suka yang namanya pengecut," tambah Ameeza lagi sebelum beranjak pergi.
Perasaan kasihannya tadi seolah tidak ada guna. Melihat bagaimana Erga yang tampak santai saja dengan kejadian di kelas tadi. Niat mengajak Erga untuk bergabung di kelompok musikalisasi puisi pun urung. Perasaan muak yang ia rasakan saat ini benar-benar menghancurkan rasa ibanya.
"Tidak perlu ikut campur jika kamu tidak suka," tutur Erga dingin.
Erga melewati Ameeza yang membeku sesaat di tengah koridor. Sebelum akhirnya Ameeza tersadar dan mengakui bahwa perkataan Erga tadi sukses membuatnya tidak berkutik.
...-oOo-...