kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Novi berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan rasa gelisah yang mendalam, detak jantungnya semakin kencang setiap kali langkah kakinya menyentuh lantai. Ia telah memutar skenario di kepalanya, berpura-pura kehilangan ingatan pasca-kecelakaan, agar mendapatkan simpati dari Satria, pria yang selama ini diam-diam ia harapkan menjadi lebih dari sekedar teman.
Hari ini adalah hari yang menentukan, orang tuanya baru saja pergi menemui Satria dengan alasan yang dibuat-buat: memintanya untuk berpura-pura menjadi suami Novi demi membantu pemulihan ingatannya.
"Berhasil nggak ya? Duuhh," gumamnya gelisah.Mata Novi terus memandang ke arah jendela, menunggu kedatangan orang tuanya dengan berbagai kemungkinan hasil yang terus berkecamuk dalam pikirannya.
Akhirnya, ia melihat siluet mobil orang tuanya memasuki halaman. Dengan cepat, ia bergegas ke kamar, berpura-pura tidur, hatinya berdegup kencang, menunggu kabar yang akan menentukan nasibnya.
Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, Novi mengintip, melihat orang tuanya masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia berusaha menangkap setiap kata yang mungkin terlontar dari bibir mereka.
"Satria setuju," ucap ibunya dengan nada lega namun tetap rendah. Ayahnya mengangguk, tampak puas namun ada kekhawatiran yang tersirat di wajahnya. Novi, di balik pintunya, menarik napas lega, sekaligus merasa berdebar. Segala perasaan campur aduk memenuhi dada; lega, takut, dan terutama, harapan yang baru saja menyala.
***
Novi pura-pura terbangun dengan cahaya matahari yang menyelinap masuk melalui celah jendela. Ruangannya terasa hangat dan nyaman, tapi hatinya terasa kosong. Ia duduk di tepi tempat tidur sambil mengusap matanya yang masih terasa berat, seakan-akan mencoba menghapus kenangan yang tak ingin diingat. Ya, sehebat ini dia berakting.
"Buk, di mana mas Satria, suamiku buk? Bukankah dia harusnya ada di sini?" tanya Novi dengan suara yang terdengar berharap.
Ibunya, yang telah berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh simpati, menghela napas berat. "Nak, mas Satria sedang keluar kota. Ada urusan mendadak yang harus dia selesaikan," jawabnya, suaranya terdengar getir.
Novi merasakan hatinya tenggelam. Ia tahu ibunya hanya berusaha melindungi perasaannya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat ayahnya yang berdiri di balik ibunya, menggelengkan kepala pelan, seolah-olah merasa bersalah karena tidak bisa memberikan kabar yang lebih baik.
Sementara itu, Novi, yang masih berpura-pura amnesia, menatap kedua orang tuanya dengan tatapan yang sulit diuraikan. Ada campuran kecewa, marah, dan patah hati yang muncul di wajahnya yang biasanya ceria.
"Kenapa mereka bilang mas Satria ke luar kota? Padahal aku lihat tadi dia ada di masjid sama anak-anak," gumam Novi dalam hati.
"Kenapa ibuk dan bapak berbohong? Ada apa sebenarnya? Atau mas Satria sebenarnya baru aja pergi?"
Di dalam hati Novi masih berkecamuk. Kenapa juga satria masih belum mengunjungi nya? Padahal beberapa teman yang lain sudah datang menengok.Menghela napas dalam, Novi berusaha menguatkan diri.
"Baiklah, buk. Aku akan menunggu," ucapnya sambil mencoba menyembunyikan kekecewaannya. Ia berjalan kembali ke tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang sepi, mencoba mengumpulkan kepingan harapan yang masih tersisa. Di dalam hatinya, Novi berjanji untuk terus bertahan, meski pahit, meski sendiri.
****
Pagi itu, suasana di rumah Satria dan Adiba begitu hangat. Satria dengan cekatan menata baju-baju miliknya dan Adiba ke dalam satu tas besar. Adiba, yang sedang duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan gerak-gerik Satria dengan rasa heran dan bingung.
"Kita mau kemana, mas?" tanyanya dengan raut wajah penuh tanya.
Satria, tanpa menghentikan kegiatannya, menoleh dan tersenyum lembut.
"Kita akan pergi berlibur bertiga, dek. mas juga berencana kita mampir ke Saptosari, ke rumah orang tuamu," ujarnya seraya melanjutkan menata pakaian.
Mendengar kata 'Saptosari', Adiba merasa sebuah perasaan tidak enak mengusik hatinya. Sudah lama ia meminta untuk pulang, namun berbagai halangan selalu muncul.
"Beneran?"
"Semalam kita udah msmbicarakn ini kan?"
"Tapi mas, Diba tahu mas sibuk akhir-akhir ini... Dan Faraaz juga..." Adiba mencoba mengutarakan kekhawatirannya.
Satria mendekat, mengambil tangan Adiba dan menatap matanya. "Mas hanya ingin menyenangkan istri mas. Jadi, kita pergi. Mas ngak ingin kamu pergi sendiri," katanya penuh keyakinan.
Adiba menunduk...
"Bukankah kita sudah membicarakannya semalam, dek?"
Adiba tersipu, merasakan cinta dan pengertian dari suaminya membuatnya berbunga-bunga. Saat mereka tengah terbungkus dalam suasana romantis, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Faraaz, masuk dengan lincah sambil membawa tas kecil berisi baju-bajunya sendiri.
"Lihat, Abi, Umi! Faraaz sudah siap!" serunya Dengan adanya semangat, menunjukkan tas yang sudah dipaknya.
"Loh, jadi Faras sudah, tau?"
"Sudahz doung."
"ish! Mas Satria....."
"Umi, Abi, ayo kita berangkat!" rengek Faras.
Melihat antusiasme Faraaz dan bagaimana dia sudah mempersiapkan diri sendiri, Adiba tidak bisa menahan rasa bahagianya. Sebuah senyum lebar merekah di wajahnya.
"Anaknya umi, kesayangannya umi!" Adiba memeluk Faraaz, sambil menvium gemas.
"Kalau semua sudah siap, ayo ke depan," ajak Satria melangkah dengan membawa tas besar di bahu.
"Farazz bawa tas Faraaz sendiri, Abi."
Satria tak mengatakan apapun hanya mengusap kepala Faraz bangga.
Matahari pagi baru saja terbit memancarkan sinar keemasannya ketika Satria, Adiba, dan Faraaz bersiap-siap di depan rumah nyai Atiyah dan kiai Rouf. Mereka telah merencanakan liburan ini sejak lama dan tak sabar untuk menghabiskan waktu bersama di Saptosari, kampung halaman Adiba.
"Hati-hati, umi berharap setelah ini hubungan kalian makin harmonis dan cepat kasih Faraaz adek," pesan nyai Atiyah mengusap lengan Adiba yang tersipu malu-malu.
Namun, suasana hati yang ceria itu seketika berubah ketika Novi, wanita yang selama ini memendam cinta pada Satria, tiba-tiba muncul dengan langkah gontai dan mata yang sembab.
“Mas Satria, mas satria satria mau kemana?" Tanyanya mendekat dan menggapai lengan satria. Dengan cepat satria menarik tangannya.
Wajah Novi berubah. "Ada apa suamiku, kenapa kamu nggak mau aku sentuh?"
"Nak Novi, apa yang nak Novi lakukan di sini? Mana bapak sama ibuk?" tanya Nyai Atiyah mendekat.
"Ibuk sama bapak di ladang. Aku kemari mau lihat suamiku," ujar Novi dengan suara parau, sambil berusaha menggapai tangan Satria.
"Mas."
Novi bingung, bukankah bapak dan ibunya bilang jika satria setuju? Kenapa sekarang malah seperti ini, begitu batinnya.
Adiba yang berdiri di samping Satria dan memeluk lengan suaminya itu terkejut, matanya membulat tidak percaya. Jantungnya berdegup kencang, merasakan cemburu dan amarah yang bercampur aduk. Namun, ia mencoba tetap tenang, walaupun jelas terlihat ketegangan di wajahnya saat Novi menatapnya dengan pandangan penuh kebencian.
“Siapa kamu!? Kenapa dekat-dekat dengan suamiku! Jauhi mas Satria, dia milikku!” bentak Novi pada Adiba, suaranya terdengar tajam dan menyesakkan.
Keadaan semakin dramatis ketika orang tua Novi, dengan langkah terburu-buru dan mata berkaca-kaca, datang menghampiri mereka. Mereka tampak malu dan hancur, seraya meminta maaf atas perilaku Novi.
"Novi, apa yang kamu lakukan di sini, nak? Ayo pulang!"
"Enggak, buk! Novi masih mau bertemu dengan suami Novi!"
"Nanti saja, ayo pulang!"
"Tapi, buk!" Novi berganti pada satria dengan pandangan memohon, "mas."
Namun, Satria tak menggubris dan menatap lurus ke depan. Membuat Novi merasa kecewa dan mengerti, jika orang tua nya lah yang berbohong.
“Kami sangat menyesal atas apa yang terjadi, kami tidak tahu Novi akan bertingkah seperti ini,” ujar bapaknya Novi, sambil menangis tersedu-sedu.
Sedang ibunya Novi sudah menarik Novi menjauh. Sebuah ucapan pengakuan mengejutkan terlontar dari bibir bapaknya membuat Novi menangis.