Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Bisikan Kabut
Kabut yang tebal menyelimuti setiap langkah Ardan. Tidak ada suara, tidak ada angin, hanya hening yang terasa menekan. Dunia yang kini ia masuki terasa lebih sunyi dari sebelumnya, seolah waktu berhenti. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena kelelahan, tetapi karena perasaan aneh yang terus mengintainya—seolah sesuatu sedang mengawasinya dari dalam kabut.
Ardan menggenggam kunci perak erat-erat, berharap itu bisa menjadi jawaban untuk keluar dari dunia ini. Ia terus berjalan tanpa arah pasti, mencoba memahami di mana dirinya berada.
"Ke mana aku harus pergi?" gumamnya, suaranya menggema jauh di antara kabut.
Tiba-tiba, suara tawa kecil terdengar. Bukan suara yang menyenangkan, tetapi tawa yang terdengar tajam, penuh ejekan. Ardan menghentikan langkahnya, menoleh ke sekeliling, tetapi yang ia lihat hanya kabut putih.
"Siapa di sana?" teriaknya, mencoba terdengar tegas meskipun rasa takut mulai merayap di dadanya.
---
Wajah dalam Kabut
Dari kejauhan, sebuah bayangan muncul. Semakin lama semakin jelas. Sosok itu tinggi, dengan tubuh kurus yang hampir tak berwujud. Wajahnya hanya berupa bayangan gelap, tetapi mata merahnya bersinar tajam di antara kabut.
"Kau bertanya ke mana harus pergi?" suara sosok itu terdengar dalam, seperti berasal dari berbagai arah sekaligus.
"Apa kau tahu?" Ardan mencoba tetap tenang, meskipun kakinya gemetar.
Sosok itu tertawa lagi. "Tidak ada arah di dunia ini. Kau hanya akan terus berjalan sampai kau menemukan akhir—atau kau kehilangan dirimu sendiri di sini."
"Apa maksudmu?"
Sosok itu mendekat. Kabut di sekitarnya berputar seperti badai kecil, menciptakan angin dingin yang menusuk. "Dunia ini adalah refleksi dari dirimu sendiri. Setiap ketakutan, setiap kesalahan, dan setiap keinginan yang belum terpenuhi. Semakin lama kau di sini, semakin kabur siapa dirimu sebenarnya."
---
Penglihatan Masa Lalu
Tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangannya, dan kabut di sekitar Ardan berubah. Pemandangan yang tidak asing muncul—rumah lamanya, tempat ia tumbuh dewasa. Namun, rumah itu tampak rusak dan terbengkalai, seolah telah ditinggalkan selama bertahun-tahun.
Ardan melangkah mendekat, tangannya gemetar saat menyentuh pintu kayu yang hampir roboh. Saat ia membuka pintu, ia melihat dirinya sendiri, duduk di kursi dengan kepala tertunduk.
"Apa ini?" bisiknya.
"Itu adalah dirimu yang hilang," jawab sosok itu. "Bagian dari dirimu yang kau tinggalkan untuk melanjutkan perjalanan ini."
Ardan mendekati sosok dirinya yang lain. Pria itu perlahan mengangkat kepala, menatapnya dengan mata kosong. "Kau meninggalkanku," kata sosok itu dengan suara parau. "Kau terlalu sibuk mencari jawaban, hingga lupa siapa dirimu sebenarnya."
---
Pilihannya Kembali
Ardan mundur selangkah, kepalanya berputar. Segala sesuatu di ruangan itu terasa menyesakkan, seolah dinding-dindingnya mengecil.
"Aku tidak meninggalkan siapa pun," kata Ardan akhirnya. "Aku hanya mencoba bertahan. Aku hanya ingin menemukan kebenaran."
Sosok itu berdiri, matanya yang kosong kini menatap langsung ke mata Ardan. "Kebenaran tidak akan memberimu apa pun jika kau kehilangan dirimu sendiri dalam prosesnya."
Kabut kembali menyelimuti ruangan, dan semuanya menghilang. Ardan berdiri sendiri lagi di tengah kabut yang tebal.
Di depannya kini ada dua jalan. Satu jalan gelap dengan bayangan hitam yang bergerak di kejauhan, sementara jalan lainnya terang, dengan sinar matahari yang tampak memancar dari ujungnya.
"Aku muak dengan pilihan ini," gerutu Ardan, tetapi ia tahu tidak ada cara lain selain memilih.
Sosok bayangan itu kembali terdengar, meskipun tidak terlihat. "Pilihan yang mudah tidak selalu benar, dan pilihan yang sulit tidak selalu salah. Pilih dengan hati-hati, Ardan."
---
Melangkah ke Kegelapan
Ardan menghela napas panjang. Tanpa ragu, ia memilih jalan gelap.
"Aku tidak mencari jalan yang mudah," katanya dengan suara tegas. "Jika aku harus menemukan jawabannya, aku akan melewati apa pun yang menghadang."
Langkah pertamanya ke jalan gelap itu terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya. Namun, ia terus melangkah, menembus bayangan yang semakin pekat.
Di kejauhan, suara bisikan terdengar lagi. Kali ini, suara itu lebih jelas, tetapi ia tidak bisa memahami apa yang dikatakan. Hanya satu hal yang ia tahu: perjalanan ini baru saja dimulai kembali.
"Jika ini adalah harga untuk kebenaran," pikirnya, "aku akan membayarnya."