Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Canggung
📍Dallas Company
-Ruangan Kerja-
Tepat dipukul 7 malam. Reymond menghentikan pekerjaannya. Tubuhnya, dia senderkan dikursi kerja berbahan kulit berwarna hitam.
Sorotan mata itu tertuju pada ponsel yang ada di atas meja kerja, disamping berkas-berkas pekerjaannya.
Reymond kembali menarik dirinya dan meraih ponsel itu.
Kembali, mata itu terlihat serius saat membuka satu kontak seorang perempuan yang akhir-akhir ini mengisi pikirannya.
•Message•
Reymond: Emily, kamu ada dimana?
Jemari itu dia ketuk-ketuk saat menunggu balasan dari Emily.
Dan, berselang 10 menit, Emily membalas chat itu.
•Message•
Emily: Aku di apartement.
Emily: Baru selesai mandi, sorry baru balas.
Emily: Ada apa?
Reymond: Mau bertemu?
Reymond: Kebetulan, saya baru keluar dari kantor.
Reymond: Ayo bertemu, saya tunggu di dekat pantai biasa.
Emily: Kamu yakin? Ini masih pukul setengah 8 malam.
Emily: Masih banyak orang berlalu lalang di pantai.
Reymond: Kalau begitu, saya akan mengunjungi kamu di apartement(?)
Emily: Hm.
Emily kembali meletakkan ponselnya di atas meja rias. Dia pun bergegas mengurus dirinya: mengganti pakaiannya bahkan mengeringi rambut hitam panjangnya.
Langkahnya terlihat tergesa-gesa, tetapi… raut wajahnya terlihat bahagia.
Disisi lain pun, Reymond menatap kaca spion di samping. Menginjak gas sedikit lebih dalam dan menyalip mobilnya diantara mobil-mobil yang berjejer dijalanan kota.
****
📍Rai’s House
-Ruangan Makan-
Suasana di ruangan makan itu terlihat tenang dan damai. Dimana hanya ada Rein dan Mattheo dikursi makan.
“Dimana suamimu, Rein.” Tanya Mattheo yang mengudarakan matanya pada Rein.
“Kak Reymond, masih ada di kantor pa. Katanya, masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.” Ucap Rein yang sebelumnya menghentikan kunyangannya.
“Seharusnya, dia tidak perlu sering-sering mengunjungi Mvvo, kalau memang pekerjaannya sebanyak itu.” Gumamnya kembali mendorong makan masuk ke dalam mulut.
Sejenak, Rein dia mendengarkan pernyataan itu. Kepalanya sedikit dia miringkan saat memikirkan sesuatu.
“Memangnya, kenapa kalau kak Reymond sering ke Mvvo, pa? Bukannya juga sebentar lagi, dia akan menjadi bagian di Mvvo?” raut wajah itu terlihat penasaran.
“Ya, hanya saja… sebaiknya dia menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu, sebelum dia berkunjung ke Mvvo. Lagian, dia banyak membuang-buang waktu, untuk selalu mampir ke agensi.” Keluh Mattheo yang mulai terlihat kesal.
Tepatnya, karena kehadiran Reymond, Mattheo begitu sulit untuk memanggil Paula masuk ke ruangannya.
Membuat Mattheo, tidak bisa melakukan apa yang dia inginkan disetiap harinya.
****
Suara bel berbunyi. Tubuh itu tersentak dan membuat Emily menoleh. Wanita muda itu beranjak keluar dari kamarnya.
Dia berlari keluar dan membuka pintu apartement.
Senyum indahnya, disambut oleh kehadiran Reymond yang berdiri di hadapannya.
“Hai!” sapa singkat Reymond.
“Hai!” jawab lembut Emily.
Wanita muda itu mempersilahkan Reymond masuk ke dalam. Dan mata itu mengudara ke sekeliling ruangan yang terlihat rapi dan terang.
“Dimana meimeimu?” tanya Reymond dengan tenang.
“Hari ini, Baby menginap di tempat temannya. Ada tugas kampus yang harus dia selesaikan untuk besok.” Jelas Emily yang masih berdiri di belakang Reymond. “Aku ambilkan minum sebentar, silahkan duduk saja.” Ucapnya, yang kemudian beranjak ke dapur.
Masih, mata itu memandangi sekeliling apartement. Dia menghela napas ketika memutuskan untuk duduk di sofa berwarna putih di ruangan tengah.
Terasa tenang dan nyaman, begitulah yang ada. Mata indah itu terangkat menatap Reymond dari kejauhan. Dia melemparkan senyum, sekalipun Reymond tidak melihat itu.
Suara langkah yang terdengar jelas menyapu marmer, mendekati Reymond dengan tangan membawa minuman.
“Silahkan.” Emily pun duduk di samping Reymond dan meletakkan orange juice di atas meja.
“Terima kasih.” Singkat Reymond tersenyum tipis.
Canggung?…
Itu jelas ada.
Emily pun menghela napasnya perlahan. Mencoba untuk bersikap tenang saat berada di samping Reymond.
“Kamu sudah makan malam, Emily?” tanya Reymond, mencoba memecahkan keheningan diantara keduanya.
Dia menggelengkan kepala. “Belum. Aku belum makan.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita pesan makanan saja?” saran Reymond yang menatap Emily di samping.
Emily pun mengangguk menerima saran itu. Dimana kemudian, Reymond meraih ponselnya dan mulai memesan makanan yang mungkin disukai Emily.
****
“Silahkan duduk, Yubin.” Pinta Tano.
Dimana malam ini, Yubin memutuskan untuk menemui Mr. Tano. Dan sebelumnya, dia mengirim pesan pada Nano, tangan kanan Mr. Tano.
Yubin pun beranjak duduk, dengan pandangannya yang ke bawah tanpa melihat Mr. Tano.
Tano terus menatap Yubin, dengan tatapan yang penasaran sedikitnya. “Saya tebak, kedatangan kamu kemari… pasti ingin membahas prihal sore tadi. Benarkan?”
Yubin pun mengangguk pelan. “Iya,” jawabnya singkat yang masih tidak menatap Tano.
Senyum itu tersimpul dibibir Tano. Pria bertubuh tegap itu, menyenderkan punggungnya disofa yang dia duduki.
“Kamu merasa takut, kalau dia… mengetahui kamu sering bertemu dengan saya akhir-akhir ini?” tanya Tano, dengan tatapan tenang yang mengandung arti.
“Hm.” Singkat Yubin, yang masih belum menatap Tano.
Sejenak, Tano menghela napasnya. “Kamu gak perlu khawatir, Yubin. Saya tidak akan menyinggung kamu, dipembicaraan saya dengan presedirmu, dikemudian hari.” Jelas Tano, mencoba meyakinkan Yubin.
Perlahan, Yubin menaikkan pandangannya. Dia menatap Tano dengan penuh arti. “Saya tidak percaya soal itu.”
Tano pun mengangguk pelan, setelah mendengsr pernyataan Yubin. “Ya, itu hak kamu untuk tidak mempercayai hal itu, Yubin. Saya hanya bisa mengatakan sep—“
Belum usai dia bicara, Yubin langsung memotongnya. “Bapak… sebenarnya mau apa?” tanyanya dengan nada hati-hati.
“Saya?” ucapnya menatap Yubin. “Memangnya saya mau apa, dari orang sepertimu, Yubin?” kalimat itu terdengar menyakitkan, tapi… terdengar realistis.
Memangnya, Yubin bisa memberi apa untuk Mr. Tano. Bahkan, Mr. Tano pun bisa mendapatkan hal lebih dari sisi mana pun.
Dia bahkan tidak terlihat seperti seseorang yang sedang menjebak Yubin. Tetapi, berbeda jelas di dalam pikiran Yubin.
“Jangan khawatir. Ini tidak ada kaitannya denganmu Yubin. Dan saya pastikan, kita hanya dua orang asing, yang tidak saling kenal di depan umum ataupun di dalam perusahaan tempat kamu bekerja.” Jelas Tano dengan tegas namun dengan nada pelan.
****
“Tapi… kalau aku boleh tahu. Kenapa kamu ingin bertemu denganku? Apa ada yang ingin dibicarakan?” tanya Emily dengan menatap gelas kaca di meja di hadapannya.
Reymond mencerna ucapan itu. Dia memberikan jeda pada dirinya beberapa detik, untuk tidak langsung menjawab pertanyaan Emily.
Kembali, dia mengudarakan matanya ke beberapa sudut di ruangan itu.
“Hanya… saya ingin melakukannya.” Jawab Reymond dengan tenang.
Emily langsung menatap Reymond yang ada di sampingnya. Dia mencoba untuk mencari jawaban yang tepat dari raut wajah Reymond.
“Kenapa, hm?” Reymond membalas tatapan itu.
Emily pun menggelengkan kepalanya. Dia menunduk akan tetapi, tangan Reymond langsung menarik dagu itu, agar Emily menatap Reymond.
Dan keduanya saling bertatapan satu sama lain. Di ruangan yang mulai terasa hening dan tenang.
Cukup lama Reymond memandangi wajah itu. Dan didetik itu pula, Emily terus mencari jawaban dari raut wajah Reymond yang tidak kunjung dia temui.
Bel berbunyi keheningan terpecah seketika.
“Aku akan mengambil makanannya.” Ucap Emily yang beranjak.
Namun, Reymond menahan pergelangan tangan itu. Dia langsung menarik tubuh Emily yang terjatuh didekapannya.
Jarak diantara kedua teramat dekat. Jantung itu berdegup dengan cepat saat menatap Reymond yang ada di bawahnya.
Reymond memiringkan kepalanya, dan Emily menutup kedua bola matanya perlahan. Dimana kecupan itu terasa dibibirnya.