Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Jebakan Sang Maestro
Di sebuah gedung pencakar langit di pusat kota London, Leonard Drakos berdiri di depan jendela besar, menatap hujan yang mengguyur jalan-jalan di bawah. Tangannya memegang segelas anggur merah, wajahnya menunjukkan senyum tipis penuh kemenangan.
Di belakangnya, layar besar menampilkan peta dunia dengan beberapa titik berwarna merah yang berkedip, menunjukkan lokasi strategis. Seorang pria bersetelan hitam mendekat, menyampaikan laporan.
“Tim di lapangan melaporkan bahwa bunker mereka telah ditemukan, tetapi target utama berhasil kabur.”
Leonard memutar tubuhnya perlahan, tatapan dinginnya menusuk pria itu. “Jadi kau membiarkan mereka hidup?”
“Maaf, Tuan. Mereka lebih terlatih dari yang kami perkirakan,” jawab pria itu dengan nada penuh ketakutan.
Leonard meletakkan gelas anggurnya di meja, lalu berjalan mendekati pria itu. Dengan gerakan cepat, dia mencengkeram kerah pria tersebut. “Aku tidak menerima kegagalan. Jika kau tidak bisa menyelesaikan pekerjaanmu, maka aku akan mencari orang lain.”
Pria itu mengangguk cepat, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Leonard. “Saya akan memastikan mereka tidak lolos lagi, Tuan.”
Leonard melepaskannya dengan kasar. “Kau punya waktu 48 jam. Temukan mereka, atau kau tidak akan punya waktu lagi untuk menyesal.”
---
Di tempat lain, Ariella dan timnya sedang berada di sebuah gudang tua yang mereka gunakan sebagai titik aman sementara. Wajah-wajah mereka penuh kelelahan, tetapi tidak ada waktu untuk beristirahat.
Ariella menatap peta yang terbentang di atas meja. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Jika Leonard benar-benar dalang di balik ini, kita harus menyerang sebelum dia melancarkan rencananya.”
Liana, yang sedang memeriksa laptopnya, mengangkat tangan. “Aku berhasil melacak beberapa lokasi yang terkait dengan perusahaannya. Salah satu yang mencurigakan adalah fasilitas di pinggir kota ini. Aktivitasnya meningkat drastis dalam dua minggu terakhir.”
Rael, yang duduk di sudut dengan wajah muram, akhirnya angkat bicara. “Kita tidak punya cukup orang untuk menyerang fasilitas sebesar itu. Ini seperti bunuh diri.”
Ariella menatapnya tajam. “Kita tidak punya pilihan, Rael. Jika kita menunggu, dia akan melancarkan serangan yang tidak bisa kita hentikan.”
“Tapi bagaimana kalau ini jebakan?” tanya Rael, suaranya dipenuhi keraguan.
Ariella mendekatinya, berbicara dengan nada yang lebih lembut. “Aku tahu ini berbahaya. Tapi kita tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikan kita. Kita sudah sejauh ini, Rael. Jangan berhenti sekarang.”
Rael tidak menjawab, tetapi Ariella bisa melihat keraguan di matanya.
---
Malam itu, mereka mulai menyusun rencana. Tim mereka terbagi menjadi dua: satu tim akan menyusup ke fasilitas tersebut untuk mengumpulkan bukti, sementara tim lainnya akan menunggu di luar untuk memberikan dukungan jika terjadi sesuatu.
“Liana, kau tetap di sini dan terus pantau dari jauh. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, beri tahu kami segera,” kata Ariella.
“Dimengerti, Komandan,” jawab Liana sambil mempersiapkan peralatan komunikasinya.
Rael akan ikut dalam tim penyusup bersama Ariella, meskipun dia masih tampak tidak yakin.
---
Fasilitas itu berada di tengah hutan, dengan penjagaan ketat di setiap sudut. Ariella dan timnya bergerak dengan tenang, menghindari kamera pengawas dan patroli bersenjata.
“Ada enam penjaga di gerbang utama,” bisik Rael melalui radio.
“Kita tidak masuk lewat sana. Cari jalan lain,” jawab Ariella.
Mereka menemukan jalan kecil yang mengarah ke sisi belakang fasilitas, di mana mereka berhasil memanjat pagar tanpa terdeteksi.
Begitu masuk, mereka menemukan sebuah gudang besar yang penuh dengan kotak-kotak logistik. Di sudut lain, ada pintu baja yang tampaknya mengarah ke ruang bawah tanah.
“Aku akan periksa pintu itu,” kata Ariella.
Rael mengikutinya, sementara anggota tim lainnya berjaga di luar.
Saat Ariella berhasil membuka pintu dengan alat peretas, mereka menemukan tangga yang turun ke ruang bawah tanah. Udara di dalam terasa dingin dan lembap, dan suara langkah kaki mereka bergema di sepanjang lorong.
Di ujung tangga, mereka menemukan ruangan besar yang dipenuhi dengan layar monitor dan peralatan canggih. Di tengah ruangan, ada meja yang menampilkan peta digital dengan tanda merah di beberapa lokasi.
“Apa ini…” gumam Rael, matanya terpaku pada layar.
Ariella memeriksa data yang ditampilkan. “Ini rencana serangan mereka. Mereka menargetkan pusat-pusat kekuatan dunia.”
Sebelum mereka sempat mencerna informasi itu, suara langkah kaki terdengar dari lorong.
“Musuh datang!” bisik Rael sambil mengangkat senjatanya.
Ariella menyiapkan posisinya, bersiap menghadapi serangan.
---
Pertempuran di ruang bawah tanah itu berlangsung sengit. Musuh menyerang tanpa henti, tetapi Ariella dan Rael berhasil bertahan. Tembakan bergema di sepanjang lorong, membuat ruang sempit itu terasa seperti medan perang.
“Kita harus keluar dari sini!” teriak Rael.
“Tidak sebelum kita membawa data ini!” balas Ariella sambil memasukkan file-file penting ke dalam drive eksternal.
Namun, situasi semakin buruk. Musuh terus berdatangan, dan amunisi mereka mulai menipis.
“Komandan, kita kehabisan waktu!” teriak Rael lagi.
Ariella akhirnya memutuskan untuk mundur. “Lari ke arah lorong selatan! Itu jalan keluar kita!”
Mereka berhasil keluar dari fasilitas itu dengan membawa drive berisi data penting. Namun, saat mereka mencapai titik pertemuan, mereka mendapati tim mereka telah disergap.
Liana yang berada di pos pengawasan mencoba menghubungi mereka melalui radio. “Komandan, kalian dikepung! Mereka tahu kalian ada di sini!”
---
Ariella menyadari bahwa mereka telah dijebak. Data yang mereka ambil adalah umpan, dan Leonard Drakos telah menunggu momen ini untuk menjebak mereka.
Dengan musuh mendekat dari segala arah, Ariella tahu mereka harus membuat keputusan cepat. Dia menarik napas panjang, menatap Rael yang tampak ragu.
“Rael, aku butuh kau percaya padaku. Kita akan keluar dari sini hidup-hidup.”
Rael mengangguk pelan, dan bersama-sama, mereka bersiap menghadapi musuh terakhir.
Di tengah kegelapan malam, mereka bertarung mati-matian, berusaha melawan rencana besar Leonard Drakos yang mulai terungkap. Tapi Ariella tahu, ini baru permulaan dari perang yang lebih besar.