Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bergejolak
Di dalam kamar sederhana yang berantakan dengan beberapa pakaian berserakan di lantai, Kirana menatap layar ponselnya sambil menghela napas berat. Jari-jarinya terus menggulir daftar pekerjaan yang terlihat tidak menjanjikan. Dia frustrasi, tapi tetap berusaha keras mencari peluang.
Tiba-tiba, suara pintu depan yang dibuka dengan keras membuatnya mengangkat kepala. Arini muncul di ruang tamu dengan beberapa tas belanja bermerek di tangannya, wajahnya berseri-seri.
"Kirana, lihat apa yang Ibu bawa!" ujar Arini dengan nada ceria sambil meletakkan tas-tas itu di meja.
Kirana keluar dari kamarnya, menatap tas-tas itu dengan ekspresi dingin. "Apa ini, Mah?"
"Barang-barang baru untuk kita. Lihat, ada tas yang harganya mahal sekali! Cocok untuk dipakai di acara-acara penting," jawab Arini, mengambil salah satu tas dan menunjukkannya dengan bangga.
Kirana menggelengkan kepala, wajahnya penuh dengan rasa muak. "Mama serius? Mama benar-benar memakai uang itu untuk ini? Tidak ada rasa malu atau penyesalan sedikit pun?"
Arini meletakkan tas itu, ekspresinya berubah kesal. "Kenapa kau selalu menghakimi Ibu, Kirana? Kau tahu kan hidup ini keras? Kalau bukan karena uang itu, kita sudah tidak punya apa-apa!"
Kirana mendekat dengan mata berkilat marah. "Tapi, Mah, uang itu haram! Mama tahu betul bagaimana cara Mama mendapatkannya, dan tetap saja Mama merasa ini wajar? Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Mama sekarang."
Arini mendengus, melipat tangan di dada. "Kau harusnya bersyukur. Kalau kau memang tidak mau menikmati uang ini, ya sudah, setidaknya kau berguna untuk ku."
Kata-kata itu seperti tamparan keras bagi Kirana. Dia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Mama... bagaimana Mama bisa mengatakan itu? Aku anak Mama! Tapi Mama malah melihatku sebagai alat untuk keuntungan Mama sendiri?"
Arini membuang muka, menghindari tatapan Kirana. "Sudah cukup. Kalau kau tidak mau bicara yang masuk akal, lebih baik diam."
Kirana berdiri mematung, air matanya mulai jatuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan keras. Di balik pintu, tangisnya pecah, mengalir bersama perasaan hancur yang terus menggerogoti hatinya.
...----------------...
Malam itu, Arini sedang duduk di ruang tamu sambil memandangi tas-tas belanja yang baru saja dibelinya. Pikirannya bercampur aduk antara rasa puas dan kecemasan akan hubungan dengan Kirana. Tiba-tiba, teleponnya berdering. Nama Haryo tertera di layar. Dengan ragu, Arini menjawab panggilan tersebut.
Arini: "Halo, Haryo. Ada apa malam-malam begini?"
Haryo: "Arini, aku hanya ingin bertanya satu hal. Sudah sejauh mana pembicaraanmu dengan Kirana soal lamaranku?"
Arini terdiam sejenak, berusaha mencari jawaban yang tepat. "Aku... aku sedang mencoba meyakinkannya. Kau tahu, Haryo, Kirana masih butuh waktu. Dia belum siap."
Di seberang telepon, suara Haryo berubah dingin. "Waktu? Aku sudah memberi kalian cukup banyak waktu, Arini. Jangan lupa, aku sudah mengeluarkan 5 miliar untuk mendapatkan Kirana. Dan sekarang kau bilang dia belum siap?"
Arini mulai panik. "Haryo, kau tahu sendiri situasinya. Dia anakku, aku tidak bisa memaksanya begitu saja."
Haryo: "Oh, jadi kau mau mengingkari kesepakatan kita? Kau harus tahu, Arini, kalau Kirana tidak menjadi milikku, aku akan menuntutmu. Kau harus mengembalikan semua uang yang sudah kuberikan, lengkap 5 miliar. Dan kalau kau tidak bisa, aku akan melaporkanmu atas tuduhan perdagangan anak."
Mata Arini membelalak. Tangannya gemetar memegang telepon. "Apa? Haryo, kau tidak bisa melakukan itu! Kau tahu aku tidak punya uang sebanyak itu."
Haryo: "Itu masalahmu, bukan masalahku. Tapi, dengar ini baik-baik: jika Kirana setuju untuk menikah denganku, aku akan memberimu tambahan 10 miliar. Hidupmu akan terjamin selamanya, dan kau tidak perlu khawatir lagi tentang apa pun."
Arini memejamkan matanya, mencoba mencerna kata-kata Haryo. Tawaran itu terlalu menggiurkan untuk diabaikan, tetapi ancaman yang dia lontarkan membuatnya ketakutan.
Arini: "Haryo, beri aku waktu lagi. Aku pasti akan membicarakannya dengan Kirana. Aku hanya perlu sedikit waktu untuk membujuknya."
Haryo: "Waktu? Kau hanya punya beberapa hari, Arini. Kalau sampai minggu depan Kirana tidak setuju, aku akan mengambil langkah sesuai yang kubilang tadi. Ingat itu."
Haryo memutuskan panggilan tanpa memberi Arini kesempatan untuk merespons. Arini terduduk lemas di sofa, napasnya terengah-engah. Ketakutan merayapi dirinya, dan tawaran uang tambahan justru semakin membuat pikirannya kacau.
Dia menatap pintu kamar Kirana yang tertutup rapat, suara isak tangis putrinya masih terngiang di telinganya. Dalam benaknya, Arini mencoba mencari cara untuk merayu Kirana lagi, tapi kali ini ancaman Haryo membuatnya semakin terpojok.
Arini berbisik pada dirinya sendiri: "Aku harus mencari cara... aku harus meyakinkan Kirana. Aku tidak punya pilihan lain."
...****************...
Pagi itu, Kirana sibuk berdandan di depan cermin kecil di kamarnya. Ia mengenakan kemeja putih rapi dan rok hitam sederhana, tampak berusaha tampil seprofesional mungkin. Surat elektronik yang ia terima semalam dari sebuah kafe memberinya harapan baru, meskipun kecil, untuk memulai hidup yang lebih baik.
Saat Kirana sedang merapikan rambutnya, pintu kamarnya terbuka. Arini muncul dengan wajah penasaran.
Arini: "Kirana, kamu lagi apa? Mau ke mana pagi-pagi?"
Kirana tanpa menoleh: "Mau wawancara kerja, cari pekerjaan yang halal."
Nada bicara Kirana jelas terdengar ketus, tetapi Arini hanya mendengus. Ia menyilangkan tangan di depan dada dan bersandar di pintu.
Arini: "Di situasi kayak gini, ngapain sih pusing-pusing cari kerja halal? Gajinya juga nggak seberapa. Mending kamu terima lamaran Haryo. Hidup kamu bakal enak, nggak usah repot-repot cari uang."
Kirana berbalik, menatap ibunya dengan mata penuh kemarahan: "Mamah ngomong kayak gitu nggak malu? Apa di otak Mamah itu cuma ada uang dan kekuasaan? Mamah nggak ada rasa empati sama aku sama sekali? Mamah tahu aku trauma, tapi malah nyuruh aku nikah sama orang itu!"
Arini mendekat, menatap Kirana tajam: "Kirana, denger ya! Haryo itu udah bayar mahal buat kamu. Keperawanan kamu udah dibeli sama dia, jadi sekalian aja kamu nikah. Itu pilihan yang paling logis."
"Logis? Mamah serius ngomong kayak gini? Aku ini anak Mamah, bukan barang yang bisa dijual seenaknya! Kalau Mamah cuma peduli sama uang, lebih baik Mamah nggak usah jadi orang tua aku!"
Kirana meraih tasnya dengan gerakan kasar dan berjalan keluar kamar. Arini mencoba mengejarnya.
"Kirana, tunggu! Jangan keras kepala gini, dong! Semua yang Mamah lakuin ini demi kebaikan kamu juga."
Kirana berhenti di ambang pintu, menatap Arini dengan air mata menggenang"Demi aku? Kalau Mamah benar-benar peduli sama aku, Mamah nggak akan ngelakuin ini semua. Aku muak sama sikap Mamah!"
Tanpa menunggu jawaban, Kirana melangkah keluar rumah dengan cepat, meninggalkan ibunya yang terdiam di tempat.