Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-bayang Pernikahan
Bab 8
Bu Nira tidak banyak bicara lagi, saat Elara menyetujui permintaan pamannya, Jajang. Meski pun jantungnya terasa copot. Uang dua puluh juta, sangat mudah disetujui Elara. Bahkan untuk kehidupan sehari-hari selama ini saja, selalu kekurangan.
"Udah Bu, jangan ngelamun gitu. Makin keliatan kaya orang susah."
"Tapi, kita memang orang susah Nak. Harus mengukur itu sebelum memutuskan sesuatu." Suara Bu Nira begitu lemah.
"Nah. Ini 'nih. Ini yang buat kita selalu miskin. Ucapan adalah doa Bu. Kita ini orang hebat, kuat dan sanggup bangkit."
Bu Nira menoleh pada anaknya yang memang selalu terlihat ceria. Dia tersenyum dan meraih lengan Elara, perjalanan sore itu terasa hangat, meski langit mulai gelap.
###
Langit sore menyelimuti desa kecil itu dengan nuansa jingga yang tenang, namun di hati Elara, badai sedang mengamuk. Seiring kabar pernikahannya menyebar, satu per satu bisikan gosip mulai menusuk telinga. Padahal dia rasa baru saja membahas pernikahan dengan keluarga, tidak pernah berita ini dibahas dengan orang luar. Namun, namanya kampung panas, sedikit saja gosip, menyebarnya bisa hitungan detik.
Semua tetangga seakan memiliki cerita sendiri tentang gadis berusia tujuh belas tahun yang akan menikah secara tiba-tiba. Suara-suara halus tapi tajam menyusuri gang-gang sempit di kampung itu, berbisik di antara selokan yang penuh genangan, dan memantul di sepanjang pagar-pagar rumah.
"Apakah dia hamil duluan?" bisik seorang wanita tua di sudut warung kelontong, tatapannya mencurigai Elara yang baru saja lewat.
"Seharusnya ia masih sekolah, kenapa harus terburu-buru?" seorang pria setengah baya menambah perihal, seakan tahu lebih banyak dari sekadar desas-desus.
Elara dan ibunya tetap melangkah tanpa menoleh, namun dalam hatinya, setiap kalimat terasa seperti pisau yang mengiris perlahan. Tidak ada yang tahu kisah sebenarnya, tentang Zayden dan keputusan mendadak ini. Dan Elara sendiri masih belum yakin apakah ini adalah takdir atau jebakan yang harus ia terima. Tapi yang jelas, langkah-langkah ini sudah tidak bisa lagi dihindari.
Setiap kali ia harus ke kantor desa untuk mengurus berkas-berkas, tatapan sinis tak terhindarkan. Para pegawai, yang awalnya ramah, kini seperti berubah menjadi segerombolan burung nasar, menunggu bangkai skandal yang bisa mereka ceritakan kembali di balik meja mereka. Elara bisa mendengar bisik-bisik mereka, kadang lirih tapi selalu menusuk, berbicara tentang anak di bawah umur yang akan menikah.
"Kamu dengar? Anak itu baru tujuh belas tahun, tapi sudah menikah. Ada apa, ya? Pasti ada yang salah," salah satu petugas desa bergumam pada rekannya, saat Elara berusaha memasukkan berkas.
Dengan tangannya yang sedikit gemetar, Elara menahan marah. Ia tahu, tak ada gunanya melawan mereka. Mengapa semua orang begitu ingin melihatnya jatuh? Seolah-olah kebahagiaan itu terlalu mewah untuk dimiliki oleh gadis seperti dirinya.
###
Malam itu, di bawah langit penuh bintang yang pucat, Elara menghubungi Zayden. Setelah seharian disergap oleh tatapan penuh gosip, ia tahu ia harus berbicara. Suara Zayden di seberang telepon terdengar tenang.
“Tuan Zayden,” Elara memulai dengan suara sedikit bergetar, “Bisakah kita tidak terburu-buru? Aku masih sekolah, dan... dan pendidikan itu penting bagiku. Aku... aku tidak ingin semuanya terlalu cepat.”
Di ujung telepon, ada jeda sejenak. “Hah? Gak salah kamu bilang gitu? Kapan hari kamu bilang jangan kebanyakan acara. Dan sekarang beda lagi. Apa yang terjadi?"
"Eh, itu. Ya udah deh." Elara sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Dia begitu labil dan tidak jelas.
Zayden dari seberang telepon berusaha menyelami keraguan Elara. "Aku mengerti,” jawab Zayden akhirnya, suaranya berat dan tegas. “Pernikahan ini harus segera dilakukan. Semua sudah siap. Orang-orangku yang akan mengaturnya."
Elara mencoba tenang, dia jadi berpikir pada dirinya sendiri. Kenapa jadi lemah seperti ini, bukankah bertahun-tahun sudah terbiasa dengan selentingan - selentingan miring.
“Elara,” potong Zayden, suaranya tak lagi lembut. "Aku tahu keraguanmu."
"Aku capek, ternyata ngurus nikah gak mudah ya. Apalagi dokumen-dokumen, terus aku harus sekolah, gak ada waktu rasanya buat ngurusin semua." Nada suara Elara sedikit melemah.
“Kita bisa atur jadwal untukmu. Kau bisa homeschooling. Itu lebih fleksibel. Ini untuk kebaikan kita berdua.”
Elara terdiam, ada nada akhir dalam kalimat Zayden yang membuat dadanya sesak. Keputusan sudah diambil, dan ia tak punya pilihan lain. Tapi entah mengapa, langkah ini terasa semakin berat. Apa yang sebenarnya dikejar Zayden dengan tergesa-gesa?
[Sayang? Masih sibuk ya?"]
Elara terkejut saat mendengar suara wanita dari seberang telepon. Apakah itu istri Zayden? Mengapa dia jadi merasa gak enak? Apakah cemburu? Saat malam seperti ini, ternyata Zayden di samping istrinya. Mereka pasti berduaan dengan romantis.
"Ah ... masa bodo. Jangan pikirin itu. Elara ... stop overthinking. Yang penting buatmu adalah uang Tuan Zayden." Elara berperang dengan pikiran dan hatinya.
###
Keesokan harinya, suasana sekolah terasa berbeda. Dari kejauhan, siswa-siswa mulai berbisik dan saling memberi isyarat ke arah gerbang. Di sana, berdiri beberapa pria dengan setelan jas hitam, seperti bayangan yang menakutkan di tengah hari yang cerah. Kaca mata hitam mereka memantulkan sinar matahari, membuat mereka terlihat seperti sosok yang datang dari dunia lain.
Seluruh sekolah menjadi heboh. Para siswa, terutama para siswi, tak bisa berhenti membicarakan penampilan pria-pria tersebut. "Siapa mereka?" bisik seorang gadis di pojok lorong. "Apa ada kasus besar?"
Leni, sahabat Elara, merasakan firasat aneh menyusup di hatinya. “Elara, kamu kenal mereka, kan?” tanyanya saat istirahat, sambil menatap cemas.
Elara, yang baru saja melihat para pria itu, merasakan dadanya berdegup kencang. Ia tidak percaya. Tentu saja itu suruhan Zayden. Tapi untuk apa? Kenapa dia mengirim orang-orang seperti ini ke sekolahnya? "Ya... aku kira itu mereka..." jawab Elara, setengah bergumam. Wajahnya memucat, tak menyangka Zayden akan membuat keributan seperti ini.
"Tapi mau apa mereka ke sini?" Leni penasaran.
"Mana aku tahu."
"Lah, kamu kan calon istri tuan itu. Masa gak tahu."
"Aku gak pernah bahas apa pun. Dia juga kalau ngomong dikit."
"Sana, kamu samperin. Takutnya mau bikin huru hara. Malu tahu."
"Yeyyy, emang kamu aja yang malu. Aku juga, tahu." Sahut Elara. Mukanya sudah tidak karuan. Antara bete dan gelisah. "Tapi kalau aku samperin, nanti mau ngapain di sana? Belum tentu itu suruhan Tuan Zayden."
"Iya juga ya." Leni jadi ikutan bingung.
Namun, di tengah kebingungan Elara, teman-teman wanita yang lain malah berbondong-bondong pergi ke kantor guru. Di mana para pria berbaju hitam itu ada di sana.
"Lah? Ngapain mereka?" Leni ikut bengong, sama seperti Elara.
"Yuk, kita ikutan," ajak Leni, menarik tangan Elara .
"Enggak ah. biarin aja."
Leni yang sudah berdiri, duduk kembali. Dia tidak bisa pergi kalau Elara tidak pergi. Leni sebenarnya anak yang pemalu dan penakut.
Bersambung...