Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
melangkah lebih dalam
Diana menatap pesan itu dengan bingung dan rasa cemas yang semakin menguat. "Tidak ada yang bisa keluar sampai semua rahasia terungkap…" kata-katanya terngiang di kepala mereka semua. Seperti ada peringatan yang mengancam, namun di sisi lain, pesan itu juga memberi mereka sedikit petunjuk bahwa mereka harus menyelami lebih dalam untuk menemukan jalan keluar.
"Jadi, kita harus mengungkap rahasia yang lebih besar, kan?" tanya Niko dengan suara tegang. Matanya menatap sekeliling lorong yang gelap, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut.
"Apa maksudnya?" tanya Nanda, yang tampaknya semakin bingung dengan apa yang terjadi di sekitar mereka.
Shara menghela napas. "Kita nggak tahu pasti, tapi ini semakin terasa seperti permainan yang sudah direncanakan. Mungkin ada yang mengontrol semua ini."
Mereka melangkah perlahan menyusuri lorong-lorong sekolah yang semakin menyeramkan. Beberapa jendela di sepanjang lorong tampak sudah usang, dan pintu-pintu yang mereka coba buka semuanya terkunci rapat, seolah tidak ada jalan keluar dari tempat ini. Suara angin kencang dan langkah kaki yang bergema di lorong semakin membuat suasana terasa semakin mencekam.
Tiba-tiba, Diana melihat sesuatu yang mencolok di dinding—sebuah gambar yang terpahat samar di batu, terlihat hampir tak terlihat. Itu adalah simbol yang mereka lihat sebelumnya, tapi kali ini terlihat lebih jelas. Gambar itu menggambarkan sebuah tangan yang memegang kunci.
"Ini... ini simbol yang sama dengan kunci yang kita temukan sebelumnya!" seru Diana dengan penuh semangat, meskipun rasa takut masih menyelimutinya.
Niko yang mendekat, mengamati gambar itu dengan seksama. "Tapi kenapa gambar ini ada di sini? Apa ini petunjuk untuk menemukan kunci yang lain?"
"Ada kemungkinan," jawab Nanda, yang mencoba berpikir jernih. "Simbol ini mungkin menunjukkan kita ke tempat tertentu, tempat di mana kunci itu bisa digunakan. Mungkin ini adalah petunjuk terakhir."
Mereka semua merasa semakin cemas, tapi rasa penasaran mendorong mereka untuk terus berjalan. Tanpa kata, mereka mengikuti arah yang diberikan oleh simbol itu, menelusuri lorong-lorong yang semakin terasa suram dan kosong. Ketegangan yang terpendam selama ini semakin meningkat, seolah mereka sedang dibawa menuju sesuatu yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah pintu besar yang tersembunyi di ujung lorong. Pintu itu terlihat lebih tua dari yang lainnya, dan ada ukiran serupa dengan simbol yang mereka lihat di dinding.
"Ini dia," kata Shara, suaranya bergetar sedikit. "Tempat ini sepertinya memang menyimpan rahasia."
Diana mengambil kunci kecil yang mereka temukan sebelumnya, memasukannya ke dalam lubang kunci. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia memutar kunci itu, dan tiba-tiba terdengar suara berderit keras, seolah pintu itu baru pertama kali dibuka setelah bertahun-tahun terkunci.
Begitu pintu terbuka, mereka disambut dengan ruang yang gelap, dipenuhi dengan lemari dan rak-rak buku tua yang berdebu. Di tengah ruang itu, ada sebuah meja besar dengan beberapa tumpukan buku yang terlihat sangat tua dan rapuh.
"Ini… ruang apa?" tanya Niko dengan suara hati-hati.
"Ini mungkin ruang arsip yang lebih lama," jawab Nanda, melangkah lebih dalam ke dalam ruangan. "Tapi kenapa tersembunyi seperti ini? Apa yang sebenarnya ada di sini?"
Mereka mulai memeriksa meja dan rak-rak buku, dan akhirnya, Niko menemukan sebuah buku tebal yang tertutup rapat. Buku itu tampak lebih kuno daripada yang lainnya, dengan sampul yang sudah usang.
"Ini dia," kata Niko, membuka halaman pertama buku tersebut.
Begitu halaman pertama dibuka, sebuah surat kecil jatuh dari dalam buku. Surat itu terbuat dari kertas yang sudah menguning dan tampak sangat rapuh. Diana mengambilnya dengan hati-hati, dan membacakan isi surat tersebut dengan suara pelan.
"Kami terjebak di dalam ini, seperti kalian sekarang. Jangan mencari jawaban, karena jawaban itu hanya akan membawa lebih banyak penderitaan. Kami telah memberi petunjuk ini untuk kalian, agar kalian bisa keluar, tapi pada akhirnya, hanya satu yang bisa selamat dari rahasia ini… dan hanya satu yang akan mengetahui kebenaran. Berhenti sebelum terlambat. Jangan biarkan diri kalian menjadi bagian dari permainan ini."
Semua terdiam, meresapi kata-kata yang tertulis di surat itu. Rasa takut dan kebingungan menyelimuti mereka. Apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi? Apakah mereka benar-benar akan keluar, ataukah mereka akan menjadi bagian dari rahasia gelap ini selamanya?
Diana merasakan ketegangan yang luar biasa. "Jadi, ini bukan hanya tentang memecahkan kode. Ini tentang memilih siapa yang bisa selamat... siapa yang bisa keluar?"
Semua mata tertuju pada Diana, dan jawaban itu masih menggantung di udara, tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Suasana semakin mencekam setelah mereka membaca surat tersebut. Setiap kata terasa seperti ancaman yang semakin nyata. Mereka semua saling memandang, gelisah, namun tidak ada yang berkata apa-apa. Rasa takut menyelubungi mereka, seperti ada sesuatu yang menunggu untuk menjebak mereka.
Diana menggenggam erat kertas yang berisi surat itu, berusaha untuk tetap tenang meski tubuhnya gemetar. "Kita harus keluar dari sini, sebelum lebih banyak yang hilang," katanya dengan suara parau.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang berat, seperti ada seseorang yang berjalan mendekat. Semua langsung terdiam, mendengarkan. Namun, suara itu hanya berlangsung sekejap, lalu hilang begitu saja, seperti tersedot ke dalam udara yang tebal.
Niko, yang mulai merasa tidak nyaman, menatap ke arah pintu yang mereka buka. "Kita harus pergi, sekarang," katanya dengan tegas. "Jika kita tidak keluar dari sini, kita akan terjebak lebih lama lagi."
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, tiba-tiba ruangan di sekitar mereka terasa berputar. Lampu di langit-langit berkedip, seolah-olah sedang mati. Suara-suara aneh terdengar dari dalam dinding, dan udara di sekitar mereka semakin berat. Lantai terasa bergetar, seolah-olah ada sesuatu yang menggerakkan mereka dari bawah.
Shara yang berada paling depan tiba-tiba terjatuh ke tanah. "Shara!" teriak Diana, panik. Tetapi saat mereka berlari untuk membantunya, Shara sudah tidak ada di tempatnya.
Di tempatnya tadi hanya ada keheningan, seolah Shara menghilang begitu saja tanpa jejak.
"Mengapa bisa seperti ini?" tanya Niko, suaranya hampir tidak terdengar. "Shara… di mana dia?"
Mereka semua mulai panik, saling mencari ke seluruh ruangan. Namun, tidak ada tanda-tanda Shara. Semua yang ada hanyalah keheningan yang mencekam.
Diana terjatuh ke lutut, wajahnya pucat. "Shara tidak bisa hilang begitu saja… ada sesuatu yang tidak beres."
Nanda berdiri, berusaha untuk tetap tenang. "Jangan panik. Kita harus tetap berpikir jernih. Mungkin ada cara untuk menemukannya lagi. Kita harus melanjutkan mencari, mencari petunjuk lain."
Namun, di dalam hatinya, Nanda tahu bahwa situasi ini semakin sulit dan berbahaya. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada Shara. Tidak ada yang tahu mengapa dia tiba-tiba menghilang begitu saja.
Mereka memutuskan untuk kembali memeriksa setiap sudut ruang tersebut, berharap menemukan petunjuk yang bisa membawa mereka kepada Shara. Tetapi semakin lama mereka mencari, semakin aneh dan gelap suasana ruangan itu. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seolah mereka sedang melangkah lebih dalam ke dalam kegelapan yang tak terlihat ujungnya.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari ujung ruangan yang gelap. Itu adalah suara serak, seperti seseorang yang mencoba berbicara, namun suara itu terdengar sangat jauh, hampir tidak bisa dimengerti.
"Diana…" suara itu terdengar lemah dan putus-putus. Diana menegang mendengar namanya dipanggil.
"Nanda… itu suara Shara," kata Diana dengan suara bergetar. "Shara ada di sini… dia masih hidup."
Mereka berlari ke arah suara itu, mengikuti jejak langkah kaki yang aneh. Tetapi semakin mereka mendekat, semakin suara itu menghilang, seolah-olah mereka sedang dikecoh oleh sesuatu yang tak terlihat.
Mereka tiba di sebuah pintu kecil yang tersembunyi di balik rak buku besar. Diana mencoba membuka pintu itu dengan tergesa-gesa, namun pintu tersebut terkunci. Dengan tangan gemetar, ia berusaha memasukkan kunci yang ditemukan sebelumnya.
Pintu itu terbuka dengan suara keras, dan mereka menemukan ruang yang gelap dan sempit di baliknya. Namun, tidak ada Shara di sana. Hanya ada keheningan yang menyelubungi ruangan itu.
Tiba-tiba, di tengah keheningan, terdengar suara langkah kaki yang mendekat—bukan dari pintu yang baru saja mereka buka, tetapi dari belakang mereka. Mereka berbalik dengan cepat, dan untuk sekejap, mereka melihat bayangan samar Shara di ujung lorong. Namun, saat mereka mencoba mendekatinya, bayangan itu menghilang begitu saja, seperti tidak pernah ada.
"Shara!" teriak Diana, suaranya penuh keputusasaan.
Namun, yang muncul di depan mereka bukanlah Shara, melainkan sebuah gambar yang terlukis di dinding. Gambar itu menunjukkan seorang gadis yang terperangkap dalam lingkaran hitam, wajahnya tampak ketakutan. Di bawah gambar itu, tertulis sebuah kata: "Terlalu terlambat."
Mereka semua terdiam, merasakan betapa kengerian semakin mendalam. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dimainkan di sini, sesuatu yang tidak bisa mereka hindari.
Diana merasa air matanya menggenang. "Shara… di mana kamu? Apa yang terjadi padamu?"
Niko menggenggam tangan Diana dengan erat. "Jangan menyerah, Diana. Kita akan temukan dia. Kita pasti akan temukan jalan keluar dari semua ini."
Namun, meskipun mereka berusaha tetap tenang, mereka tahu satu hal dengan pasti—sekarang mereka tidak hanya berjuang untuk menemukan jawaban, tetapi juga berjuang untuk bertahan hidup. Terjebak dalam misteri ini, mereka semakin dekat pada kebenaran yang lebih gelap daripada yang mereka bayangkan.