Seorang pengangguran yang hobi memancing, Kevin Zeivin, menemukan cincin besi di dalam perut ikan yang tengah ia bersihkan.
"Apa ini?", gumam Kevin merasa aneh, karena bisa mendengar suara hewan, tumbuhan, dan angin, seolah mampu memahami cara mereka berbicara.
"Apakah aku halusinasi atau kelainan jiwa?", gumam Kevin. Namun perlahan ia bisa berbincang dengan mereka dan menerima manfaat dari dunia hewan, tumbuhan, dan angin, bahkan bisa menyuruh mereka.
Akankah ini berkah atau musibah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berasal dari Iradiasi
Saat Kevin kebingungan, karena informasi semut dan nyamuk memang tidak sampai menembus pintu baja ini, seorang perempuan muda masuk dan memergokinya.
"Pak Jordan, sedang memikirkan apa?", perempuan berkulit putih berambut kuncir kuda sebahu itu menghampiri Kevin.
"Oh, itu aku lupa belum membersihkan ruangan yang mana, padahal aku harus cepat. Kalau tidak, nanti aku dimarahi bos", Kevin tak punya alasan lain. Nampak perempuan itu mengernyit, seolah mengatakan bahwa Jordan biasanya tidak seceroboh itu.
"Duh!", batin Kevin karena perempuan itu diam dan mengamati Kevin.
"Kenapa?", Kevin memberanikan diri bertanya. Jika sudah terekspos penyamarannya, ia harus lari.
"Tak apa. Pasti pak Jordan lupa kalau baru saja keluar membuang sampah ke pusat tadi. Aku kan menyapa bapak di jalan", perempuan itu seolah menguji sosok pria di hadapannya.
"Eh, masa sih?", elak Kevin. Karena sebelum masuk ke gedung, matanya masih memperhatikan Jordan hingga sangat jauh melangkah dan tidak berbincang dengan siapapun.
"Oh, jadi kamu pak Jordan asli. Kukira kamu mata-mata yang mencoba menyusup. Ayo, ikut aku. Lagi pula ada beberapa sampah yang memang harus segera dibersihkan", perempuan itu menepuk bahu Kevin, membuat Kevin lega.
"Untung saja ingatan, daya lihat, dan analisaku tajam setelah memiliki cincin keramat ini", batin Kevin, merasa jawabannya sudah benar.
Kevin mengekor perempuan bernama Clarissa di kartu identitasnya itu menuju panel ke sebelas sebelah kanan mereka.
Sebuah lift pun nampak. Clarissa menekan angka sandi dan lift pun bergerak.
"Keberuntungan adalah kekuatan, hahaha", bangga Kevin dalam hati. Tanpa kehadiran Clarissa, ini akan jadi sangat sulit dan butuh banyak waktu. Kevin pun menghafal angka sandinya.
Dalam lima menit, mereka sampai di satu ruangan besar. Ada banyak perabot laboratorium yang tidak Kevin kenal karena memang bukan bidangnya dan tidak pernah sekolah terkait laboratorium biokimia.
"Itu pak, tolong diangkut keluar. Hati-hati agar tidak merusak fasilitas lab", ujar Clarissa sembari menunjuk beberapa tumpuk berkas yang telah dicacah.
Kevin mengangguk dan melangkah ke tempat sampah. Ia melihat banyak tabung reaksi di atas meja, namun sama sekali tidak mengerti semua hal yang diteliti di sini. Bahkan jika ia bisa membaca laporan penelitian, kepalanya akan pusing sendiri memikirkan banyak terminologi dalam laporan.
"Ah, bodohnya aku. Apa yang kucari di sini jika aku tak paham sama sekali?", Kevin merasa kesal dengan dirinya sendiri. Ia besar di panti asuhan, sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi.
Namun saat ia tiba di dekat reaktor kecil, hampir di tempat sampah dokumen, Kevin merasakan gelombang energi yang begitu mirip dengan energi batu permata yang ada di bawah pepohonan kota Dorman.
"Ini, dari mana sumbernya?", Kevin berpura-pura merapikan sampah sembari menggunakan udara sebagai media mencari sumber energi yang ia rasakan.
Kevin melihat sebuah tabung besar berisi kristal putih yang berpendar. Mata Kevin terfokus ke arah tabung, bahkan lupa bahwa dirinya tengah menyamar.
"Pak! Kok malah melamun. Katanya butuh cepat", Clarissa menepuk pundak Kevin, membuat pria itu berjingkat.
"Eh, ngga apa-apa. Cuma penasaran, apa isi tabung berpendar itu?", Kevin menunjuk tabung besar di pojok ruangan.
"Eh, kenapa baru tanya sekarang? Perasaan pak Jordan biasa ke sini dan tak peduli apapun", Clarissa nampak curiga.
"Itu sih, penasaran dengan pendar putihnya", Kevin memberi alasan yang masuk akal.
"Itu thorium pak, salah satu nuklida yang kami pakai untuk iradiasi batu permata. Ya, kami sedang proses membuat inovasi baru dengan itu", Clarissa menjelaskan dan melihat pak Jordan palsu itu mengernyit, nampak tidak mengerti.
"Eh, aku memang tidak berbakat pintar sepertimu", ucap Kevin jujur. Clarissa tertawa dan menepuk pelan pundak Kevin.
"Sudah lah pak, segera tuntaskan pekerjaanmu karena lab akan segera dipakai", Clarissa memaklumi karena memang Jordan hanya petugas kebersihan. Tentu mencurigakan jika Jordan tiba-tiba paham terminologi di bidang nuklir.
Kevin bergegas merapikan dan mendorong tong sampah ke luar lab.
"Eh, iradiasi batu permata itu apa?", Kevin tiba-tiba bertanya, membuat Clarissa menatap matanya.
"Intinya agar batu permata bercahaya dan meningkatkan nilai jual beserta energinya", Clarissa yang tidak menaruh curiga segera mengatakan dan mengibaskan tangan, isyarat agar Jordan palsu segera pergi.
"Berenergi?", gumam Kevin. Samar-samar ia menduga bahwa energi yang ia serap berasal dari proses iradiasi itu. Tapi, ia juga pernah menyerap energi dari batu permata lain yang jauh dari kota Dorman. Kevin hendak bertanya lagi, namun ia urungkan agar tidak dicurigai.
Di taman kota, setelah berhasil keluar gedung walikota, Kevin menyerap energi dengan bersandar di pohon seperti biasa. Ia melihat satu mata cincin telah meredup. Tanda bahwa penyamaran tadi membutuhkan banyak sekali energi.
"Kevin?", saat sedang santai dan memejamkan mata, Kevin mendengar suara Beny.
"Eh, bos", Kevin membuka mata lantas duduk tegak meski tetap bersandar di batang pohon.
"Kenapa kamu masih di sini? Katamu mau pergi berkelana?", heran Beny.
"Oh, itu aku mau pergi tapi ingin mencari makanan siap saji bos. Biar enak di jalan", Kevin mencari alasan masuk akal. Karena hanya kota Dorman yang punya teknologi kompresi secanggih itu.
"Eh, kenapa juga kau tidak datang ke toko? Aku punya banyak stok, tapi tidak gratis tentunya", Beny pun berbincang sejenak. Ia juga kebetulan tengah refreshing di taman kota.
Untuk keamanan, Kevin pun terpaksa membeli beberapa makanan cepat saji itu agar tidak dicurigai. Kevin pun bergegas pergi ke luar kota, kembali menginap di hutan buatan.
"Jadi, sangat mungkin cincin dan tubuhku ini ditenagai dari hasil iradiasi itu. Hufh, baiklah kalau begitu", Kevin telah memutuskan untuk kembali berkelana dan mengunjungi kota Dorman lagi untuk mengisi ulang energinya secara cepat jika diperlukan. Tentu saja karena ia tak mungkin mencuri thorium yang sama sekali tidak ia ketahui cara penggunaannya.
Sore itu juga Kevin bergegas pergi. Ia memilih jalan kaki untuk menghemat energi. Bahkan kecepatan jalannya saja sudah mampu mencapai 40km per jam tanpa kelelahan atau kehabisan banyak energi.
Dalam 20 menit, Kevin sudah tiba di sebuah kota yang terlihat biasa. Namun intuisinya menuntun untuk singgah di sana.
"Hufh, karena uangku habis, lebih baik kutukar koin emasku", Kevin berjalan mencari toko emas yang bersedia menerima koinnya.
"Koh, saya mau jual ini", Kevin menyodorkan dua puluh keping emas kecil. Pelayan toko seketika terkesima dengan koin dari kota Dorman. Ia pun berlari memanggil pemilik toko.
Seorang perempuan paruh baya pun menemui Kevin dan memeriksa keaslian koin Kevin.
"Satu koin ini senilai satu juta. Tapi, aku tak bisa membelinya jika kamu tidak bisa menunjukkan identitas dari kota Dorman", perempuan tionghoa itu berujar sembari mendorong balik koin Kevin.
Kevin pun menunjukkan kartu golden fox miliknya. Sontak mata perempuan itu melebar. Ia pun mengangguk seolah takut dan segera menukar koin Kevin dengan sebuah kartu debit berisi tiga puluh juta beserta pin kartu.
"Ini 30 juta. Silahkan datang lagi jika berkenan. Jika tahu tuan dari golden fox, kami takkan berani menghargai hanya satu juta per koin", ucap perempuan itu dengan tangan nampak sedikit gemetar. Kevin hanya mengernyit dan mengambil kartunya. Sama sekali tidak tahu dan tidak peduli. Terkait nilai tukar, Kevin sudah memprediksi bahwa biaya hidup di kota Dorman memang tidak sedikit.