Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Cinta Pertama
Pesta perayaan pernikahan sahabat Veltika, Dina, berlangsung meriah di sebuah resor mewah di Bali. Suasana malam itu begitu hangat, dihiasi dengan lampu-lampu gantung yang berkilauan di atas taman tropis yang menghadap langsung ke pantai. Dina memilih menikah dengan Antoine, seorang pria berkewarganegaraan Perancis yang bekerja sebagai konsultan keuangan.
Veltika hadir dengan mengenakan gaun biru elegan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Tatapannya penuh haru, melihat sahabatnya akhirnya menemukan kebahagiaan. Dina tampak bahagia dengan Antoine yang selalu menatapnya penuh cinta.
Namun, suasana hati Veltika mulai berubah saat mata cokelatnya bertemu dengan seorang pria yang baru saja masuk ke area pesta. Denis.
Denis, yang hadir sebagai kolega Antoine, tampak mempesona dalam setelan jas hitam yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari biasanya. Senyum kecil tersungging di bibirnya saat ia memperhatikan Veltika dari kejauhan.
“Denis Jatmiko?” gumam Veltika, terkejut dengan kehadiran lelaki yang selama ini memenuhi majalah.
Sementara itu, Denis mendekati Antoine dan Dina untuk memberikan ucapan selamat. Setelah berbincang singkat, pandangan Denis beralih ke Veltika yang berdiri di dekat meja minuman. Langkahnya mantap, mendekati wanita yang selama ini mengisi hatinya dengan begitu banyak rasa yang sulit ia pahami.
“Aku tidak menyangka akan bertemu kamu di sini,” ucap Denis dengan suara lembut saat berdiri di hadapan Veltika.
Veltika menatap Denis dengan tatapan penuh tanya. “Aku juga tidak menyangka. Jadi, kamu teman Antoine?”
Denis mengangguk sambil tersenyum. “Dan aku juga tidak menyangka kamu dekat dengan Dina.”
Percakapan mereka berlangsung canggung, namun penuh dengan ketegangan yang tak kasat mata. Malam yang indah di Bali itu mendadak menjadi lebih rumit bagi Veltika dan Denis, yang kini dipertemukan kembali dalam suasana yang sama sekali berbeda.
Sambil menikmati pesta pernikahan di Bali yang begitu elegan, Veltika dan Denis berdiri di dekat bar kecil yang dikelilingi oleh pemandangan laut. Keduanya berbincang santai tentang pekerjaan.
"Jadi, proyek interior kamu yang terbaru di Jakarta sudah selesai?" tanya Denis sambil menyisipkan senyum kecil.
"Sudah hampir selesai," jawab Veltika sambil memainkan rambutnya. "Sekarang tinggal finalisasi detail dan pengawasan terakhir."
Denis mengangguk, menyesap anggur merah di gelasnya. "Kamu memang selalu perfeksionis soal pekerjaan."
Veltika tersenyum tipis, lalu berbalik bertanya. "Bagaimana dengan kamu? Apakah proyek properti dengan Antoine berjalan lancar?"
"Sejauh ini cukup lancar," jawab Denis santai. "Tapi tetap saja, dunia bisnis selalu penuh kejutan."
Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seolah-olah mereka hanyalah kolega biasa yang berbagi cerita tentang kesibukan mereka. Namun, tiba-tiba Denis mengubah arah pembicaraan.
"Tapi ngomong-ngomong, Vel..." Denis berhenti sejenak, menatap Veltika dengan mata yang penuh arti. "Bagaimana dengan kehidupan percintaanmu? Sudah ada seseorang yang spesial?"
Pertanyaan itu membuat Veltika terdiam seketika. Ia merasakan detak jantungnya berdebar lebih kencang. Matanya beralih dari Denis ke gelas wine di tangannya. Ia hanya memutar-mutar gelas itu perlahan, menatap cairan merah di dalamnya seolah mencari jawaban di sana.
"Aku... sedang tidak terlalu memikirkannya," jawab Veltika akhirnya, suaranya terdengar pelan. "Pekerjaan sudah cukup menyita waktuku."
Denis tersenyum tipis, tetapi sorot matanya menunjukkan rasa penasaran yang mendalam. "Benarkah? Atau mungkin kamu hanya takut membuka hati lagi?"
Veltika tertegun mendengar pertanyaan itu. Ia ingin membalas, tetapi kata-kata terasa tertahan di tenggorokannya. "Bukan soal takut... hanya saja, aku sudah cukup lelah dengan yang namanya cinta."
Mereka saling menatap dalam diam, diiringi alunan musik lembut yang mengisi udara malam di Bali. Denis tahu ada lebih banyak cerita di balik jawaban Veltika, dan ia bertekad untuk mengetahuinya, meski Veltika masih berusaha menutup diri.
Percakapan singkat itu meninggalkan keheningan yang berat di antara mereka. Denis mencoba membaca raut wajah Veltika, mencari celah di balik sikap tenangnya. Namun, yang ia temukan hanyalah sorot mata yang penuh keraguan dan luka yang mungkin belum sepenuhnya sembuh.
Denis menyesap sisa anggurnya, berharap rasa pahitnya bisa meredakan debaran hebat yang tiba-tiba menyerang dadanya. Jantungnya berdegup kencang, lebih cepat dari biasanya, seolah-olah baru saja mendengar sesuatu yang sangat berarti.
"Veltika..." Denis memanggilnya pelan, suara itu hampir tenggelam di antara musik dan tawa tamu pesta.
Veltika mengangkat wajahnya, menatap Denis yang terlihat sedikit gelisah. "Ya?"
Denis terdiam sejenak, menggigit bibir bawahnya. "Aku tahu kamu mungkin lelah dengan cinta. Tapi... apa kamu pernah berpikir kalau mungkin ada seseorang yang rela menunggu, yang ingin jadi alasan kamu percaya lagi?"
Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa bisa ia tahan. Debaran di dadanya semakin kuat, seolah-olah jantungnya ingin melompat keluar. Ia tahu, ini bukan sekadar basa-basi. Ada perasaan yang selama ini ia pendam, yang perlahan mulai menyeruak ke permukaan.
Veltika tertegun, menatap Denis dengan tatapan yang sulit diartikan. Di balik sikap dinginnya, ada sesuatu yang bergemuruh—sebuah rasa yang belum ingin ia akui. "Denis... aku belum siap," jawabnya pelan, namun matanya tak mampu melepaskan pandangan dari pria di depannya.
Denis menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Aku tahu. Tapi aku akan tetap di sini, Vel. Menunggu... sampai kamu siap."
Mendengar kata-kata Denis, untuk pertama kalinya Veltika merasa ada sesuatu yang berbeda. Perasaannya yang selama ini tertutup rapat mulai terusik. Ia memperhatikan pria muda di depannya dengan lebih saksama.
Denis, dengan senyum tipis dan sorot mata yang hangat, terlihat begitu tulus. Laki-laki yang lebih muda ini… bukan hanya sekadar rekan kerja, bukan pula sekadar adik tirinya. Ada ketulusan yang jarang ia temui dalam pria-pria sebelumnya.
Veltika merasakan dadanya berdesir. “Denis…” ia menyebut namanya pelan, nyaris seperti bisikan. Pandangannya beralih dari mata Denis ke jemari pria itu yang perlahan meraih gelas anggurnya, seolah memberi jeda pada percakapan mereka.
Denis menyadari tatapan Veltika yang berubah, lembut tapi juga penuh kehati-hatian. Ia menegakkan tubuhnya sedikit, lalu berkata dengan suara yang lebih tenang, “Aku tahu kamu mungkin tidak percaya sekarang. Tapi aku tidak main-main, Vel. Aku ingin jadi orang yang membuatmu merasa aman lagi.”
Kata-kata itu kembali membuat hati Veltika bergetar. Ia menatap Denis, mencoba membaca niat di balik setiap kata. “Kamu masih muda, Denis. Banyak hal yang bisa berubah.”
Denis menatapnya dalam-dalam. “Muda atau tidak, perasaan ini nyata. Dan aku tidak akan berubah.”
Veltika menghela napas, merasa hatinya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Tapi ia tahu, luka masa lalunya masih terlalu dalam. “Aku butuh waktu,” ucapnya akhirnya.
Denis tersenyum, seolah jawaban itu sudah cukup baginya. “Ambil semua waktu yang kamu butuhkan, Vel. Aku akan tetap di sini.”
Veltika terus menatap Denis serius.
"Sayang, Denis deketin sahabat aku loh," bisik Dina yang memperhatikan Veltika dan Denis.