Kinanti, seorang gadis sederhana dari desa kecil, hidup dalam kesederhanaan bersama keluarganya. Dia bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup.
Kehidupannya yang biasa mulai berubah ketika rencana pernikahannya dengan Fabio, seorang pria kota, hancur berantakan.
Fabio, yang sebelumnya mencintai Kinanti, tergoda oleh mantan kekasihnya dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka. Pengkhianatan itu membuat Kinanti terluka dan merasa dirinya tidak berharga.
Suatu hari, ayah Kinanti menemukan sebuah cermin tua di bawah pohon besar saat sedang bekerja di ladang. Cermin itu dibawa pulang dan diletakkan di rumah mereka. Awalnya, keluarga Kinanti menganggapnya hanya sebagai benda tua biasa.Namun cermin itu ternyata bisa membuat Kinanti terlihat cantik dan menarik .
Kinanti akhirnya bertemu laki-laki yang ternyata merupakan pengusaha kaya yaitu pemilik pabrik tempat dia bekerja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 . Pertemuan Yang mendebarkan
Setelah selesai makan malam bersama keluarganya, Kinanti masuk ke kamar dengan langkah yang sedikit lebih ringan meski lelah. Ia membersihkan diri dan mengganti pakaian dengan daster sederhana. Setelah itu, ia duduk di depan cermin tua yang kini menjadi bagian penting dari kehidupannya.
Cermin itu memantulkan bayangan dirinya, namun kali ini terasa berbeda. Ada kilauan aneh di dalamnya, seolah-olah memanggil perhatian Kinanti.
"Kinanti," suara lembut itu terdengar lagi, membuat Kinan sedikit terkejut, namun ia tidak lagi merasa takut.
"Cermin ini... siapa kamu sebenarnya?" Kinanti bertanya, mencoba menenangkan dirinya meski jantungnya berdetak lebih cepat.
Suara itu terdengar lagi, penuh keyakinan dan ketenangan. "Aku adalah pantulan dari dirimu yang sebenarnya, Kinan. Kamu tidak menyadari betapa luar biasanya dirimu. Biarkan aku menunjukkan itu."
Kinanti menatap cermin dengan serius. Seolah tersihir, ia mulai melihat perubahan pada pantulan dirinya. Wajahnya tampak lebih bersinar, matanya lebih tajam, dan ada aura percaya diri yang luar biasa terpancar darinya.
"Kamu tidak perlu takut pada siapapun, Kinan. Dunia ini milikmu juga. Tunjukkan pada mereka bahwa kamu berhak dihormati, bahwa kamu lebih dari sekadar bayang-bayang orang lain," suara itu melanjutkan.
Kinanti merasakan aliran hangat yang mengisi dadanya, seolah kata-kata itu menyatu dengan jiwanya. Ia menegakkan punggungnya dan tersenyum pada bayangannya sendiri.
"Terima kasih," bisiknya pada cermin, meskipun ia masih tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi.
Setelah itu, ia berbaring di tempat tidur. Pikirannya melayang ke berbagai hal—keluarganya, pekerjaannya, hinaan yang diterimanya, dan tekadnya untuk bangkit. Perlahan, rasa lelah menguasai tubuhnya, dan ia tertidur dengan nyenyak.
Dalam mimpinya, ia melihat dirinya berdiri di atas panggung besar, dikelilingi oleh orang-orang yang memandangnya dengan kagum. Ia mengenakan gaun indah, penuh percaya diri, dan semua orang memberikan tepuk tangan untuknya.
Kinanti terbangun keesokan paginya dengan perasaan yang berbeda. Ia menatap cermin tua itu sekali lagi sebelum bersiap-siap untuk menjalani hari barunya. Ada keyakinan baru di dalam dirinya, seolah-olah mimpi itu bukan hanya sekadar bunga tidur, melainkan gambaran masa depan yang sedang menantinya.
Pagi itu, suasana di rumah Kinanti dipenuhi kesibukan seperti biasa. Kinanti sibuk menyiapkan adiknya untuk berangkat sekolah, sementara sang ayah, Pak Karyo, duduk di ruang tengah dengan wajah sedikit pucat. Nafasnya terlihat lebih berat dari biasanya.
"Ayah baik-baik saja, Nak," ujar Pak Karyo ketika melihat Kinanti memandanginya dengan cemas.
"Tapi Ayah terlihat tidak sehat. Apa Ayah mau saya izin kerja dulu untuk menemani Ayah ke dokter?" tanya Kinanti, yang sangat khawatir melihat kondisi ayahnya.
Namun, sebelum Pak Karyo sempat menjawab, Bu Wati, ibunya, dengan lembut memegang bahu Kinanti. "Ayahmu hanya kecapekan, Kinan. Nanti Ibu belikan obat, kamu jangan terlambat kerja. Ayah pasti segera membaik."
Kinanti terdiam sejenak, masih ragu, tetapi ia percaya pada ketenangan ibunya. "Baiklah, Bu. Kalau Ayah merasa semakin buruk, tolong segera hubungi saya," katanya sebelum berangkat ke pabrik.
Setelah Kinanti pergi bekerja, Bu Wati memutuskan untuk membeli obat di apotek yang tidak jauh dari rumah. Di perjalanan, ia berjalan melewati sebuah jalan utama, dan tak sengaja melihat mobil mewah yang terparkir di depan sebuah butik.
"Ayah, ibu mau ke apotik dulu, untuk beli obat untuk Ayah, tunggu sebentar ya."Wati berpamitan pada sang suami.
"Iya bu, hati-hati. "Karyo mengangguk pelan.
Di dalam mobil itu, ia melihat Fabio dan Citra sedang bercanda mesra, tampak sangat bahagia. Mereka terlihat seperti pasangan yang sempurna, wajah penuh senyum dan tawa.
Hati Bu Wati mencelos. Kilatan kenangan akan luka yang dialami anaknya membuat dadanya terasa sesak. Ia teringat betapa beratnya perjuangan Kinanti untuk bangkit setelah pengkhianatan Fabio dan hinaan yang dilontarkan Citra.
Namun, ia menahan diri untuk tidak menunjukkan perasaannya. "Biarlah, anggap saja ujian bagi Kinanti." gumamnya dalam hati. "Mungkin ini jalan Tuhan untuk menguatkan anakku."
Dengan langkah yang terasa berat, Bu Wati melanjutkan perjalanan ke apotek, namun wajah bahagia Fabio dan Citra terus membayangi pikirannya. Ia hanya berharap agar Kinanti, anaknya yang tabah, bisa menemukan kebahagiaan sejatinya, jauh melebihi apa yang dimiliki Fabio dan Citra.
Di rumah, Bu Wati menyerahkan obat untuk Pak Karyo dengan senyum yang dipaksakan, berharap sang suami tidak menyadari perasaannya yang terluka.
Kinanti tiba di pabrik pagi itu dengan semangat. Meski di rumah ada kekhawatiran soal ayahnya, ia berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, saat memarkir motornya di area parkir karyawan, langkahnya terhenti oleh seorang laki-laki yang berdiri di depannya.
"Kinan, aku mau bicara sebentar," ujar laki-laki itu. Dia adalah Farel, salah satu mekanik di pabrik yang sudah lama menaruh hati pada Kinanti.
Kinanti tersenyum kecil, meskipun merasa tidak nyaman. "Ada apa, Mas Farel? Saya harus segera masuk, nanti terlambat."
Farel tampak ragu sejenak, tapi akhirnya ia berbicara dengan nada serius, "Kinan, aku sudah lama suka sama kamu. Aku tahu mungkin aku bukan siapa-siapa, tapi aku mau kita coba kenal lebih dekat. Aku serius, Kinan."
Kinanti terdiam sejenak, merasa bingung. Ia menghargai keberanian Farel, tapi hatinya belum siap untuk membuka diri. Apalagi, perasaan kecewa dan sakit hati akibat Fabio masih membekas.
"Mas Farel, saya hargai perasaan Mas," jawab Kinanti dengan lembut. "Tapi, maaf, saya belum bisa. Saya sedang fokus bekerja dan membantu keluarga. Saya harap Mas bisa mengerti."
Farel menghela napas panjang, wajahnya berubah masam. "Oh, jadi itu alasanmu? Atau karena kamu merasa aku nggak sebanding? Sok jual mahal, ya, Kinan? Jangan lupa, kamu juga cuma ditinggal nikah sama pacar, kan?"
Ucapan itu menusuk hati Kinanti, tapi ia menahan emosinya. "Mas Farel, saya tidak pernah meremehkan siapa pun, termasuk Mas. Tolong jangan salah paham. Saya hanya ingin kita tetap bekerja dengan baik sebagai rekan kerja," ucapnya dengan nada tenang sebelum berjalan menjauh.
Farel hanya berdiri di tempat, menatap punggung Kinanti yang semakin menjauh. Ia merasa tersinggung dan sakit hati karena penolakannya, tapi di dalam hati kecilnya, ia tetap mengagumi ketenangan dan keteguhan hati Kinanti.
Kinanti melangkah ke dalam pabrik, mencoba menyingkirkan rasa tidak nyaman akibat kejadian tadi. Di dalam hatinya, ia bertekad untuk tetap kuat dan tidak membiarkan hal-hal seperti itu mengganggu fokusnya.
Pagi itu, suasana di pabrik lebih sibuk dari biasanya. Kabar bahwa tim pusat, termasuk Zayn Wiratama, akan kembali melakukan kunjungan membuat semua karyawan bergegas mempersiapkan produk terbaik. Kinanti, yang bekerja di bagian inspeksi, merasa gugup. Pengalaman sebelumnya dengan Zayn yang arogan membuatnya sedikit khawatir.
Kinanti mencoba fokus pada pekerjaannya. Ia memeriksa produk satu per satu dengan teliti, memastikan semuanya sesuai standar. Namun, di balik kesibukannya, ia tak bisa menyingkirkan rasa khawatir jika nanti harus berhadapan langsung dengan Zayn lagi.
"Kinanti, jangan tegang. Fokus saja sama kerjaanmu," ujar Sari, rekan kerjanya, mencoba menenangkan.
"Ya, aku tahu. Tapi kalau bos besar itu datang lagi dan bersikap... ya, seperti biasa, aku takut melakukan kesalahan," jawab Kinanti, sambil tetap memeriksa produk.
Tak lama kemudian, suara mobil mewah terdengar memasuki area pabrik. Semua karyawan di bagian inspeksi langsung memperbaiki posisi kerja mereka. Zayn Wiratama turun dari mobil dengan gaya yang khas: kemeja mahal, jas elegan, dan tatapan tajam yang membuat siapa pun merasa kecil di hadapannya.
Saat Zayn memasuki ruangan inspeksi, tatapannya menyapu semua karyawan, dan ia berhenti sejenak saat melihat Kinanti. Ada sesuatu dalam cara ia menatap Kinanti—bukan sekadar tatapan seorang atasan kepada bawahan, tetapi seolah ia mencoba membaca sesuatu dari diri Kinanti.
Kinanti menundukkan pandangan, mencoba mengabaikan perasaan gugup yang tiba-tiba menyergap.
Zayn mendekat ke arahnya, dan dengan suara dingin, ia berkata, "Karyawan baru? Atau memang kamu yang bertugas di bagian ini waktu kunjungan terakhir?"
Kinanti mengangkat wajahnya perlahan. "Saya sudah beberapa bulan di bagian inspeksi, Tuan."
"Kerja dengan teliti. Aku tidak mau ada kesalahan dalam pengiriman produk ke klien besar kami," ujar Zayn dengan nada tegas, namun matanya tetap memerhatikan Kinanti lebih lama dari yang diperlukan sebelum ia beralih ke karyawan lain.
"Bbbbbaik Pak."Kinanti menjawab sambil menundukkan kepalanya.
"Oh iya, kamu, nanti siang ke ruangan saya ya ada yang harus kita bicarakan."
"Deg."Jantung Kinanti berdegup kencang. "Baik Pak!"Kinan semakin gemetar mendengar Zayn mengatakan hal itu.
Kinanti hanya mengangguk, menahan napas hingga Zayn melangkah menjauh. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Zayn yang berbeda dari sebelumnya. Kini ia tidak hanya terlihat arogan, tapi juga menyimpan rasa penasaran yang sulit dijelaskan.
Sementara itu, Kinanti mencoba fokus pada tugasnya, berharap kunjungan Zayn tidak akan membawanya pada masalah baru.
di awal minggu depan mulai pindah ke kantor pusat... ternyata mbulettt
di awal nenek lastri.. sekarang nenek parwati.. 😇😇😇
nyong mandan bingung kiye...