Andara Mayra terpaksa menerima perjodohan dengan seorang pria yang sudah dipilihkan oleh ayahnya.
Namun dibalik perjodohan yang ia terima itu ternyata ia sudah memiliki kesepakatan sebelumnya dengan sang calon suami. kesepakatan jika setelah satu tahun pernikahan, mereka akan bercerai.
akankah mereka benar-benar teguh pada kesepakatan mereka? atau malah saling jatuh cinta dan melupakan kesepakatan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiwit rthnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu kekasihnya
Sebaiknya Sebelum ia selesai mandi aku harus tidur duluan.
Kunyalakan pendingin ruangan terlebih dahulu sebelum kubungkus seluruh tubuhku dengan selimut. Meski mungkin ia takkan macam-macam, apa salahnya waspada dan mengantisipasinya kan.
Setelah dirasa aman akupun mulai terlelap.
"Euuugh." Kurenggangkan seluruh tubuhku saat sinar matahari mulai menyelinap masuk kedalam kamar.
Eh dimana ini? Ah aku baru ingat. Eh tunggu semalam aku membungkus tubuhku dengan selimut, lalu kenapa aku bisa merenggangkan tubuhku. Kulihat tempat tidur disebelahku sudah tak ada siapa-siapa. Kemana dia? Ku cek seluruh tubuhku, masih aman dan lengkap , ya meski selimut yang semalam membungkusku sudah terberai.
"Hhhuuuft." Aku bernafas lega mendapati pakaianku masih lengkap. Tapi kemana Mas Bara?
Setelah selesai membersihkan diri aku turun menuju dapur. Disana sudah ada seseorang yang sedang mencuci piring.
"Selamat pagi non. Kenalkan saya Bik sumi, saya akan menjadi pelayan non di rumah ini." Wanita paruh baya itu memperkenalkan diri dengan begitu ramah padaku.
"Oh iya bi, saya Mayra. Semoga betah ya bi. Ngomong-ngomong bibi tahu mas Bara kemana?"
"Oh tuan muda tadi sudah berangkat ke kantor non."
"Ke kantor?" Apa dia memang secinta itu pada pekerjaannya sampai-sampai satu hari setelah pernikahan saja dia langsung bekerja.
"Non mau sarapan apa?"
"Apa aja deh bi. Yang penting sehat dan enak."
Hari-hari kujalani masih seperti rutinitasku sebelumnya. Kuliah dan main di rumah. Yeah meski cukup membosankan.
Beberapa minggu menjadi istrinya membuatku mulai terbiasa. Hidup bersama namun jarang sekali bertegur sapa. Aneh memang, tapi aku cukup bersyukur karena aku tak perlu membentengi hati agar tak jatuh cinta padanya.
"May tunggu." Saat aku hendak masuk kedalam kamarku mas Bara menghentikan langkahku. Tumben dia sudah ada di rumah sore-sore begini.
"Ya mas? Ada apa?"
"Nanti kita makan malam di luar ya?" Tumben sekali dia mengajakku makan di luar.
"Boleh."
"Okey. Aku tunggu. Jam tujuh harus sudah siap." Aku mengangguk. Tak ada pembahasan apapun lagi. Akupun masuk ke kamarku dan diapun kembali ke kamarnya.
Gaun hitam selutut dengan tali spagety membalut tubuhku, tak lupa kupoleskan sedikit make up untuk menunjang penampilanku malam ini. Kurasa penampilanku sudah cukup pantas sebagai istri dari seorang Barata Yudha.
Aku sendiri masih penasaran kenapa dia tiba-tiba mengajakku makan malam. Namun rasanya tak penting juga jika harus kutanyakan.
"Sudah siap?" Mas Bara bangkit dari duduknya dan menghampiriku. Aku mengangguk dan berjalan dibelakangnya.
Seperti biasa, tak ada pembahasan apapun ketika kami bersama. Hingga mobil berhenti di sebuah restaurant yang cukup elit. Mas Bara berjalan mendahuluiku.
Langkahnya terhenti disebuah meja yang disana sudah bada seorang wanita yang, cantik. Aku seperti kenal dengan wajahnya.
"Sayang." Mas Bara memanggil wanita itu dengan begitu lembut. Ah kenapa hatiku mendadak tak nyaman.
"Bar kamu bawa dia?" Wanita itu nampak canggung melihatku.
"Iya. Bukankah kamu penasaran dengannya?"
"May, kemarilah. Kenalkan dia kekasihku, Anastasya." Aku menghampiri mereka dan mengulurkan tanganku pada wanita itu.
"Mayra."
"Ana." Wanita itu membalas uluran tanganku dengan menyebutkan namanya. Ah iya, sekarang aku ingat jika dia adalah salah satu model yang cukup terkenal, Anastasya Larasati. Seharusnya keluarga mas Bara bisa mempertimbangkannya menjadi menantu karena prestasinya sebagai model.
"Silakan duduk." Wanita bernama Anastasya itu nampak ramah. Kupikir ia akan jutek atau marah-marah karena aku telah menikahi kekasihnya. Tapi bisa kunilai jika wanita itu terlihat baik.
"Maaf ya sebelumnya. Bara tak memberitahuku jika kita akan bertemu malam ini." ia tersenyum dan mencoba bersikap setenang mungkin.
"Aku sudah tahu tentang pernikahan kalian. Dan aku bersyukur karena kalian menjalaninya hanya sebatas diatas kertas. Tadinya aku begitu cemburu saat kutahu ternyata wanita yang dijodohkan dengan Bara itu secantik dirimu." Kulihat matanya nampak jujur, bahwa ia benar-benar sedang memujiku.
"Aku takut Bara akan tergoda olehmu, dan memilihmu daripada aku. tapi saat Bara menjelaskan jika kamu juga tak begitu menginginkan pernikahan ini aku cukup lega. Kuharap kalian tidak akan terlibat perasaan selamanya yah." Ia tersenyum manis, namun ia seolah memperingatkanku agar tidak jatuh cinta pada kekasihnya itu.
"Mbak ana tenang saja. Aku akan tetap teguh pada kesepakatan kami. Dan aku juga tidak mungkin menaruh perasaan pada kekasih orang. Mbak tidak usah khawatir. Aku tidak pernah memiliki niat, bahkan pernah berpikir pun tidak untuk merebut mas Bara dari mbak, karena aku sendiri sudah memiliki kekasih." Aku tersenyum melihat mbak ana dan sekilas menatap mas Bara yang ternyata sedang menatapku. Sejenak tatapan kami bertemu, hingga akhirnya kualihkan tatapanku pada mbak Ana.
"Apa ada lagi yang ingin mbak Ana sampaikan?" Tiba-tiba pelayan datang dengan beberapa makanan ditangannya.
"Mohon kerjasamanya ya. Kamu pasti tahu jika hubunganku dan Bara begitu ditentang oleh orang tua Bara. Jadi bisakah kamu mendukung kami?"
Sebenarnya aku tak mengerti maksud dari kata mendukung yang mbak ana maksud. Tapi lebih baik aku iyakan saja.
"Baik. Tidak masalah. Aku akan membantu selama aku bisa."
"Terimakasih." Ia memegang tanganku.
"Ayo makan." Kulihat ia mengambil makanan yang ia pesan.
"Ah kalau begitu aku pamit. Aku tidak mungkin menjadi orang ketiga disini kan? Apalagi suasananya begitu romantis begini. Rasanya tidak pas jika aku tetap disini. Permisi." Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Aku cukup tahu diri dengan posisiku.
Aku pulang sendiri dengan menggunakan taksi online, kulihat meja dapur kosong. Bik sumi pasti tidak masak karena tahu aku dan mas Bara makan malam di luar. Ah perutku sudah keroncongan, akhirnya masih dengan menggunakan gaun aku memasak mie instan. Hanya itu yang aku bisa saat ini.
"Bodoh sekali kamu May. Sudah datang ke restoran enak malah pulang begitu saja." Aku terus menggerutu kesal. Kupikir mas Bara benar-benar mengajakku makan. Ternyata ada maksud dibaliknya.
Tak terasa satu mangkuk mie instant telah habis ku makan. Lumayan lah untuk mengganjal perut.
"Kenapa langsung pulang hmmm?" Mas Bara tiba-tiba datang dengan membawa paper bag yang kutahu isinya pasti makanan. Bisa kulihat dari label didepan paper bag nya.
"Ngapain juga disana. Mau jadi kambing budek nungguin orang pacaran." Aku melengos membawa mangkuk kosongku untuk kucuci.
"Ya setidaknya makan dulu. Jadi aku tidak usah repot-repot bawa makanan ini ke rumah."
"Siapa juga yang minta dibawain makanan." Aku mengambil air dan kembali duduk untuk meminumnya.
"Ya kan kita niatnya mau makan malam di luar. Bibi juga gak masak. Kupikir kamu pasti kelaparan." Ternyata dia cukup perhatian juga.
"Hhmm ya makasih." Aku membuka bungkus makanan tersebut, kelihatannya memang enak, tapi aku sudah kenyang. Terpaksa kusimpan makanan itu di lemari pendingin. Sayang kan kalau di buang.
"Kenapa di simpan?"
"Aku udah kenyang. Buat besok aja."
Aku berjalan menuju kamarku. Aku segera mengganti pakaianku dengan baju tidur.
Ahh enam bulan lagi aku akan wisuda. Aku harus segera menyelesaikan skripsiku mana aku harus magang juga.
Seperti biasa, setiap pagi aku sarapan sendirian, karena mas Bara sudah berangkat ke kantor. Dia memang sedisiplin itu orangnya. Dan aku kebalikannya. Terbiasa menjadi putri satu-satunya mama dan papa. Aku terbiasa dimanja dan akhirnya mendarah daging kan sampe sekarang.
Siang ini aku berencana ingin menemui papa, aku akan minta bantuan papa agar aku bisa magang di kantornya.
Cukup lama aku berdiri didepan ruang meeting. Kebetulan kata resepsionis, papa sedang melakukan meeting saat ini. Tahu begitu mending tadi aku telepon saja. Mau bikin kejutan malah tersiksa seperti ini.
Pintu ruang meeting akhirnya terbuka.
"Papa... Aku kangeeeeen." Aku memeluk papa yang baru keluar dari ruangan meeting.
"Loh putri manja papa ada disini?" Papa membalas pelukanku dan mengacak rambutku pelan. Papa membawaku berjalan menuju ruangannya.
"Emang gak boleh ya? Aku kan kangeeen." Aku bergelayut manja di lengan papa.
"Bener cuma kangen? Rasanya gak mungkin sampe ke kantor kalau cuma kangen. Ke rumah juga kan bisa." Hah. Papa tahu saja kalau aku ada maksud lain.
"Hehe. Tau aja. Aku boleh magang disini ya?" Aku menatap papa memelas.
"Magang?"
Aku mengangguk.
"Disini?"
Aku kembali mengangguk. Papa nampak sedang berpikir sejenak.
"Giman kalau kamu magang di kantor suamimu saja? Sekalian kamu juga bisa melayani suamimu disana." Aku menghentikan langkahku. Aku memandang tak suka pada papa.
"Gak mau. Mas Bara juga pasti akan keberatan jika harus satu kantor sama istrinya." Aku mencoba mencari alasan.
"Ah enggak mungkin. Kamu gak keberatan kan Bar kalau Mayra magang di kantor kamu?" Papa seolah sedang berbicara pada mas Bara.
"Gak papa kok pah, Bara sih oke-oke aja."