Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Rumit
Waktu pun berlalu, kini Aghnia telah pulih sepenuhnya. Karena paksaan aghnia, Umi Faizah telah kembali mendampingi suaminya berdakwah semenjak tiga hari yang lalu. Aghnia merasa bahagia merasakan udara kebebasan lagi.
Gadis itu membeli satu porsi siomay di kantin fakultas, berdiri membawa mangkuk dan sebotol mineral yg ia apit di salah satu ketiaknya. Matanya menjelajah mencari kursi yang kosong.
"Sepertinya ini keberuntunganku" gumam Aghnia dengan senyum lebar.
Gadis itu melihat Malik duduk sendirian menikmati semangkuk bakso, pandangannya fokus pada ponsel. Aghnia memutuskan untuk menghampirinya.
"Permisi, boleh duduk disini?" Tanya Aghnia melirik kursi depan Malik.
Malik tersentak kaget membuat ponsel yang ia pegang terjatuh ke meja, ia mendongak mendapati Aghnia yang berbicara. Pria itu tersenyum dan mengangguk.
"Maaf membuatmu terkejut" ujar aghnia, menghempaskan pantatnya di kursi depan Malik. Gadis itu tersenyum manis meletakkan mangkuk dan minumnya di meja.
Jantung Malik berdetak dengan kencang melihat senyuman Aghnia, ia bahkan menelan liurnya susah payah. Malik berdehem ringan mengatasi rasa gugup yang tiba tiba datang.
"Bagaimana kondisimu?" Tanya Malik, pria itu menyuap sepotong bakso, menutupi rasa gugupnya.
"Seperti yang kamu lihat, aku sudah sehat dan masih cantik" jawab Aghnia disertai candaan, gadis itu mengerling menggoda Malik.
Tingkah Aghnia membuat pipi Malik bersemu, pria itu mengalihkan pandangannya, bagaimana pun Malik adalah lelaki normal yang tertarik pada wanita. Pria itu menunduk berpura pura fokus pada bakso yang ia makan. Aghnia sangat pintar mempermainkan gejolak di hatinya.
"Suaramu bagus, aku suka" ujar Aghnia. Wanita itu terlihat santai berbicara dengan menikmati siomay yang ia pesan.
Malik tidak menggubrisnya, mencoba menetralkan debaran jantungnya, berusaha menelan bakso dengan susah payah. Padahal sebelum Aghnia datang ia lancar saja menelan bakso yang yang ada di mangkuknya.
"Oh iya terimakasih telah menolongku dan menjadi saksi di persidangan" ungkap Aghnia lagi.
Malik mengangguk sebagai jawaban, pria itu seperti mati kutu tak bisa mencari topik pembicaraan.
Gadis itu mengambil ponsel Malik yang berada di meja. Mengetikkan nomornya dan menyimpannya dengan nama Aghnia Cantik, lalu balik memanggil nomornya sendiri agar mendapat nomor Malik. Setelah selesai, ia mengembalikan ponsel itu di meja tanpa sepengetahuan Malik.
"Malik, apa kamu sariawan?" Heran Nia, karena sedari tadi pria di depannya hanya diam.
Malik mendelik mendengar pertanyaan Aghnia, ia terbatuk. Membuat Aghnia menyodorkan botol mineral miliknya, gadis itu tak melihat minuman milik Malik di meja. Malik menerima botol Aghnia dengan ragu, namun tetap meminumnya seteguk tanpa menyentuhkan bibirnya pada ujung botol.
"Trimakasih" ucap Malik, mengembalikan botol Aghnia
"Apa setelah ini kamu masih ada kelas?" Tanya Aghnia. Prempuan itu menyatukan mangkuk kosong miliknya dan milik Malik, lalu membersihkan meja dengan tissu yang disediakan.
Malik sedikit tertegun dengan sikap Aghnia yang mau merapikan bekas makan mereka, berbeda dengan kebanyakan orang lain yang merasa sudah membayar dan enggan sedikit pun merapikan peralatan di atas meja mereka.
"Ada kelas nggak?", Aghnia mengulangi pertanyaan karena Malik malah terdiam.
"Nggak ada", sahut Malik setelah sadar setelah ditanya kedua kali.
"Mau ke bazar buku nggak? Seru loh", ajak Aghnia.
Malik memang tahu ada bazar di kampus mereka, tapi ia tak berminat ke sana.
"Baik lah", setuju Malik berubah pikiran.
Mereka berdua pun berjalan berdua ke area convention hall kampus. Saat itu, Aghnia dengan cepat meraih lengan Malik dan memeluknya erat. Pria itu sontak memerah malu namun kepalang basah dan ikut saja hingga sampai ke lokasi bazar.
Mereka memasuki area bazar, Aghnia berlari kecil kegirangan melihat banyaknya buku yang di pajang. Ia bahkan melepaskan pelukan di lengan Malik. Gadis itu mengambil beberapa novel dan membaca sinopsis yang tertulis di belakang buku.
Malik menggelengkan kepala melihat tingkah Aghnia, pria itu membuntuti Aghnia dari belakang. Dirinya seolah dilupakan.
"Malik kamu suka baca novel?" Tanya Aghnia, ketika Malik berada di samping gadis itu.
"Nggak suka, berlebihan dan terlalu banyak drama" terang Malik.
Aghnia melirik Malik tak terima jika buku kesukaannya dihina. Gadis itu mencubit pinggang Malik membuat si empunya meringis kesakitan.
Tingkah mereka berdua tak lepas dari pandangan Monica, gadis itu juga berada di bazar buku sebelum Aghnia dan Malik datang.
"Kayaknya nggak ada harapan deh" gumam Monica, gadis itu menghela nafas panjang
Cinta segitiga yang ia jalani begitu rumit, Monica memutuskan untuk menyerah, ia lelah tidak diacuhkan oleh Malik, ia akan merelakan Malik untuk Aghnia. Masih banyak lelaki yang jauh lebih baik dari Malik. Monica akan berusaha move on dan mencari pengganti.
"Monica, itu Malik sama teman satu kontrakan kamu bukan?" Ujar Erika tak sengaja melihat Malik dan Aghnia.
Monica mengangguk, ia kembali melihat lihat judul buku yang ada di depannya, mencari novel yang sesuai dengan keadaan hatinya saat ini.
"Apa mereka jadian?" Imbuh Erika,
Monica mengendikkan bahu tak mau bercerita lebih pada erika.
"Bukankah dia disebut pelakor? Ah lebih tepatnya merebut gebetan orang?" Kompor Erika, gadis itu menyipitkan mata tak melepaskan pandangannya dari dua sejoli yang berada tak jauh di depan mereka.
"Erika berhenti julid!" Jengah Monica, gadis itu meletakkan buku yang ia pegang, meninggalkan Erika, keluar lewat pintu belakang bazar.
Ia tak mau pikirannya yang sedang kalut membuat dirinya terdistraksi oleh ucapan Erika. Monica tak mau merusak persahabatan yang telah mereka bangun hanya karena berebut lelaki yang belum tentu menjadi pasangan hidup dan mati.
"Monica!" Jerit Erika, menyusul Monica. Gadis berambut kriting dengan wajah turunan bule menghampiri Monica, menarik jilbab belakang Monica.
"Aduh, Erika!" Monica memberenggut, membenarkan jilbab yang ia kenakan.
"Monica, kenapa kamu nggak labrak teman kamu itu? Aku temenin deh nanti" ujar Erika bersungguh sungguh.
Monica tak menggubris ucapan teman satu jurusannya itu. Ia mempercepat langkah kakinya, ia ingin segera sampai ke kontrakan, mandi air dingin untuk menenangkan pikirannya lalu tidur sampai sore.
Datang ke club juga bisa membuat pikirannya tenang, namun gadis itu segera menggelengkan kepalanya, menepis ide gila itu. Jika ia datang ke club lalu Aghnia ikut maka akan berbahaya, membayangkan wajah ustadz Lukman yang marah membuat Monica bergidik ngeri. Jika ia datang sendiri ke club, ia takut hal yang Aghnia alami akan terjadi padanya, ditambah dirinya tak bisa beladiri. Rumit. Pilihan yang cocok memang mandi air dingin dan tidur saja. Toh ini bukan masalah hidup dan mati, tanpa Malik pun ia tetap bisa hidup dan bernafas.
Erika geram tak diacuhkan Monica, sebagai teman yang baik, gadis itu akan melabrak Aghnia sendirian jika Monica enggan melakukannya. Gadis berambut kriting itu kembali ke bazar buku, mencari keberadaan dua sejoli yang sedang memilih buku.