Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Hubungan Tanpa Ikatan
Sastra mengeluh pelan, saat mendengar suara klakson dari kendaraan di belakangnya. "Astaga. Kamu tidak apa-apa?"
Ratri menggeleng. "Aku tidak apa-apa."
"Aku hanya terkejut," ucap Sastra, seraya kembali melajukan kendaraan. Tatapannya fokus ke depan, meskipun pikiran mulai tak keruan.
"Aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi kalian. Kamu tahu sendiri, aku dan Elia berteman baik dalam satu tahun terakhir. Aku mengenalnya, meskipun tak sebaik dirimu," ucap Ratri. Entah apa yang berusaha dia jelaskan kepada Sastra.
"Iya. Lalu?" Sastra menoleh sekilas.
"Elia terlihat murung. Aku tidak berani menebak. Katanya, kamu tidak menghubungi selama seharian ini. Ya, ampun. Seharusnya, kita tidak usah membahas itu. Aku benar-benar minta maaf." Ratri ingin sekali menarik kata-katanya. Namun, semua sudah terlanjur didengar Sastra.
Sastra menggumam pelan. Dia sadar, sikapnya semalam sudah membuat Eliana jadi tak enak. Apalagi, seharian ini kesibukannya di cafe benar-benar menyita waktu sehingga tak sempat memegang handphone.
"Elia terlalu manja. Dia seperti anak kecil yang selalu ingin diperhatikan. Namun, itu tak masalah bagiku," ucap Sastra tenang.
"Kalian sudah lama menjalin hubungan. Kurasa, hal seperti itu tak harus diributkan lagi. Mungkin ...." Nada bicara Ratri terdengar ragu.
"Mungkin?" ulang Sastra tak mengerti.
Ratri tersenyum kecil. "Lupakan. Aku bukan pakar dalam urusan percintaan."
"Aku tidak percaya."
"Kamu tidak harus percaya karena aku bukan Tuhan," balas Ratri. Membuat Sastra langsung tertawa.
"Kenapa? Apa ada yang salah dengan ucapanku?" Ratri menatap keheranan.
"Tidak. Tentu saja tidak." Sastra menggeleng, sambil menahan tawa. Entah mengapa, celetukan yang sebenarnya sudah sering didengar dari zaman dulu, jadi begitu menghibur saat diucapkan oleh Ratri.
Sesaat kemudian, Sastra memarkirkan mobilnya di depan bangunan dua lantai. Dari tampilan luar, sudah bisa dipastikan isi bangunan itu.
"Kita sudah sampai," ucap Sastra. Dia turun lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Ratri.
"Terima kasih," ucap Ratri, yang langsung mengikuti Sastra memasuki bangunan itu.
Setelah tiba di dalam, mereka disambut oleh seorang wanita berambut ikal sebahu. Tanpa canggung, wanita itu langsung menyalami Sastra, bahkan mencium pipi kiri dan kanan kekasih Eliana tersebut.
"Aku berusaha tepat waktu, tetap saja terlambat tiga menit," ucap Sastra cukup hangat.
"Tidak apa-apa. Lagi pula, tadi ada sedikit pekerjaan yang harus kuselesaikan," balas si wanita. "Ayo. Kita langsung ke lantai dua," ajaknya.
"Ah, sebentar," cegah Sastra. Dia menoleh pada Ratri. "Ini teman lamaku. Sonia Ilham. Kamu pasti pernah mendengar namanya."
"Tentu saja. Pelukis muda berbakat, dengan sederet lukisan abstrak terkenal. Aku salah satu pengagum hasil karya Anda," ucap Ratri ramah.
"Ah, terima kasih. Itu terlalu berlebihan," balas wanita bernama Sonia tersebut, sebelum kembali memusatkan perhatian kepada Sastra. Tanpa memedulikan keberadaan Ratri, Sonia mengajak pria itu meniti anak tangga menuju lantai atas. Dia berjalan sambil berbasa-basi tanpa henti dengan Sastra.
Melihat sikap Sonia yang dinilai terlalu berlebihan terhadap Sastra, membuat Ratri cukup geli. Dia memutar bola mata, sambil berjalan mengikuti mereka. Ratri bersyukur karena dirinya tak pernah memiliki kekasih, sehingga tidak ada rasa takut kehilangan ataupun cemburu.
Setibanya di lantai dua, mereka langsung disuguhi suasana yang teramat berbeda. Tenang dan begitu nyaman. Beberapa lukisan indah terpajang di dinding. Ada juga beberapa yang diletakkan di lantai, dengan posisi berjajar ke belakang.
"Lukisan itu merupakan produk gagal," tunjuk Sonia, pada lukisan yang diletakkan di lantai tadi.
"Kenapa?" tanya Sastra tak mengerti.
"Entahlah. Mood-ku sedang tidak bagus. Hasilnya tak sesuai yang diharapkan," jawab Sonia.
"Kupikir, untuk seseorang seperti Anda sudah tidak terpengaruh masalah mood," ujar Ratri menimpali.
"Seharusnya. Akan tetapi, sangat sulit untuk wanita seperti kita," balas Sonia, seraya menoleh sekilas.
Ratri mengangguk samar. "Aku bisa memahaminya." Wanita muda itu tersenyum, saat teringat pada Eliana.
"Aku punya beberapa lukisan bagus, yang sesuai dengan selera kamu," ucap Sonia, tak menanggapi lagi ucapan Ratri. Dia kembali fokus pada Sastra.
"Saat kamu menghubungiku beberapa minggu yang lalu, aku langsung menyiapkan lima lukisan itu," ucap Sonia lagi, seraya mengarahkan Sastra ke sebuah ruangan berukuran tidak terlalu besar. Di sana, dia menunjukkan lukisan yang dimaksud.
"Wow!" Sastra begitu takjub. Sorot matanya memancarkan kekaguman luar biasa. Namun, sepertinya pria itu selalu menjaga sikap, agar tidak terlihat berlebihan di depan orang lain.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Sastra, meminta pendapat Ratri.
"Apa kamu ingin membeli semua?" Ratri balik bertanya.
"Tidak juga. Aku hanya membutuhkan satu," jawab Sastra, diiringi tatapan penuh arti.
Ratri manggut-manggut. "Bagaimana kalau yang itu?" Dia menunjuk lukisan paling ujung.
Sebelum menyetujui pilihan Ratri, Sastra lebih dulu mengamati coretan kuas, dengan pola yang terlihat memusingkan bagi kebanyakan orang. Sesaat kemudian, pria tampan 31 tahun itu tersenyum samar, lalu mengangguk pelan.
"Kamu menyukainya?" tanya Sastra, seraya menoleh kepada Ratri.
"Selera kita mungkin berbeda," jawab Ratri.
"Aku juga menyukainya," balas Sastra. "Baiklah. Aku ambil yang itu," putus pria dengan tinggi 180 cm tersebut.
Bahasa tubuh yang Sastra tunjukkan terhadap Ratri, telah mengundang perhatian Sonia. Wanita berambut ikal itu menatap aneh, sebelum mengalihkan perhatian dari mereka.
"Kamu yakin ingin yang ini?" tanya Sonia memastikan.
"Ya. Aku ambil yang itu," jawab Sastra tanpa ragu.
"Seleramu sudah berubah rupanya," ucap Sonia lagi. Membuat Ratri langsung menautkan alis.
"Apakah udara Skotlandia membuat Sastra jadi lebih romantis?" Sonia tersenyum semu. Entah apa maksud ucapanya tadi.
"Ada banyak hal yang bisa mengubah seseorang. Terkadang, kita tidak menyadari apa atau siapa pemicunya. Aku tidak merasakan perbedaan apa pun. Terserah dengan penilaian orang lain," balas Sastra tenang, diiringi senyum kalem menawan. Penampilannya yang eksentrik dan terlihat sedikit urakan, tak mencerminkan karakter sebenarnya dari pria itu.
"Ya, baiklah." Sonia membalas diiringi senyuman. "Akan kukirimkan lukisan itu dalam dua hari."
"Aku ingin besok."
"Ya, ampun. Sastra ...." Nada bicara serta tatapan Sonia jadi berbeda.
"Besok," pungkas Sastra, seakan tak ingin menerima bantahan.
"Baiklah. Akan kuusahakan." Sonia mengangguk setuju. "Sulit sekali menolak ucapanmu," bisiknya.
"Sudahlah. Aku harus pergi sekarang," pamit Sastra, seperti sengaja menghindar. Dia mengalihkan perhatian kepada Ratri, yang tengah asyik mengamati lukisan lain.
"Kita pulang sekarang," ajak Sastra.
Ratri menoleh, lalu mengangguk. Dia langsung mengikuti Sastra, yang melangkah gagah kembali lantai satu.
"Apakah dia mantan pacarmu?" tanya Ratri, setelah berada di dalam mobil.
"Bukan. Kami hanya pernah dekat," Jawab Sastra, seraya melajukan kendaraan dalam kecepatan sedang.
"Hm" Ratri menanggapi dengan gumaman pelan.
"Hubungan tanpa ikatan," ucap Sastra pelan. "Hanya sebatas itu."
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...