Raya, Jenny, Nabilla, dan Zaidan. Keempat gadis yang di sangat berpengaruh di salah satu sekolah favorit satu kota atau bisa dibilang most wanted SMA Wijayakusuma.
Selain itu mereka juga di kelilingi empat lelaki tampan yang sama berpengaruh seperti mereka. Karvian, Agam, Haiden, dan Dio.
Atau bagi anak SMAWI mereka memanggil kedelapannya adalah Spooky yang artinya seram. Karena mereka memiliki jabatan yang tinggi di sekolahnya.
Tentu hidup tanpa musuh seakan-akan tidak sempurna. Mereka pun memiliki musuh dari sekolah lain dimana sekolah tersebut satu yayasan sama dengan mereka. Hanya logo sekolah yang membedakan dari kedua sekolah tersebut.
SMA Rajawali dan musuh mereka adalah Geng besar di kotanya yaitu Swart. Reza, Kris, Aldeo, dan Nathan. Empat inti dari geng Swart dan most wanted SMAJA.
Selain itu ada Kayla, Silfi, Adel, dan Sella yang selalu mencari ribut setiap hari kepada keempat gadis dari SMAWI.
Dan bagaimana jika tiba-tiba SMAJA dipindahkan ke sekolah SMAWI?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon oreonaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08 : HUKUMAN
“Mana mungkin~ diriku seperti ini dijadikan babu sekolah baru ku.....”
“Tak ada estetok estetoknya~ hu a a....”
“BISA DIEM GAK?” Sentak Billa. Menatap jengkel Al yang sedari tadi bernyanyi dengan suara sumbang.
“Gue nyanyi itu biar kita gak bosen, suara gue juga bagus.” Bantah Al.
“Cih, bagus apaan? Suara kayak toak pos ronda aja bangga.” Cibir Billa.
Mereka berdua, bukan hanya mereka tetapi semuanya diberikan hukuman membersihkan lapangan dan mendapatkan surat undangan orang tua untuk ke sekolah.
“Idih, emang suara Lo bagus? Pasti jelek juga, malah lebih jelek dari gue pasti.” Balas Al yang tak mau kalah.
Billa hanya memutar bola matanya malas dan menoleh ke arah Zai yang asik mencabuti rumput. Rajin sekali ini anak, pikir Billa. Ia saja menyapu dengan asal-asalan tapi tetap bersih. Tidak mau ia nanti dihukum lagi.
“Zai, kira-kira Raya ke mana ya?” Tanya Billa pelan agar tidak ada yang dapat mendengarnya.
Zai menoleh dan menggidikkan bahunya, “Gak tau tapi, gak mungkin Raya kabur dari sekolah. Tasnya aja masih ada di kelas, mungkin dia di rooftop.” Jawab Zai berbisik pula.
Billa menghela nafasnya dan mengangguk. Kembali menyapu dengan bersih. Di sini mereka tidak bertengkar atau mengeluarkan suara emasnya mereka masing-masing dikarenakan ada yang memantau dari lantai 2.
Jenny saja hanya menatap tajam Kris dan dibalas tatapan lebih tajam juga. Mereka seperti sedang mengikuti lomba tatapan paling tajam. Sedangkan Zai ia tidak melakukan apa-apa fokus memetik rumput liar. Padahal sedari tadi Nathan mengganggu Zai.
Reza memasukkan bola basket hanya sendiri karena tadi bertepatan lapangan sehabis digunakan olahraga basket dan bola-bola masih berserakan di lapangan. Sella, Adel dan Silfi pun tidak jauh berbeda. Mereka menyirami semua tanaman yang ada disekolah.
...
...
“RAY!”
Panggil Jenny.
Bel pulang sudah berbunyi sejak 5 menit tadi. Dan Jenny dengan cepat-cepat membereskan barang-barangnya dan keluar kelas. Menghampiri kelas Raya untuk melihat kondisi sang sahabat.
Bertepatan Raya keluar kelas, Jenny tidak segan-segan berteriak memanggil nama Raya dan menghampirinya. Raya berhenti dan hanya diam di tempat sembari menatap Jenny yang sedang menetralkan nafasnya.
“Lo gak apa-apa kan?” Tanya Jenny tersirat nada khawatir dan tatapannya.
Raya mengangguk dan sedikit memaksakan senyuman meskipun sangat tipis.
“Ini surat dari BK.” Jenny memberikan sebuah amplop putih dengan stempel sekolah mereka.
Raya tertegun melihat amplop itu. Ia sudah tau akan mendapatkan surat panggilan orang tua.
Mengangguk, “Makasih.” Ucapnya pelan.
“Lo bakal kasih sama bokap Lo?” Tanya Jenny.
Raya menggidikkan bahunya, ia tidak tau. Satu sisi ia takut dan satu sisi ia harus memberikan ini meskipun tau konsekuensi nya.
“Lo?” Tanya balik Raya.
“Enggak lah, eman-eman jantung hati pikiran gue nanti. Gue saranin jangan, Lo tau maksud gue pasti Ray.” Raya mengangguk dan tersenyum tipis.
“Ya udah kuy bareng.” Jenny langsung menggandeng tangan Raya sampai ke lantai bawah mereka bertemu Zai dan Billa yang asik makan es krim di pinggir pintu. Oke, peran mereka saat sudah berada di pintu dimulai. Peran memalak uang jajan siswa siswi yang lewat.
“Heh! Bagi uang lo, kalau mau keluar.” Ucap Billa menghalangi siswa laki-laki yang ingin keluar sekolah.
“Ha-habis kak uang ku, ma-masih 5 ribu bu-buat ongkos na-naik angkot.” Gugup siswa laki-laki. Terlihat ketakutan.
“Ya mau Lo buat apa kek ya bukan urusan gue. Udah mana sini uang Lo. Banyak bacot Lo, mau gue fitnah?” Gertak Billa kesal.
Laki-laki itu dengan terpaksa memberikan sisa uangnya untuk angkot kepada Billa.
“Nah gitu dong dari tadi. Udah sana pergi, pulang Lo awas keluyuran. Jaga nama baik sekolah.” Wajah kesal Billa tergantikan oleh kesenangan.
Siswa laki-laki itu langsung melenggang pergi. Sama seperti Billa, Zai pun tidak kalah galak saat memalak uang jajan siswa siswi.
“Mana uang Lo? Bayar cok kalau mau lewat sini. Cepet!”
“Habis kak uang jajan aku.” Ujar takut-takut siswi rambut pendek itu.
“Lo mau jalan damai apa perpanjang nih?” Tawar Zai dengan tatapan tajam.
Dengan cepat-cepat siswi berambut pendek itu mengeluarkan sisa uang jajannya dan memberikan kepada Zai.
“I-ini kak, maaf kak ma-maaf.”
“Cih! Katanya habis padahal masih banyak. Udah sana pulang, awas Lo keluyuran. Masih kecil langsung pulang Lo.” Cibir Zai menghitung uang yang berada di tangannya.
Siswi itu mengangguk dan cepat-cepat pergi untuk pulang. Siswa siswi menggerutu tidak jelas. Karena sebagian harus melewati jalan belakang agar tidak dapat dipalak oleh Zai dan Billa. Sifat seperti ini akan keluar setelah mereka mendapatkan surat dari BK. Karena uang itu akan mereka gunakan jika mereka sewaktu-waktu kabur dari rumah.
Lumayan cuy, uang jajan anak SMA Wijayakusuma enggak main-main. Tadi saja Zai dikasih dua ratus ribu.
Raya dan Jenny menghampiri mereka berdua. Jenny langsung menyambar uang ditangan keduanya sedangkan Raya memberi tahu agar siswa siswi bisa lewat sini tanpa akan dipalak.
“Ihs! Main sawut-sawut aja Lo.” Sungut Billa kesal.
“Kita yang malak, Lo yang nikmati hasilnya. Teman apaan itu.” Zai mendengus kesal.
Jenny mendelik tidak terima dikatakan seperti itu. Dengan cepat ia menjitak kepala Zai dan Billa secara bergantian. “Pinjem doang elah, ni ni gue kembali in. Awas aja Lo nanti chat gue suruh jemput gara-gara kabur Lo pada dari rumah.”
Zai dan Billa memajukan bibirnya dengan kesal. Raya di samping Jenny hanya tersenyum tipis. Ia hanya menonton saja, tetapi tiba-tiba terdiam. Telinganya mendengarkan suara seseorang yang sedang mencarinya. Bertepatan dengan ponselnya yang berdering nyaring.
Raya merogoh saku roknya dan diam membeku saat tahu siapa gerangan yang membuat ponselnya bergetar.
...Ayah is calling
...
...
...
Jenny Agustinus adalah anak semata wayang dari sepasang suami istri Wriston Gary dan Riana Sarah Agustinus. Suami istri yang bisa dibilang gila kerja. Mereka menjunjung tinggi martabat dan tata Krama.
Wriston –sang ayah—adalah seorang pebisnis yang sangat terkenal. Nama keluarganya saja masuk ke dalam keluarga top terkaya di dunia. Jadi tidak salah bahwa Jenny selalu hidup sempurna dan bergelimang harta.
Meskipun ia mampu membeli satu negara pun, ia tetap tidak merasakan kasih sayang. Apa itu kasih sayang? Jenny tidak tahu karena tidak dapat merasakan itu sejak kecil. Tahu-tahu ia memiliki orang tua saja saat ia berumur 10 tahun karena saat itu Papa dan Mama pulang ke rumah. Dulu saat ia kecil ia tahunya tidak mempunyai orang tua.
Saat mereka pulang dan berdiam di rumah pun, keduanya tetap fokus akan berkas-berkas itu. Tidak memedulikan anaknya yang masih harus butuh kasih sayang seorang orang tua. Karena itu membuat Jenny memberontak dan menjadi anak nakal. Sampai ia bertemu dengan keempat gadis yang bernasib sama sepertinya.
Mereka bertemu saat dipindahkan sekolah dari Surabaya ke Jakarta. Kelas 8-B, mereka dulu sekelas saat waktu SMP. Ya mereka dulu hanya berteman tidak tahunya mereka cocok dan menjadi sahabat sampai sekarang.
Jenny mengendap-endap saat memasuki rumah megah ini. Rumah yang berada di perumahan khas orang elite-elite. Ia tidak tahu kalau orang tuanya pulang atau tidak. Saat ia bertanya kepada Pak Udin –Supir pribadinya—malah menggeleng tanda tidak tahu.
Karena tidak ingin mendapatkan masalah dan ia juga malas mengeluarkan suara emasnya. Ia memutuskan mengendap-endap sampai kamarnya yang berada di lantai-2.
Mengedarkan pandangannya keseluruhan. Sepi, oke saatnya ia dengan gesit mengarah ke tangga dan menaiki dengan cepat. Tapi, belum sempat ia menginjak tanjakan tangga pertama, suara berat sudah menginterupsi gendang telinganya.
“Kenapa mengendap-endap gitu? Kayak mau maling aja.”
Gadis itu langsung menoleh dan berdiri tegak. Dengan kedua tangannya di belakang untuk menyembunyikan amplop itu. Kenapa bisa amplopnya ia bawa tanpa masukan di tas? Tadi saat disekolah salah satu siswa dikelasnya menghampirinya dan menyerahkan amplop itu yang ternyata jatuh dari kolong mejanya. Padahal niatnya itu memang ia tinggal di sekolah dan ia taruh di kolong meja, siapa tahu amplop itu malah tiba-tiba jatuh.
Tamat riwayat mu nak, kalau papa liat ni amplop. Batin Jenny berteriak.
Jenny hanya menyengir canggung. Ia tidak terlalu dekat dengan kedua orang tuanya. Meremas amplop dibalik tubuhnya, ia harap Papa nya tidak menyadari dan ia ingin langsung ke kamar.
“Ya-ya udah Jenny mau ke kamar dulu.” Ujar Jenny terbata-bata.
“Duduk di sini dulu. Papa mau ngomong sesuatu.”
Deg!
Aelah. Ni tua aki-aki, ngapa sih? Batin kesal Jenny.
Jenny dengan terpaksa duduk di sofa depan Papanya. Tangannya tetap diam di belakang.
“Ada apa ya Pah?” Tanya Jenny.
Wriston melirik sang putri seperti orang gugup. Ia sedikit mengernyit heran sembari menyesap teh manis yang ia buat sendiri tadi di dapur.
“Gimana sekolahnya?”
Mengesampingkan raut gugup sang putri, Wriston bertanya tentang sekolah sang anak.
“Emm, enggak apa-apa. Lancar-lancar aja.” Jawab cepat Jenny. Melirik ke sana kemari.
Wriston mengangguk.
“Pah, Mama ada di rumah?” Tanya Jenny.
“Ada di kamarnya, kenapa?”
Jenny cepat menggeleng. Hening. Papa kembali sibuk meng-scroll tablet yang dia bawa. Jenny pun berniat untuk ke kamar.
“Pah, a-aku ke kamar dulu ya.” Izin Jenny. Wriston mengangguk.
Jenny dengan cepat langsung berlari menaiki tangga dan masuk ke kamarnya secepat kilat sampai suara menutup pintu kamar Jenny terdengar Wriston di bawah.
“Ada apa anak itu?” Gumam Wriston melirik kamar sang putri heran.
Sedangkan di dalam. Jenny menghela nafas berat. Mengunci pintu. Untung hari ini Tuhan berpihak kepadanya. Menatap amplop itu tajam, Jenny langsung membuangnya ke tong sampah. Ia berjalan dengan santai ke arah kamar mandi. Badannya terasa lengket dan kepalanya sedikit pening karena kejadian tadi.
...
...
“APA-APA INI BILLA?”
Teriakan menggelegar memenuhi rumah mewah seharga jutaan rupiah tersebut. Nabilla Gyusadir, anak bungsu dari keluarga Gyusadir. Ia mempunyai kakak perempuan yang bernama Nayla Arel Gyusadir.
Keluarga Billa juga bisa dibilang Kaya meskipun tidak dapat melampaui kekayaan keluarga Jenny.
Dan sekarang Billa berada di rumah. Bertepatan makan malam ini, Billa menyerahkan amplop/surat undangan orang tua untuk ke sekolah. Saat Ayahnya membaca dan tahu isi surat itu. Membuatnya murka.
“APA GAK KAPOK-KAPOKNYA KAMU? BUAT MASALAH AJA. SEHARI AJA BISA GAK ENGGAK CARI MASALAH? AYAH MALU BILLA!”
Billa mengangguk santai sembari memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Ayahnya berteriak lantang di meja makan sembari berdiri dari duduknya. Di sini juga ada Mama dan Kakaknya.
“Sayang, tenang ya. Jangan emosi, jantung kamu nanti kambuh.” Ujar Mama Billa lembut untuk menenangkan sang suami.
“Gimana gak kambuh? Kalau kelakuan anak kamu yang semakin hari semakin liar kayak gitu.”
Aldinata, ayah Billa kembali duduk di kursinya masih menatap tajam sang putri bungsunya.
“Tiru itu Kakak kamu, Nayla. Dapet nilai bagus, bisa banggain Ayah Mama. Belajar, jangan buat masalah aja kamu. Pasti temen-temen kamu itu kan yang mempengaruhi kamu jadi kayak gini.”
Pryar!
Billa dengan kasar membanting sendok garpu pada piringnya dan berdiri dari duduknya. Menatap tajam Ayahnya dengan wajah datar.
“Billa sama Kak Nayla beda. Jangan sama in aku sama Kakak. Billa Billa, Kak Nayla Kak Nayla. Kalau Billa bilang, kenapa Ayah beda sama Om Arya? Om Arya baik hati, selalu baik sama Billa dan Ayah enggak. Gimana?” Bantah Billa kesal.
“KAMI BERANI-BERANINYA BANTAH AYAH? AYAH SAMA OM KAMU YA BEDA!”
“YA UDAH KALAU GITU BILLA SAMA KAK NAYLA JUGA BEDA!”
“Billa!” Sentak Nayla. Berniat untuk menghentikan masalah ini.
“Apa? Kakak seneng kan kalau aku di marahin sama Ayah?” Billa ganti menatap Kakaknya dengan datar. Ini adalah yang tidak ia sukai dari kedua orang tuanya. Mereka selalu membeda-bedakannya.
“Kapan Kakak seneng kalau kamu dimara—“
“YA KALAU GITU JANGAN SOK BAIK SAMA GUE!”
“BILLA!”
“Apa? Mama juga mau marah sama Billa?”
Naraya terkejut akan teriakannya tadi. Ia refleks berteriak saat suasana sudah tidak karuan seperti ini. “Billa, bu-bu..”
Ucapan Naraya, sang Mama terhenti karena tiba-tiba Billa tertawa.
“Gini nih yang gak gue sukai dari keluarga gue sendiri. Ayah, Mama selalu belain Kakak dari pada Billa. Mau dimengerti tapi gak mau mengerti Billa. Billa capek. Billa mau bebas kayak yang lain dan kalian selalu mengekang Billa. Billa capek Ma, Yah!” Lirih Billa tetapi masih dapat didengar oleh Ayah, Mama dan Kakaknya.
Para pembantu yang sedang berlalu lalang diam. Tidak berani memasuki daerah ruang makan. Hanya sekedar lewat saja mereka tidak berani. Temperamental keluarga Gyusadir sangat tinggi dan mereka tidak ingin menjadi sasarannya.
“Ayah melakukan ini buat masa depan kamu. Liat Kakak kamu seka—“
“KAKAK KAKAK KAKAK AJA TERUS! SAMPAI TELINGA BILA SAKIT DENGER KATA-KATA ITU TERUS!” Potong Billa. “Emang ya, percuma kalau Billa ngeluh ke kalian. Kalian tetep aja gak mau denger.” Sambungnya dengan suara lemah.
Billa berjalan meninggalkan meja makan setelah mengatakan itu tapi ia berhenti dan menoleh ke arah Ayahnya.
“Dan jangan sama-samain temen ku kayak pikiran Ayah. Temen-temen ku bahkan lebih layak dari pada kalian.” Ujarnya datar dan melenggang pergi ke atas. Ke kamarnya.
Di dalam kamar yang bernuansa putih abu-abu itu, Billa mengambil bingkai foto. Ya foto keluarganya saat ia berumur 6 tahun. Foto itu diambil saat ulang tahun Kakaknya yang ke 11 tahun. Ya mereka hanya berpaut 5 tahun. Terlihat Kakaknya –Nayla—tertawa sembari menggendong tubuh kecilnya. Ayah dan Mama di samping kiri kanan Nayla serta Billa kecil tersenyum ceria. Ia pun terlihat tertawa juga di foto itu.
Ia merindukan Ayah dan Mama nya tanpa membeda-bedakannya. Ia tidak membenci Kakaknya. Hanya saja ia lelah. Ia tidak sedih. Sungguh, karena sudah biasa. Tetapi kenapa rasanya masih sama, sesak di dada?
Mengesampingkan rasa itu. Ia meraih ponselnya di saat merasa ponselnya bergetar.
...Zai bgsd ia calling
...
Ternyata Zai yang menelponnya. Ia menarik ikon warna hijau ke atas.
“Kenapa Zai?”