Nia tak pernah menduga jika ia akan menikah di usia 20 tahun. Menikah dengan seorang duda yang usianya 2 kali lipat darinya, 40 tahun.
Namun, ia tak bisa menolak saat sang ayah tiri sudah menerima lamaran dari kedua orang tua pria tersebut.
Seperti apa wajahnya? Siapa pria yang akan dinikahi? Nia sama sekali tak tahu, ia hanya pasrah dan menuruti apa yang diinginkan oleh sang ayah tiri.
Mengapa aku yang harus menikah? Mengapa bukan kakak tirinya yang usianya sudah 27 tahun? Pertanyaan itu yang ada di pikiran Nia. Namun, sedikit pun ia tak berani melontarkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Status Sebagai Istri
Seperti istri pada umumnya, Nia juga mempersiapkan pakaian yang akan digunakan oleh Faris.
"Semoga saja dia suka dengan pilihanku," gumamnya kemudian ia pun meletakkan pakaian yang sudah dipilihnya ke atas tempat tidur. Setelahnya ia pun bergegas turun dan membantu para Bibi menyiapkan makanan walau dia tak banyak melakukan apa-apa setidaknya saat ini ia berada di dapur.
"Bi, ada yang bisa aku bantu?" tanya Nia.
"Ga usah, Bu. Biar kami saja," tolak bibi.
"Ga apa-apa, Bi. Aku mau belajar masak buat suamiku." Nia memaksa.
"Ya udah, boleh." Bibi memberikan beberapa bahan makanan untuk di potong.
Mereka mulai mengerjakan semua sembil berbincang. Mereka yang awalnya sungkan menjadi lebih akrab.
"Bi, apa aku boleh nanya?" tanya Nia.
"Tentu saja, Bu. Mau tanya apa?" tanya bibi.
"Bibi, suamiku sering tinggal di apartemen ini, ya?" tanya Nia mencoba mengakrabkan diri dengan ketiga Bibi yang sedang berkutat di dapur.
"Iya, Bu. Bapak lebih sering tinggal di sini daripada di rumah kedua orang tuanya semenjak istri pertamanya meninggalkannya," jawab Bibi satunya lagi terlihat ragu-ragu mengatakan kata istri pertama.
"Oh, begitu ya, Bi," ucap Nia yang ngangguk-ngangguk.
"Menurut Bibi, seperti apa sih Pak Faris itu?" tanya Nia lagi ingin tahu lebih banyak tentang Faris, dia hanya tahu siapa itu Faris dari media sosial yang membahas para pebisnis hebat dan tak tau seperti apa sifatnya. Yang dia tahunya juga dari orang-orang jika Faris memiliki sifat yang cuek, dingin, pemarah dan semua itu sama sekali tak dilihatnya selama ia menjadi seorang istri dari seorang Faris. Bahkan Faris terlihat sangat pengertian dan humoris. Hangat dan ramah.
"Pak Faris adalah majikan yang sangat baik, Bu. Ia selalu ramah pada kami, itu saja sudah lebih dari cukup untuk kami para pekerja di sini," jawab Bibi.
"Maaf sebelumnya, Ibu sudah mengenal Pak Faris sejak kapan?" tanya salah satu Bibi yang sedang mencuci beberapa sayur-sayuran yang akan mereka dibuat salad.
"Nggak, Bi. Aku bahkan baru sekali bertemu dengan Pak Faris dan kami menikah," ucap Nia jujur membuat ketiga pembantu terkejut dan melihat ke arah Nia.
"Di jodohkan?" tanya salah satu Bibi membuat Nia pun mengangguk.
"Semoga saja apa yang para Bibi katakan benar jika suamiku itu orang baik," ucap Nia.
"Iya, Bu. Pak Faris orang yang sangat baik, aku yakin Ibu pasti akan bahagia bersama beliau," ucap salah satu Bibi yang langsung diaminkan oleh Nia dan juga kedua Bibi yang lainnya, mereka kemudian kembali mengobrol santai.
"Bibi, sudah berapa lama bekerja dengan Pak Faris?" tanya Nia lagi.
"Kalau saya baru, Bu. Ini baru tahun pertama saya bekerja disini," ucap salah satu pembantu yang memang terlihat paling mudah dari keduanya, namanya Bi Ani.
"Kalau Bibi sendiri bekerja semenjak Bapak pindah di sini," jawab Bibi satunya yang bernama Bi Tuti.
"Kalau Bibi sendiri sudah bekerja semenjak Pak Faris masih sangat muda, sebelum bapak menikah dengan istri pertamanya," ucap Bibi yang terlihat paling tua bernama Bi Nining.
Ingin rasanya Nia membahas masalah mengapa suaminya bercerai dengan istri pertamanya. Namun, ia masih ragu untuk menanyakannya, mungkin suatu saat nanti ia akan mencari tahu lebih banyak tentang hal itu saat mereka lebih akrab dan sepertinya Bi Nining yang akan iya tanya.
Nia hanya penasaran, jika menurut mereka Faris adalah orang yang baik, lalu mengapa beredar rumor jika Faris bercerai dengan istrinya karena kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Saat mencari tahu dulu, Nia sangat terkejut saat mendapati artikel yang menjelaskan jika salah satu penyebab perceraian seorang Faris adalah kekerasan dalam rumah tangga. Ia menjadi takut, apakah suaminya itu memang kejam, tapi mengapa sikapnya semalam begitu perhatian dan ramah. Sangat jauh berbeda dari semua artikel yang dibacanya , mungkin suatu saat nanti ia akan bertanya pada Bi Nining yang sudah bekerja di sana sejak lama. Pasti dia banyak tahu tentang kehidupan suaminya, termasuk kehidupan istri pertamanya.
Sarapan pun selesai, Nia pun masuk ke kamar dan melihat suaminya sudah selesai berpakaian, hanya tinggal memakai jas dan juga dasinya. Nia dengan ragu-ragu mengambil dasi dan menghampiri suaminya
"Mas, boleh aku pasangkan dasinya?" tanyanya membuat Faris pun mengangguk. Ia pun menghadap ke arahnya. Namun, tinggi badan Faris membuat Nia tak bisa memasangkan dasinya. Faris sedikit menunduk membuat wajah mereka sangat dekat dan cup, satu kecupan mendarat di pipi Nia, membuat Nia langsung melihat ke arah Faris. Matanya berkedip-kedip saking terkejutnya denga serangan tiba-tiba dari suaminya dan itu membuat ia semakin menggemaskan di mata Faris.
"Baru dicium pipi saja wajahmu sudah sangat memerah. Bagaimana kalau aku meminta yang lain," ucap Faris membuat Nia merinding saat bulu-bulu halus yang ada di pipi Faris menempel di pipi Nia. Mendengar itu Nia langsung kembali menunduk.
"Nia!" panggil Faris membuatnya kembali mendongak dan tatapan mereka bertemu. Faris masih menunduk dengan wajah yang begitu dekat dengan Nia, hidung mereka sekarang bahkan hampir bersentuhan.
"I-iya," jawab Nia masih gugup.
Faris melirik dasi yang masih dipegang Nia, "Apa kamu tak keberatan memakaikanku dasi?" tanyanya membuat Nia yang tersadar akan apa yang dilakukannya dengan cepat mengalungkan dasi itu pada Faris.
"Maaf."
Setelah dasi itu dikalungkan di leher Faris, Faris pun menegakkan tubuhnya dan terus memperhatikan Nia yang terlihat gugup dengan pipi yang memerah. Nia dengan gugup mencoba memasang dasi untuk suaminya.
Iya berpura-pura tak memperhatikan Faris yang terus melihat ke arahnya. Jangan ditanya lagi degug jantungnya saat ini. Dentumannya sudah tak karuan, ia bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Bahkan saking berdetaknya hingga terasa sesak di dadanya. Nia sedikit menahan nafas saat masih berusaha berkutat dengan dasi sang suami.
"Sudah," jawab Nia saat sudah merapikan dasi suaminya.
Satu kecupan kembali didapatkannya dan kali ini kecupan singkat di bibirnya membuatnya semakin berdebar. Tubuhnya kaku dan membeku.
"Terima kasih," ucapan Faris berjalan keluar dari kamar dan meninggalkan Nia yang memegang bibirnya dan menoleh ke arah Faris yang sudah berjalan keluar kamar. Ini adalah ciuman pertamanya.
"Nia!" panggil Faris lagi membuat Nia yang masih mematung di tempatnya tersadar dan langsung menyusul Faris denga langaka cepatny yang sudah berjalan lebih dulu keluar kamar menuju ke meja makan.
Seperti semalam, Bibi kembali ke dapur setelah menyiapkan semuanya dan saat ini di ruang makan hanya ada mereka berdua.
"Biar aku yang siapkan makananmu," ucap Nia membuat Faris pun mengangguk, ia akan menuruti apapun yang istrinya inginkan. Itulah yang saat ini akan Faris lakukan demi keutuhan rumah tangga mereka nantinya.
Dengan telaten Nia menyodorkan nasi dan beberapa lauk yang diminta oleh sang suami. Faris tak banyak makan saat sarapan, hanya sekedar mengganjal perut, begitupun dengan Nia. Mereka makan dengan diam seperti semalam.
"Mas!" panggil Nia setelah Faris meminum air putih dan setelah semua makanannya habis.
"Apa apa?"
"Apa aku masih boleh bekerja?" tanya Nia membuat Faris langsung melihat ke arah Nia. Istrinya yang dulu selingkuh di tempat kerjanya membuat Faris tak bisa menjawab pertanyaan dari Nia.
"Bekerja? Untuk apa kamu bekerja, biar aku yang menafkahimu," jawab Faris mencari jawaban lain yang tak menyakiti hati Nia.
Mendengar itu, Nia tahu apa jawaban dari pertanyaannya, "Kalau begitu, apa aku boleh ke kantor untuk resign?" tanya Nia membuat Faris pun mengangguk.
"Iya tentu saja, aku akan mengantarmu. Kapan kamu akan ke kantormu?" tanya Faris lagi, ia sangat senang saat Nia tak memangsa untuk tetap bekerja.
Nia pun menggeleng. "Enggak, enggak usah. Aku bisa pergi sendiri," jawabnya.
"Tidak! Katakan kapan kamu akan pergi, aku akan mengantarmu," desak Faris tak ingin ditolak, membuat Nia pun terdiam.
"Nia, kapan kamu akan pergi?" tanya Faris, saat Nia hanya terdiam.
"Terserah Mas aja, kapan Mas punya waktu. Tapi, secepatnya ya, aku takut jika lama tak melapor jika aku ingin mengunsurkan diri. Aku hanya izin selama dua hari, Mas," jawab Nia membuat Faris pun mengangguk mengerti.
"Ya sudah, besok aku akan kosongkan jadwalku, kita ke kantormu besok, bagaimana?" tanya Faris membuat Nia pun mengangguk setuju.
"Iya," jawab Nia.
Setelah sarapan Faris pun langsung ke kantor. sementara Nia tetap berada di rumah menunggu sang suami untuk pulang dari bekerja.
sukses selalu author